Cerpen, Iin Farliani, Jawa Pos

Mei Salon

Mei Salon - Cerpen Iin Farliani

Mei Salon ilustrasi Budiono/Jawa Pos

5
(4)

Cerpen Iin Farliani (Jawa Pos, 28 Januari 2023)

SEBUAH plang bertulisan “Mei Salon” tergantung di tembok salah satu rumah bercat merah muda yang berada di lingkungan wisma para pegawai dari luar daerah itu. Tidak ada keterangan lain yang menunjukkan bahwa rumah itu membuka salon, selain ilustrasi perempuan muda dengan bibir penuh yang sedang menggeraikan rambutnya.

Ilustrasi itu begitu halus hingga tampak tidak nyata, seperti ilustrasi yang sering ditemukan pada sampul novel picisan era lama. Plang “Mei Salon” sedikit tersembunyi di belakang rimbun daun hanjuang yang ditanam berjajar pada satu petak kecil bersama tanaman-tanaman hias lainnya. Hanjuang itu tumbuh meninggi sehingga bila ada orang berdiri di luar pagar wisma, ia tidak akan melihat plang bertulisan “Mei Salon” itu.

“Pantas saja salon ini sepi,” gumamku. Tiba-tiba tanpa kuduga-duga pintu “Mei Salon” begitu saja terbuka. Dari dalam melongoklah seorang perempuan muda berambut merah. Rambut yang dipotong pendek, teramat pendek, hingga menyerupai potongan rambut pria. Perempuan itu mengenakan celana kulot hitam dan baju kaus putih. Di kepalanya terikat bandana kain berwarna merah. Ia tersenyum ramah melihatku. Beberapa lama ia terdiam sambil mematutiku dari kaki hingga kepala. Pandangannya kagum bercampur heran seolah tengah menyaksikan seseorang yang berasal dari masa lalu.

“Wah, wah. Salon baru dibuka, pelanggan sudah datang. Ayo, masuk.” Perempuan itu menggamit lenganku dengan riangnya. Ia menuntunku duduk di salah satu kursi yang berderet dengan masing-masing cermin besar di depannya. Aku melihat bayanganku pada cermin dan baru menyadari betapa kuyunya penampilanku dengan potongan rambut shaggy berwarna cokelat yang mulai pudar. Persis batang pohon muda yang dicabut paksa dari akarnya, lalu diempaskan ke pekarangan, kemudian layu perlahan-lahan.

Perempuan itu menawariku creambath secara cuma-cuma sebab aku pelanggan pertamanya. “Heh? Rambutnya kaku ya,” kata perempuan itu setelah menyentuh rambutku dan membantuku berbaring di atas kursi keramas. Kursi itu demikian nyaman. “Memang kaku. Pernah diwarnai. Hasilnya tidak terlalu bagus,” kataku. Dengan hati-hati aku menempelkan tengkuk pada tatakan yang terhubung dengan bak cuci rambut. Terdengar suara air mengucur dari keran. Perempuan itu mulai mengeramas rambutku. Airnya begitu dingin menyusup cepat ke pori-pori kulit kepala. Aroma buah menguar. Busa sampo jatuh di keningku, menggumpal sebentar, lalu dengan cepat mencair menuruni pelipis. Perempuan itu tertawa kecil, meminta maaf, lalu hati-hati mengusap busa itu dengan handuk pendek yang menutupi pundakku.

Namanya Mei, sama dengan nama salonnya.

Ia bercerita perihal suaminya yang dipindahtugaskan. Bercerita tentang daerah asalnya, anaknya, pekerjaannya, dan keputusannya membuka salon. Ia dan keluarganya sudah enam bulan tinggal di wisma ini. Suaminya melarang ia bekerja di luar rumah. Tapi ia bosan berdiam diri terus. Tetangga-tetangga penghuni wisma menutup diri. Mungkin mereka juga sama seperti dirinya, masih perlu beradaptasi di lingkungan baru. Mereka semua pendatang. “Tidak ada penghuni wisma yang asli dari daerah sini.” Aku melihat senyumnya terpantul di cermin selagi ia sibuk mengoles krim beraroma vanila sambil membagi helai-helai rambutku dengan cekatan.

