Cerpen Danarto (Republika, 20 Desember 1998)
PEREMPUAN itu terhuyung-huyung, lalu sesaat kemudian jatuh tersungkur. Seperti telah memunggah beban berat dari pundaknya, dia tak sadarkan diri. Tergolek dalam semak-belukar rimba raya yang lebat, dia seolah lelap tertidur. Kelihatan kumuh, pakaian yang robek-robek, rambut yang acak-acakan, dan tubuh yang tergores-gores, perempuan itu menyiratkan kecantikan yang perkasa. Telapak kakinya yang merah-jambu pecah-pecah. Di sana-sini berdarah. Kuku-kuku jari kaki dan jari tangannya yang memanjang, tentu tak dapat dihentikan pertumbuhannya. Dia juga tak berhasil menyembunyikan tubuhnya yang indah, bahkan ketika tubuh itu tak sempat dirawat. Setiap langkah dalam setiap saat baginya merupakan waktu yang sangat menentukan jalan hidupnya.
Sudah 99 hari dia menguntit Batara Yamadipati, Dewa Kematian, yang memanggul beban Setiawan, suaminya, yang sudah menjadi mayat. Perempuan ini, Sawitri, tidak rela atas kematian suaminya. Merasa diperlakukan tidak adil, dia menuntut Dewa Kematian itu untuk memberikan nyawa suaminya kembali, secepat mungkin. Tentu saja Sanghyang Yamadipati merasa terpojok oleh tuntutan Sawitri. Pertama, Sang Dewa sangat heran, bagaimana mungkin Sawitri bisa melihat badannya yang sebenarnya tidak kasat mata. Demikian juga apa-apa yang dibawanya tidak bisa dilihat oleh mata manusia. Kedua, Sang Dewa sangat kagum atas ketahanan tubuh Sawitri yang mampu menguntit ke mana saja kepergiannya tanpa kelihatan merasa lelah dan tak kehilangan jejak. Di mana ada Yamadipayi, di situ tegak Sawitri.
Sebaliknya Sawitri juga merasa heran bahwa kematian Setiawan di luar akal sehat dan kenapa jenazahnya tak ditinggalkannya. Sawitri lalu menuduh para dewa berlaku curang terhadapnya. Bagaimana tidak curang, Setiawan seorang ksatria yang sehat jasmani dan rohani. Setiap hari selalu berolahraga. Makannya bagus. Istirahatnya bagus. Dan pikiran-pikirannya bagus. Tak mungkin seseorang yang dalam kondisi sebagus-bagusnya, tiba-tiba begitu saja meninggal dunia. Bagaimana dengan takdir? Mendengar perkataan takdir, Sawitri hanya mencibir. Perempuan cantik ini telah terbang menembus langit ke kerajaan para dewa. Sebelum sampai menembus istana, Sawitri sudah dicegat para dewa penjaga. Lalu para dewa penjaga itu dengan memaksa mengantarkannya ke istana Batara Narada.
“Takdir selalu mengikuti kehendak tubuh yang memiliki takdir tersebut. Jika keadaan tubuhnya sehat-walafiat jasmani dan rohani, takdir akan setuju saja memperpanjang usia si orang itu,” kata Sawitri di depan Batara Narada, wakil penguasa tertinggi para dewa di Kahyangan, yang lantas terbahak-bahak mendengar pendapat Sawitri itu.
Sesaat ditatapnya Sawitri, lalu Batara Narada berujar, “Sawitri, putriku yang jelita. Kamu jangan ngarang, ya. Takdir manusia adalah urusan para dewa. Jika takdir sudah tiba, umur manusia tidak bisa ditunda. Tidak mungkin ditambah atau dikurangi, meski keadaan badannya sehat-sesehat-sehatnya.”
“Banyak umur yang bisa ditawar-tawar.”
“Ah, kamu jangan mendongeng.”
“Ada seorang pertama yang sudah sampai ajalnya, ia didatangi Betara Yamadipati yang memintanya untuk mengikhlaskan nyawanya. Pertapa itu memohon Sang Dewa untuk memperpanjang umurnya barang secukupnya karena ia merasa bertapanya belum cukup. Lalu Eyang Yamadipatyi mengabulkannya.”
“Lagi-lagi, kamu mengarang.”
“Betul, yang mulia. Hamba tidak bohong. Hamba bertemu sang pertapa itu.”
“Ketahuilah, putriku yang manis. Sosok yang menemui pertapa itu bukan Batara Yamadipati, melainkan orang biasa yang bisa mengubah bentuk tubuhnya persis Dewa Pencabut Nyawa itu.”
