Cerpen, Dody Widianto, Haluan

Surga Kupu-Kupu

Surga Kupu-Kupu - Cerpen Dody Widianto

Surga Kupu-Kupu ilustrasi Haluan

4
(6)

Cerpen Dody Widianto (Haluan, 15 Januari 2023)

LANGIT di luar meredup. Seekor kupu-kupu tetiba menyelinap masuk ke kamarku. Entah lewat lubang mana. Semua jendela samping kamar yang bersebelahan dengan taman telah terkunci. Kupu-kupu itu lalu menempel di gorden jendela kamar warna cokelat muda. Kontras dengan kedua sayapnya yang berwarna ungu dengan totol-totol kekuningan di tepian. Cantik memang. Apalagi saat kupu-kupu itu pelan melebarkan dan mengatupkan sayapnya perlahan-lahan.

Kata Enek, jika ada kupu-kupu datang ke rumah, itu tandanya akan kedatangan tamu. Aku nyengir. Memang benar, aku tamunya. Sudah dua tahun lebih aku tak pernah pulang ke rumah ini setelah mondok di Pariaman. Enek bilang ada yang akan ia bicarakan padaku. Penting. Memaksaku meminta izin pimpinan pesantren. Tak tahu kenapa Enek begitu ingin aku pulang.

Malam itu, setelah mempersiapkan bekal dalam tasku, Enek yang tidak biasanya bersikap aneh, memandangku dengan mata sayu. Ia mengelus belakang kepalaku. Menggeleng tak percaya. Bilang dulu saat bocah, aku sering menangis jika tidak dituruti membeli mainan robot kesukaanku. Menyisakan ingus angka sebelas di ujung lubang hidung. Kenapa waktu seolah tak pernah ingin berhenti sejenak dan dengan cepat melewatkan kenangan indah itu. Enek tersenyum lugu.

“Betapapun ia tahu jika benda paling berat di semesta adalah penyesalan, ia masih saja tetap berdiri di tepi jalan. Setiap hari, setiap malam. Ia sebenarnya paham, apa yang tersembunyi dalam selangkangan bukan barang dagangan. Tak ada label harga menempel padanya. Ia hanya tahu jika setiap saat ia dipaksa harus jatuh cinta pada ratusan pria yang tak pernah diinginkannya. Ia hanya ingin terus hidup. Hari ini dan seterusnya. Juga untuk anaknya. Maka hari ini, temukanlah ia dan ajaklah pulang. Kupu-kupu ditakdirkan Tuhan hanya hidup dalam seminggu. Besok pagi perjalanan siap dimulai.”

Aku belum selesai menerjemahkan apa yang Enek bilang ketika tiba-tiba tas ransel berisi bekal ia berikan padaku. Ada satu bungkusan aneh dalam kantong plastik hitam yang membuatku curiga. Namun, Enek bilang hanya boleh dibuka jika aku telah menemukan apa yang kucari. Rasa penasaranku makin menjadi ketika Enek memberikan tiga lembar amplop warna hijau, kuning, dan merah. Amplop warna hijau boleh dibuka esok pagi saat aku akan berangkat mencari sesuatu yang dimaksudkan Enek. Sebenarnya aku makin curiga saja. Tak biasanya Enek melakukan sesuatu aneh begini. Lalu menyuruhku cepat istirahat dan berangkat esok pagi.

Baca juga  Rasa Heran di Malam Lebaran

“Perjalanan rindumu siap dimulai. Buka amplop hijau itu dan temukan apa yang menjadi rindumu selama ini. Bismillahirrahmanirrahim.” Awal hari ketika kabut dan embun belum ingin pergi, Enek membaluri tubuhku dengan doa-doa di depan pintu. Aku penasaran dan membuka amplop pertama. Ada selembar kertas dengan tulisan tangan milik Enek di sana.

/1/ Seekor kupu-kupu kadang menyelinap dalam keremangan kamar saat tengah malam dan tak bisa pulang. Entah ia yang tak tahu jalan pulang atau karena memang ia hanya ingin mencari makan, dan tersesat.

