Cerpen Ranang Aji Sp (Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 2023)
AWALNYA dia punya harapan tinggi. Lalu runtuh. Petunjuk orang tua itu rasanya terlalu mengada-ada. Dalam empat puluh hari, orang tua itu menjelaskan, dia harus membaca mantra sepuluh ribu kali setiap malam. Selama itu pula dia harus menjalani puasa mutih. Tidak makan kecuali yang berwarna putih. Itu juga hanya boleh makan sekepal nasi dan seteguk air saban hari. Sedangkan mantra itu punya jumlah lima puluh kata dalam bahasa Arab.
Ketika orang itu menyampaikan syarat itu, dia seolah menemui jalan buntu. Kepalanya pening. Jalannya menjadi gelap.
“Apakah tidak ada cara yang lebih mudah?” tanyanya mengeluh.
“Pasti ada, tapi, memang tidak ada yang mudah untuk jadi kaya,” kata orang itu.
“Semua orang harus bekerja keras, kecuali orang-orang yang sudah ditakdirkan,” tambahnya sambil terkekeh.
Tak ada pilihan lain. Membaca mantra kaya adalah jalan keluar satu-satunya yang paling masuk akal untuk ditempuh. Karena semua pekerjaan baik membutuhkan keahlian, dia tidak. Semua bisnis membutuhkan modal, dia tidak. Sementara hidupnya semakin dipenuhi keinginan wajar manusia zaman sekarang yang berkilau dengan uang. Orang tak lagi membutuhkan cinta, kecuali uang. Itu pernah dibacanya di medsos. Karena orang tak makan cinta, tapi nasi.
“Apa maksudnya itu?”
“Maksudnya, kalau miskin jangan mencintai,” jawab temannya.
Jawaban itu membuatnya tertawa. Tapi, kemudian dadanya terasa sakit, tidak saja karena jantungnya yang sudah bocor, tapi lebih karena kenyataan itu. Matanya juga terasa panas dibakar rasa kesal akan nasibnya.
Setelah itu, setiap hari dilaluinya untuk memikirkan bagaimana menjadi kaya. Karena menjadi orang baik saja tidak akan dihargai, kecuali hanya menimbulkan rasa kasihan bila tidak kaya. Jadi, setelah merenungkannya, dia menguatkan hati untuk menjalaninya.
Malam pertama itu, dia duduk bersila di atas sajadahnya. Membaca mantra yang sudah dihafalnya setelah Isya. Dia bertekad harus berhasil. Jadi, semalaman dia duduk bersila merapal mantra yang membuat kakinya semutan dan bibir keras bergetar.
Malam pertama itu bisa dia lewati, meskipun dengan susah payah. Namun malam-malam berikutnya, dia mulai merasakan sulitnya merapal mantra. Kepalanya sering merasakan pening dan perut perih karena lapar. Bibirnya keras bergetar, dan kakinya kaku kesemutan. Nyaris saja dia putus asa karena keadaannya, bila tidak mengingat apa yang sedang diperjuangkan.
Di siang harinya, dia berusaha tidur seperti biasa, tapi setelah hari ketujuh, dia mulai tak bisa tidur nyenyak karena perutnya semakin perih, dadanya juga seperti dibakar.
Ketika sampai di malam kesepuluh, seluruh tubuhnya semakin terasa ringan. Mukanya sepucat mayat, dan mulutnya sering salah mengeja lafal. Kadang dia tertidur saat bibirnya melafal. Keadaan itu membuatnya ragu, dan berpikir untuk mengulang ritualnya.
Menjelang malam kedua puluh, tubuhnya semakin lemas. Matanya sayu sepanjang waktu, nafasnya sengal, tubuh dan kepalanya terasa ringan sekali, hingga membuatnya seperti terbang di antara bintang-bintang.
Lalu, di saat itu, di antara tidurnya, dia mulai sering bertemu orangtuanya. Mereka mengajaknya jalan-jalan di pasar malam dengan kereta besar.
Lalu, dia kembali sadar, dan mencoba melanjutkan melafal mantranya, menegakkan tubuhnya yang semakin payah.
Ketika mulutnya sekali lagi terbungkam oleh rasa sakit di dadanya, tiba-tiba dia melihat keajaiban datang. Dia melihat semua yang diinginkannya. Persis serperti cerita orang tua yang memberinya jalan.
Kemudian, dia melihat banyak orang datang. Orang-orang itu berdoa untuknya, dan bunga-bunga ditaburkan. Mengangkat tubuhnya pada sebuah tempat yang dipenuhi bunga. Dia juga melihat gadis-gadis dan para tetangga. Kedua orangtuanya tertawa senang.
“Kau sudah kaya, Jang,” ibunya bicara di antara kerumunan orang.
Meskipun begitu, dia melihat wajah murung temannya berjongkok di kuburan desa, membicarakannya.
.
.
*) Ranang Aji SP, menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital.
.
Mantra Kaya. Mantra Kaya.
Leave a Reply