“Ah, tidak mungkin. Sang pertapa sendiri sangat yakin, ia Dewa Yamadipati.”
“Kalau begitu ia bukan pertapa yang mumpuni. Tak mungkin pertapa yang andal bisa ditipu.”
“Ia seorang yang jujur.”
“Saya percaya, pertapa itu seorang yang jujur. Barangkali sangat jujur. Tapi orang jujur kan tidak mungkin tidak tertipu.”
“Kalau begitu hamba harus mempercayai siapa?”
“Percayailah Dewa yang ada di hadapanmu ini. Ia sangat berkuasa terhadap kerajaan langit dan bumi.”
“Hamba ingin bukti bahwa ajal suami hamba memang telah sampai.”
“Kok kamu masih bertanya pula. Suamimu sudah di alam lain.”
“Kenapa jenazahnya dibawa serta?”
“Ketentuan takdir itu macam-macam. Ada yang meninggal secara biasa. Ada pula yang meninggal secara luar biasa. Suamimu termasuk yang luar biasa. Ketika suamimu meninggal, ia cukup suci sehingga tubuhnya cukup pantas untuk diterbangkan ke langit.”
“Hamba tidak rela.”
“Lho, bukan urusan para dewa untuk merasakan suasana hatimu.”
“Kalau begitu para dewa curang.”
“Dalam urusan takdir, tidak ada hal curang atau tidak curang.”
“Duh, Sanghyang yang menguasai langit. Paduka mengetahui bahwa kami adalah pengantin baru. Baru menikmati sedikit kelezatan perkawinan, Paduka telah mencabut nyawa suami hamba. Di mana lalu keadilan para dewa.”
“Dalam urusan takdir, tidak ada hal adil dan tidak adil. Takdir berdiri di luar hukum alam. Takdir sepenuhnya berada di dalam daftar yang tersusun rapi.”
“Jika demikian, anugerahi kami keringanan sedikit. Kami berdua berjanji akan menurunkan lima orang anak dan cucu sebanyak dua puluh lima orang. Jika waktu mendesak, izinkan suami hamba meninggal setelah melihat cucunya yang ke lima.”
“Sawitri, putriku yang gagah berani. Kami harus yakin bahwa dalam takdir tidak ada tawar-menawar.”
“Kalau begitu para dewa itu kejam.”
“Dalam takdir, tidak ada hal yang kejam dan tak kejam.”
“Kalau begitu para dewa itu bekerja tanpa patokan.”
“Ha ha ha.”
Tanpa pamit kepada Batara Narada, Sawitri berkelebat bagai kain yang dihembus angin, pergi meninggalkan Kahyangan turun ke Mayapada. Sawitri masih tergeletak dan semakin tenggelam di dalam semak-belukar rimba raya. Lembab bau daun yang beguguran menumpuk, bercampur akar dan ranting memberi aroma sampah yang sedap. Parfum hutan lebat. Gelap pekat sinar matahari tak mampu menembus rimbun daunnya. Hutan rimba adalah samudra yang tak terjamah. Tak terukur kedalamannya. Pusat kehidupan roh alam. Sulur-sulur menghubungkannya. Pipa darah yang lancar mengalirkan daya hidup. Kelestarian lingkungan. Seekor babi hutan mendekat, mengendus-endus dan menggulingkan tubuhnya dengan taringnya yang besar dan melingkar itu. Tiba-tiba saja sebatang belalai mencomot badan babi hutan itu dan melemparkannya jauh-jauh. Kemrosak bunyi badan binatang yang berbulu tajam itu menerjang ranting dan daun. Entahlah, ia terbirit menghilang di balik pohon raksana, kemana.
Esoknya baru Sawitri terbangun. Dia kaget sekali karena dia telah tidur berkasur ular raksasa. Tubuh ular itu lebih besar dari batang-batang kayu yang besar dan tumbuh subur. Ketika Sawitri mau lari, ular itu mencegahnya sambil berkata, “Sawitri, cucuku. Cobalah tatap wajahku.”
Begitu Sawitri memperhatikan kepala ular yang bermahkota itu, sadarlah ia lalu menyembahnya.
“Eyang Anantaboga, mohon maaf, Cucunda tidak mengenali.”
“Tak apalah, Cucuku. Karena sudah lama kita tidak berjumpa, kamu jadi pangling.”