Di depan pintu, Enek mengangguk mantap. Melepaskanku pergi dengan sebuah tulisan alamat yang sebetulnya aku tak begitu paham tempat itu. Namun, sekali lagi Enek bilang, perjalananku kali ini akan menjawab semua pertanyaan di kepalaku. Menerjemahkan segala rasa rindu dalam kalbu.

Jika tak kuturutkan rasa ingin tahu, mustahil aku datang jauh-jauh sampai ke kota itu. Menumpang truk pengangkut sayuran menuju terminal. Melanjutkan perjalanan menuju kota yang terbenam di sela pegunungan, bukit, lembah, dan ngarai. Kota yang saban hari didongengi bising pertengkaran suara klakson dan ratapan keluarga ilalang yang terlindas ban kendaraan. Enek ternyata telah memberiku bekal uang dan makanan di dalam tas. Aku tak tahu apakah cukup hingga pencarian rasa rindu ini berakhir.

Sudah dua jam ini aku berjalan tak tentu arah. Tetiba langkahku terhenti di tepi pertigaan jalan di depan samping plaza dengan bangunan nan megah, di antara kerumunan orang yang berlalulalang. Mataku menyipit ke angkasa, melihat tatapan matahari tiba-tiba begitu dingin. Mirip irisan jeruk tergeletak di seprai kumal. Langit begitu kusam. Aku paham siang akan segera berakhir. Kututupkan telapak tanganku di kening. Di kejauhan, jarum jam Gadang dalam angka Romawi empat terlihat aneh. Tertulis IIII. Aku teringat cerita Etek Mirah tentang angka aneh itu. Aku mencoba kembali melangkah perlahan walau terasa berat. Kakiku seolah penuh dengan beban. Namun, aku tetap mencoba menguatkan langkah menyusur jalan.

Kemarin sebelum berangkat, Enek telah menyelipkan selembar senyum ke dalam dompetku. Juga sebungkus doa ke dalam tasku. Awalnya aku ragu, tetapi aku dibekali sebuah keyakinan. Enek tahu, ada rasa rindu yang terus menggantung di dalam kepalaku. Dan lembaran kertas kedua di dalam amplop kuning ini membuatku semakin paham, ke mana perjalanan ini akan bermuara.

Baca juga  Arisan Covid

/2/ Kata orang, Enek adalah surga ketiga yang pernah Tuhan sabda. Surga pertama dan kedua? Enek yakin Tuhan pernah menciptanya. Temukan salah satunya dan bawalah pulang sebelum terlambat.

Berhenti melangkah berarti menyerah. Sudah seminggu ini aku berkeliling, mencoba menanyakan ke tempat-tempat hiburan malam, kafe, warung, dan diskotek. Mencoba mencari rindu yang hilang. Menginap dari satu masjid ke masjid. Bekal makin menipis. Belum ada tanda-tanda. Aku mulai putus asa.

Kembali tanpa membawa apa yang begitu kurindukan tentu akan membuat Enek kecewa. Sudah hampir enam belas tahun sejak aku masih dalam buaian. Dirawat Enek lalu mondok di sebuah pesantren di Pariaman. Kurasa sudah cukup bekal. Aku sudah dewasa. Sudah sepatutnya aku dilepas untuk mencari satu pertanyaan di kepala. Dan untuk menemukan jawabannya, Enek menuntunku dalam satu perjalanan rindu ini.

Aku baru tahu jika senyum ibu manis sekali. Rambut ikal legam sebahu, mata bulat tajam dengan dagu yang lancip. Aku tak pernah melihatnya sejak dari kecil. Mungkinkah ibu masih secantik ini?

Foto di tanganku kurapikan kembali. Kumasukkan lagi selembar rindu itu ke dalam amplop kedua warna kuning. Aku menengadah. Melihat di angkasa gumpalan-gumpalan putih dan biru terlipat-lipat. Langit seolah sedang dipahat. Aku melepas sepatu. Masuk perlahan ke dalam masjid yang dipenuhi jamaah. Suara azan asar dari kejauhan tiba-tiba memanggilku ke situ.