Baca juga  Ular Randu Alas

Mei bertanya tentang pekerjaanku, di mana aku tinggal, dan kenapa aku berjalan-jalan di wisma yang sepi ini. “Aku mahasiswa akhir fakultas perikanan. Tinggal di lingkungan sebelah,” kataku sambil menunjuk tembok bata berlumut yang memisahkan wisma ini dengan lingkungan tempat aku menyewa rumah. “Orang bisa melompat dari tembok itu dan langsung sampai di wisma ini. Tapi aku tidak melakukannya. Aku memilih jalan memutar. Sekadar jalan-jalan mengusir penat,” lanjutku.

Setelah selesai mengeramas rambutku, Mei bertanya apakah suatu saat aku mau mencoba meluruskan rambut. Aku bilang pernah mencoba meluruskan rambut di salon abal-abal. Beberapa hari setelahnya rambutku menjadi seperti kawat. Sulit sekali disisir. “Pacarku tidak senang melihatnya. Katanya rambutku mengingatkannya pada gumpalan rumput laut kering yang sudah dijemur.” Mei tertawa. Ia senang mendengar ceritaku. “Sudah punya pacar rupanya,” katanya. Aku mengangguk. “Pacarku bekerja di tambak rumput laut. Letaknya sangat jauh dari sini. Hanya sekali sebulan kami bertemu. Itu sebabnya, ia tidak ingin rambutku tampak kacau hingga mengingatkannya lagi pada gumpalan rumput laut kering yang sudah setiap hari dijumpainya.” Mei tertawa lagi, lebih keras.

Selagi asyik bercerita, seorang anak kecil muncul dari kamar. Ia hanya memakai singlet putih dan celana dalam merah muda. Barangkali umurnya sekitar lima tahun. Rambutnya keriting kecil-kecil, dibiarkan mengembang. Kulitnya putih bersih. Sama putih dengan kulit ibunya. Ada garis-garis samar di wajahnya seperti yang sering tampak di wajah anak-anak yang baru bangun dari tidur siang.

“Hey! Hey! Mei. Ayo ke sini. Kenalan sama kakak.”

“Namanya juga Mei?” tanyaku setengah tidak percaya. Ibu, anak, dan salon memiliki nama yang sama.

Sejak hari itu aku sering datang mengunjungi Mei Salon. Kalau sekadar keramas, Mei tidak mau menerima bayaran. Tapi aku jadi tidak enak hati. Sebagai gantinya, aku ikut membantu Mei mencari pelanggan. Aku sering mengajak kawan-kawan kampusku untuk mampir ke Mei Salon. Beberapa lantas menjadi pelanggan tetap. Mei sangat senang dan berterima kasih. Aku juga turut senang. Hubungan kami menjadi akrab. Begitu juga hubunganku dengan Mei kecil.

Meski hanya dipisahkan tembok bata berlumut yang tak seberapa tinggi, lingkungan rumah sewaku benar-benar berbeda dengan lingkungan wisma tempat Mei tinggal. Kalau lingkungan wisma cenderung sepi dan tenang, di lingkunganku, sebagian besar yang menyewa adalah mereka yang kesehariannya berwirausaha; ada pedagang mi ayam, bakso, roti, atau jamu. Aroma di lingkunganku jadi bermacam-macam. Menguar dari berbagai macam masakan yang akan dijual. Sementara beberapa penyewa lainnya bertumpu pada pekerjaan kecil seperti guru honorer, karyawan toko, atau pengasuh anak. Sebagian besar juga sudah berkeluarga. Hanya aku dan Rere yang masih berstatus mahasiswa. Sebagai mahasiswa pas-pasan kami sepakat untuk membagi biaya sewa, masing-masing separo. Berbeda denganku, Rere sibuk dengan kegiatannya menulis cerita. Ia sangat suka menjadikan tetangga-tetangga kami sebagai pemodelan tokoh-tokoh karangannya.