“Tapi ijinkan Cucunda untuk cepat-cepat pergi sebelum buruan Cucunda berlari lebih jauh lagi.”
“Ha ha ha. Aku mahfum. Berpuluh hari kamu menguntit Sanghyang Yamadipati untuk meminta jenazah suamimu yang kemana-mana dipanggulnya guna dihidupkan kembali dan diserahkan kepadamu. Aku merasakan getaran jiwamu yang keras di dasar bumi, kerajaanku.”
“Mohon maaf sebesar-besarnya, Cucunda telah mengganggu Eyang.”
“Sebaiknya aku memang perlu diganggu. Bagi kamu barangkali aku ini orangtua yang kurang berguna.”
“Tidak sekali-kali, Eyang, Cucunda punya pikiran yang seperti itu.”
“Dengan berat hati aku katakan kepadamu, apa yang diutarakan Batara Narada, benar adanya. Begitulah takdir.”
“Cucunda mohon pamit,” tiba-tiba saja Sawitri memotong pembicaraan sambil tubuhnya berkelebat bagai berpacu dengan angin meninggalkan Sanghyang Anantaboga, maharaja kerajaan dasar bumi itu.
“Jangan begitu Cucuku. Maksudku…,” teriak maharaja ular itu sambil menjulur mengejar putri yang semangatnya berkobar-kobar itu. Dengan sigap Anantaboga menggaet tubuh Sawitri lalu memanggulnya dan meluncurlah ular raksasa dengan kecepatan penuh, menyusuri sela-sela batang-batang pohon besar dalam rimba-raya yang pekat itu.
“Turunkan Cucunda, Eyang. Aku tidak butuh pertolongan Eyang.”
Anantaboga tidak menggubris omongannya, terus meluncur bagai kapal layar yang didorong angin buritan.
“Turunkan Cucunda, Eyang. Aku tidak butuh pertolongan Eyang.”
Anantaboga tetap tidak menggubrisnya, terus meluncur bagai anak panah yang melesat dari busurnya.
Sikap Anantaboga ini bagi Sawitri mengingatkan sikap Yamadipati yang tidak pernah menggubrisnya.
“Eyang Yamadipati, kami adalah pengantin baru. Kamu sedang mereguk kebahagiaan ketika tiba-tiba Eyang muncul dan mencabut nyawa suami saya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apa kesalahan dan dosa kami sehingga secara tiba-tiba kami dipisahkan?” begitulah perkataan yang keluar dari mulut Sawitri mula-mula ketika menghadapi kenyataan yang sangat pahit itu, setelah menangis menjerit-jerit sambil memeluk Setiawan, suaminya yang tiba-tiba terbujur lemas, telah menjadi mayat, sementara itu di pojok taman kolam renang istananya berdiri Batara Yamadipati persis batu, kokoh dan dingin.
Dewa Pencabut Nyawa itu hanya diam, tak memberi jawaban, juga tidak berkata-kata. Dewa yang berbadan bongsor ini lalu mendekat yang membuat Sawitri ketakutan dan mundur. Ditariknya mayat Setiawan dan dipanggulnya yang menyebabkan Sawitri menjerit lalu menubruk suaminya dan berebut jenazahnya. Tapi pegangan sang dewa sangat kuatnya sehingga Sawitri yang tak mau melepaskan cengkeraman tangannya atas tubuh suaminya, terseret. Sawitri meronta. Sawitri memukuli dada Yamadipati, namun Dewa itu tidak peduli. Ia terus berjalan sambil memanggul Setiawan di pundaknya seperti memanggul karung berisi beras.
Sawitri merangkul erat-erat kedua kaki sang Dewa, ditahannya supaya tidak bisa melangkah, tapi dengan mudahnya dihempaskannya. Sawitri menangis sepanjang jalan, sambil menyeret kakinya ke mana sang Dewa pergi. Sesekali Sawitri menciumi tubuh Setiawan yang kepalanya terjulur di punggung sang Dewa, sesekali perempuan ini mencoba terus untuk merebut jenazah suaminya dengan menarik-narik kedua kakinya yang erat dicengkeram sang Dewa. Jika Yamadipati terbang, terbang pula Sawitri. Jika sang Dewa menyeberangi lautan, begitu pula Sawitri sanggup menyeberangi lautan. Jika Dewa itu melintas gurun yang panas-terik, melintas pula Sawitri tanpa ragu-ragu. Sampai Yamadipati ragu, benarkah putri yang lembut ini Sawitri atau jelmaan kekuatan para dewa yang mencoba membelanya.