Enek bilang, ibuku seorang pribadi yang penuh ambisi. Tubuhnya selalu dipenuhi mimpi-mimpi. Apalagi setelah ibu tahu jika ia lahir tanpa ayah. Teman-teman kecilnya selalu membencinya. Bahkan mereka senang memanggil ibuku dengan nama “anak haram”. Aku tak tahu apa memang ada anak halal dan haram. Kepedihan itu yang membuat ibu ingin aku terlahir berbeda. Walaupun Enek juga tak pernah bercerita tentang surga kedua. Ayahku.

Aku baru saja ingat. Enek menitipkan sebungkus pesan pada ibuku. Aku dilarang membukanya sebelum aku menemukannya. Bungkusan dalam kantong hitam yang membuat rasa penasaran kadang mengusik pikiranku. Namun, aku tak mau melanggar pesan Enek. Enek benar, berjalannya waktu telah mengubah seluruh postur dan wajah seseorang. Bisa saja ibu tak mengenaliku sekarang. Atau sebaliknya. Sengaja, bungkusan ini adalah sebuah sandi rahasia untuk ibuku jika aku anaknya. Aku mulai paham maksud Enek.

***

/3/ Seekor kupu-kupu selalu teringat di mana ia terakhir kali meletakkan telur-telurnya. Ia tahu, ia hanya didaulat Tuhan untuk hidup dalam seminggu. Ia tak punya banyak waktu. Semoga ia bisa berguna bagi sesama sebelum ajal menjemputnya.

Baca juga  Mereka Menikah di Kolong Jembatan

Di bawah keremangan langit yang meninggi. Di tepi jalan dengan debu-debu yang berusaha menggumuli wajahku, tatap kami bertemu dalam bisu. Di samping sebuah plaza megah yang tempo hari aku kebingungan menentukan arah, langkah kami tiba-tiba terhenti dalam jarak tiga langkah. Ada sebuah naluri, sepasang hati, juga sebuah mimpi yang sama.

Perempuan itu mendekat. Memelukku dalam haru. Entah bagaimana takdir itu bermula, tetapi Tuhan tentu punya kendali segalanya. Perempuan itu bilang, “Aku ibumu.”

Hari terindah yang selalu aku impikan dari dulu akhirnya datang. Awalnya aku ragu, tetapi ada sesuatu yang tak bisa membohongi hati nurani. Wajahnya sama persis di foto. Aku tak bisa berkata-kata selain air mata. Pengembaraanku berakhir saat amplop terakhir telah terbaca isinya.

Perempuan itu lalu membawaku ke tempat tinggalnya. Ternyata wajah ibu tak banyak berubah. Berkali-kali ia mengelus rambutku. Berkali-kali pula terucap kata maaf padaku sambil terus menciumi pipiku. Di dalam sebuah ruang sederhana yang hanya ada satu meja dan dua kursi plastik, aku duduk di salah satunya, lalu menyerahkan bungkusan itu bahkan setelah ibu tahu siapa aku.

Wanita itu, surga pertama yang kupanggil ibu segera membuka benda aneh dari Enek di meja. Melihat isi bungkusan itu dengan haru. Ia membaca selembar kertas yang berisi pesan dari Enek. Tangannya sedikit bergetar. Matanya tiba-tiba berubah bening seperti kaca.

Bersama selembar kafan ini, Amak tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Kau harus selalu ingat jika kupu-kupu ditakdirkan Tuhan hanya hidup dalam seminggu. ***

.

.

DODY WIDIANTO lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Pontianak Post, Tanjungpinang Pos, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dan lain-lain. Akun IG: @pa_lurah.

.
Surga Kupu-Kupu. Surga Kupu-Kupu. Surga Kupu-Kupu. Surga Kupu-Kupu. Surga Kupu-Kupu. Surga Kupu-Kupu.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: