Cerpen Yuditeha (Kedaulatan Rakyat, 20 Januari 2023)
HARI ini perayaan Imlek, biasanya akan ada atraksi barongsai, semarak lampion, dan anak-anak akan menerima angpao. Semua itu lekat dengan warna merah.
Dulu, aku sangat bersemangat jika mendengar kata angpao. Tapi sekarang tidak lagi, bahkan kini aku membencinya. Perubahan itu terjadi setelah aku mengalami peristiwa yang membuatku kecewa.
Di hari raya Imlek sebelumnya. Seperti biasa kupikir aku akan menerima banyak angpao dari kerabat, setidaknya sama dengan tahun sebelumnya. Jika terwujud, pertama yang ingin kulakukan membayar SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Jika sisa, akan kutabung.
Karena capek usai keliling ke tempat saudara, aku tidak langsung membuka angpao yang kudapat. Pada saat aku akan membuka angpao, rupanya hanya tinggal satu. Sejak itu aku sangat membenci angpao. Bersamaan itu aku juga tidak mau sekolah karena malu belum membayar SPP. Ibu bingung, mengapa angpaoku lenyap.
Imlek kali ini aku tidak lagi memikirkan angpao, tapi aku masih suka melihat hiburannya. Seperti saat ini, kudatangi perayaan Imlek di kota. Waktu tiba di sana acaranya telah dimulai. Ketika aku datang sedang tergelar atraksi barongsai. Orang yang menonton cukup banyak. Aku permisi untuk diberi jalan, tapi tidak ada orang yang menggubris. Mereka hanya peduli dengan dirinya.
“Hai bocah, kau menginjak kakiku. Dilahap monster baru tahu rasa kau!”
Hatiku menciut, aku mundur untuk mencari celah yang lain. Aku masuk lagi di antara orang-orang berbadan besar dan tinggi. Menerobos di sela-sela kaki mereka justru aku bisa melaju. Sampailah aku di barisan paling depan. Namun sayang, begitu aku tiba di sana, atraksi barongsai itu usai. Bahkan seluruh rangkaian acaranya rupanya juga selesai.
Kalian pasti tahu bagaimana jika anak kecil sedang kecewa. Sangat sedih dan perlu dikasihani. Jika kalian tidak tahu rasanya sedih, mungkin masa kecil kalian baik-baik saja. Tak terasa kelopak mataku basah.
Aku masih terbengong dan baru tersadar setelah dihampiri salah satu penari barongsai. Dia mengulurkan sebuah amplop merah. Aku tidak memedulikan karena masih belum lepas dari rasa kecewa. Setelah itu aku justru lari menjauh. “Hai, ini angpao keberuntunganmu,” kata penari itu.
Aku terus berlari tanpa hirau keadaan sampai menabrak seorang lelaki tinggi besar yang lengannya ada tato naga. Aku terkejut (mendadak muncul dalam bayangan monster akan melumatku). Orang besar itu memegangku, dan aku meronta, memanggil-manggil ibu.
“Kenapa kau? Mau diberi angpao malah lari.” kata lelaki itu.
“Aku tidak mau!” teriakku histeris.
Tak lama kemudian, penari barongsai sudah berada di dekatku. Dia menyelipkan angpao dalam saku bajuku. Lelaki bertato lantas melepasku. Aku kembali berlari lebih kencang. Seperti dikejar oleh sesuatu yang mengerikan. Sembari terus berlari, aku meraih angpao dalam saku bajuku lalu membuangnya.
“Aku benci angpao! Aku benci angpao!” teriakku seperti suara knalpot motor dalam tong setan yang ada di pasar malam.
Aku melewati kerumunan orang, sepertinya ada kecelakaan. Tapi aku tidak berhenti, Aku terus berlari. Lariku bukan lagi karena angpao tapi karena ingin segera sampai rumah bertemu ibu. Ibuku adalah harta satu-satunya di bumi ini. Berapa pun jumlah isi angpao tak bisa membeli ibu. Angpao bisa mengecewakan, sedangkan ibuku tidak pernah. Ibu mengasihiku dengan tulus.
Jika kali ini ibu tak bisa membayar SPP bukan karena ibu tidak sayang padaku, tetapi karena keadaan ibu memang sedang susah. Ibu berjuang sendiri menghidupi ketiga anaknya, termasuk diriku. Mungkin karena ibu sering kelelahan hingga sekarang menjadi sakit-sakitan. Aku tidak tega melihat derita ibu.
Kakiku lemas, rasanya sangat capai karena terus berlari, tapi mungkin juga lapar karena sejak pagi belum makan. Rasanya kakiku tidak kuat lagi melangkah. Aku menepi di trotoar dan bersandar di pagar. Dalam kemalanganku itu, mataku tertambat pada ribuan naga di langit. Aku seperti berada di tempat asing.
Lantas ada orang ingin meraihku, sambil mulutnya terus bicara, yang kudengar mirip sebuah mantra. Suaranya membiusku. Ketika sekilas aku melihat ada banyak angpao di sakunya, mataku mendadak terbuka. “Aku benci angpao! Aku benci angpao!” Aku berlari lagi dan memanggil ibu. Tak lama kemudian napasku memburu, badanku kembali lemas, lalu aku istirahat. Pada saat istirahat itu aku memikirkan wajah orang yang tadi ingin meraihku, sekilas seperti wajah ayah.***
.
.
Yuditeha. Penulis tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata.
.
Membenci Angpao. Membenci Angpao.
Leave a Reply