Dalam berlari atau berjalan menguntit sang Barata, sering Sawitri jatuh tertidur sampai terguling-guling ke bawah bukit. Begitu tubuhnya terbentur pada bebatuan, dia terbangun dan mengejar Yamadipati kembali. Atau dalam keadaan tertidur tangannya memegangi erat kaki Yamadipati yang terus menyeretnya tidak peduli. Atau pernah pula karena Yamadipati kasihan, dalam keadaan tertidur Sawitri dipanggulnya di pundak bersebelahan dengan Setiawan. Tak jarang Yamadipati yang tak pernah sepatah kata pun berbicara kepadanya, meninggalkan Sawitri di sembarang tempat—termasuk tempat yang berbahaya—karena perempuan itu kelelahan. Sebagai dewa dengan tugas khusus, Yamadipati tentu membutuhkan syaraf baja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu.
Yang menjadi pertanyaan besar Sawitri adalah, mau dibawa ke mana jenazah suaminya itu. Jika Setiawan seorang suci, sejauh apa kesuciannya sehingga badan-wadagnya perlu dikuburkan di langit. Jika tindakan Dewa itu perlu guna mengecoh istrinya, apakah seorang perempuan seperti Sawitri begitu penting untuk dikecoh. Jika para dewa ingin memberi pelajaran tentang filosofi moral kepada umat manusia, kenapa harus dengan jalan memutus tali cinta antarsesama manusia, mengapa tidak bercerita tentang percintaan para dewa saja. Yamadipati yang tidak mau berbicara karena disiplin akan tugasnya yang hanya mencabut nyawa, menggiring Sawitri ke pertanyaan-pertanyaannya yang lebih mendasar tentang mekanisme birokrasi pemerintahan kedewataan yang mustahil bisa ditembus oleh manusia. Bagi Sawitri, tragedi percintaannya itu sungguh diliputi kabut yang aneh dan musykil.
Sampai tibalah hari ke-999 ketika Sawitri ditemui Sanghyang Anantaboga itu, yang lantas membawanya melaju seperti kapas yang diterbangkan angin. Kemarahan Sawitri terobati sedikit ketika dia melihat Yamadipati yang berlari bak angina—tetap memeluk erat jenazah Setiawan—tersusul. Begitu Yamadipati lepas landas mau terbang, ekor Anantaboga menggaet tubuh Dewa Kematian itu hingga tak bisa bergerak. Anantaboga mendesis sesaat, menghadangnya, tersenyum sambil berkata: “Terserahlah Anda mau pergi ke mana dan seberapa lama, tapi jangan ditinggal Sawitri.”
Yamadipati diam, sebagaimana biasanya. Tegak persis batang pohon yang tak tergoyahkan oleh angin kencang.
Anantaboga lalu mencium kening Sawitri sambil berkata, “Sawitri, cucuku yang manis, ikhlaskan suamimu dan belajarlah tentang takdir.”
“Bagaimana kalau Eyang Anantaoga belajar hidup menggelandang seperti saya?”
Anantaboga tak menjawab ucapan Sawitri, lalu ngeloyor pergi, lenyap ditelan pepohonan besar dan lebatnya rimba-raya. Sambil duduk bersimpuh di depan Batara Yamadipati yang tetap erat memanggul jenazah Setiawan, Sawitri berkata dengan santun.
“Duh, Eyang yang berkuasa atas nyawa manusia. Mohon maaf, telah ratusan hari hamba tempuh mengikuti langkah paduka. Hamba ulangi lagi permohonan hamba untuk kesekian kalinya yang mendesak untuk minta dikabulkan, hamba mohon paduka menghidupkan kembali Setiawan, suami tercinta hamba. Dan izinkan kami dan keturunan kami untuk menikmasi kebahagiaan rumah tangga sampai cucu-cicit-canggah-wareng. Sampai kami dan keturunan kami dijauhkan dari siksa neraka dan kesengsaraan hidup, yang akhirnya di surga rumah kami yang sebenarnya.”
Sesaat kemudian, tak dinyana Batara Yamadipati pelan menurunkan jenazah Setiawan dari pundaknya. Ksatria itu lalu tegak berdiri, sesaat kemudian berjalan ke arah Sawitri yang kelihatan terheran-heran. Begitu sadar, Sawitri berlari dan menghambur ke pelukan suaminya yang menyambutnya dengan mesranya, erap mendekap dan pecah tangis putri yang gigih itu. ***
.
.
Leave a Reply