“Ada kabar baru tentang Sudip,” kata Rere suatu kali sambil menunjukkan wajah bergidik. “Salah seorang tetangga telah melihat Sudip berkeliaran di kebun tanpa mengenakan apa pun. Itu ritual untuk mendapatkan ilmu hitam. Bertelanjang dan berkeliling kebun di malam hari.” Rere menggelengkan kepalanya menunjukkan wajah ketakutan. “Ia pasti ingin mendapatkan kekuatan lebih supaya bisa terus menyiksa istrinya. Kau percaya?” Rere menatapku. Aku menjawab aku tidak tahu apa pun.

Baca juga  Mayat Itu Cantik Sekali

Di lingkungan rumah sewaku, cukup sering terjadi perkelahian rumah tangga. Adu mulut suami istri yang kebanyakan soal uang belanja sehari-hari. Tapi adu mulut semacam itu sebatas teriakan dengan nada tinggi dan sesekali disusul suara pecahan piring dari dapur. Berbeda dengan pertengkaran Sudip dan istrinya. Selain tidak malu bertengkar di halaman dan disaksikan tetangga, Sudip pernah menyeret istrinya, menjambak rambutnya, dan mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Istrinya bangkit dan lari terbirit-birit. Orang-orang tidak berani menolong. Perempuan-perempuan menjerit, serentak masuk ke dalam rumah. Hanya sesekali mengintip dari jendela. Mereka tahu Sudip suka menggunakan senjata tajam.

“Terkutuk!” seru Rere ketika kami menyaksikan peristiwa itu dari jendela. Ia tampak gemetar. Aku ikut gemetar menyaksikan semua itu. “Kuharap Sudip cepat mati!” serunya lagi.

Suatu hari Mei memberi tahuku bahwa ulang tahun Mei kecil akan berlangsung beberapa hari lagi. Ia memintaku membantunya. Aku berkata, “Dengan senang hati.”

Aku meminta Rere ikut membantu persiapan ulang tahun Mei kecil. Rere terdiam, memandangku heran.

“Kau belum dengar?” tanyanya dengan wajah serius.

“Belum dengar apa? Kau jangan menakutiku lagi dengan cerita Sudip.”

“Bukan. Ini tentang Mei Salon,” bisiknya.

Rere pernah mendengar kabar bahwa Mei menyiksa anaknya tiap tengah malam. Kamar mandi setiap rumah di lingkungan kami berada di luar dan berbatasan langsung dengan tembok yang memisahkan lingkungan kami dengan lingkungan wisma. Kami bisa naik sedikit dari undakan yang menempel pada tembok dan melongokkan kepala untuk melihat halaman wisma. Sudah banyak yang mendengar tangisan anak kecil dari balik tembok. Suatu kali karena terganggu oleh suara teriakan dan tangisan, tetangga kami yang berjualan mi ayam memberanikan diri menaiki undakan dan melihat satu-satunya lampu yang masih menyala di wisma itu berasal dari Mei Salon.

Rere juga mengatakan bahwa ketika malam sudah larut, Mei suka memberi tambahan pelajaran untuk anaknya. Meski percakapan tidak terdengar jelas, Rere bisa mendengar suara perempuan sedang mengajari anak kecil berhitung, membaca, dan sesekali belajar bahasa asing. Kalau si anak tidak mampu menjawab, keheningan akan pecah oleh bunyi pecut rotan, teriakan kemarahan, dan bentakan yang disusul jerit tangis anak kecil.

“Sangat melengking hingga membuatku merasa ngeri,” kata Rere. “Itu sudah berlangsung hampir tiap malam. Masakkah kau tidak dengar?”

“Tidak mungkin. Apa sudah ada yang melihatnya langsung? Mereka ibu dan anak yang sangat dekat. Mei kecil selalu tampak ceria.”

“Kau tidur seperti kerbau. Teriakan dan tangisan senyaring itu tidak kaudengar. Coba kapan-kapan kita intip sama-sama. Suara mereka begitu jelas.”

Rere tetap tidak bersedia membantuku menyiapkan ulang tahun Mei kecil. Jadi aku hanya mengerjakannya bersama Mei. Pesta tidak terlalu ramai. Mei memang sengaja mengundang sedikit orang. Ada beberapa pelanggan salon yang datang. Mei kecil terlihat bahagia dalam balutan gaun putih. Gaun yang dikenakan Mei kecil cukup terbuka dan pendek, memperlihatkan dengan jelas kulitnya yang putih bersih. Aku ingat pesan Rere untuk memperhatikan perubahan pada Mei kecil. Tapi aku sama sekali tidak melihat ada lebam biru atau bekas pukulan pada tubuhnya seperti yang disangka Rere. Ia sangat senang mengamati miniatur kurcaci dan putri salju yang menghiasi kue tarnya. Kami bernyanyi bersama, menyantap kue dan penganan kecil lainnya. Balon diletuskan. Sorak-sorai begitu riuh saat Mei kecil meniup lilin. Semua bertepuk tangan. Hangat dan bahagia.

Baca juga  Buku Catatan Darah

Sementara itu, di lingkungan kami kabar tentang perlakuan Mei terhadap anaknya terus berkembang. Semakin banyak yang membicarakannya. Tetangga-tetangga yang mengetahui kedekatanku dengan Mei kerap bertanya apakah aku masih sering datang ke Mei Salon. Mereka bahkan mendesakku untuk mencari tahu tentang kebenaran kabar itu.

Karena merasa tak enak hati, suatu hari aku memberanikan diri bertanya langsung pada Mei. Mei memandangku dengan mulut setengah terbuka, seolah tidak percaya dengan pertanyaanku. “Sepertinya banyak yang tidak memahami caraku, ya.” Jawabannya hanya itu. Sangat singkat. Tentu saja jawaban itu tidak aku ceritakan kepada siapa pun.

Kemudian hari-hari pun berlalu. Aku sibuk dengan skripsi dan mulai jarang mengunjungi Mei Salon. Orang-orang perlahan-lahan melupakan desas-desus tentang Mei. Mereka merasa kesibukan sehari-hari lebih penting. Mereka juga seperti baru menyadari bahwa bunyi pecutan rotan, suara teriakan, dan tangisan anak kecil sudah tidak terdengar lagi. Ternyata Mei sudah pindah. Ia tidak memberi tahuku. Plang bertulisan “Mei Salon” juga sudah tidak ada di tembok rumahnya. Beberapa tanaman hias juga sudah diangkut. Kecuali hanjuang yang batangnya telah jauh lebih tinggi.

Setelah kami lulus dan pindah, Rere masih suka mengingat-ingat peristiwa itu. Ia masih sering bertanya mengapa aku bisa tidak tahu, padahal aku cukup dekat dengan Mei. “Entahlah,” jawabku sekenanya. Aku merasa tidak suka ketika Rere mengungkit kedekatanku dengan Mei.

“Benar-benar tidak kelihatan, ya?” tanya Rere sebelum memberi tahu bahwa cerita pendeknya berhasil terbit di salah satu majalah sastra nasional.

Aku menerima majalah itu. Judul ceritanya tertulis dengan huruf yang besar dan jelas. Cerita itu berjudul “Namanya Mei”.

“Wah, ini cerita tentang aku, ya?”

“Bukan. Namamu kan Mey, pakai ‘y’. Ini tentang Mei Salon. Dasar kerbau.” ***

.

.

IIN FARLIANI. Penulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) dan kumpulan puisi berjudul Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022). Tahun 2022 ia diundang menghadiri dua festival sebagai emerging writer di Makassar International Writers Festival (MIWF) dan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF).

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Bagus, ringan dan enak dibaca

Leave a Reply

error: Content is protected !!