Cerpen, M Abdul Roziq, Suara Merdeka

Enigma Sang Raja

Enigma Sang Raja - Cerpen M Abdul Roziq

Enigma Sang Raja ilustrasi Joko Susilo/Suara Merdeka

2.3
(3)

Cerpen M Abdul Roziq (Suara Merdeka, 19 Januari 2023)

Anekdot dari Jepara

AKHIRNYA Simba sampai di ruang jenguk tahanan istana. Setelah beberapa waktu terantuk-antuk di sana, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Libertus namanya, pria paruh baya dengan kostum zebra.

“Jadi, Adik datang dari jauh?”

“Begitulah, Pak!”

“Jauh-jauh ke Yunani, hanya untuk bertanya-tanya?”

Simba tersenyum menghela napas sembari menghalau lelahnya.

“Pak, wartawan itu berbeda dari cenayang. Mereka tidak boleh mengabarkan berita hasil terawangan.”

“Baiklah kalau begitu, Dik, pasang telingamu, rekamlah cerita dariku.”

Kemudian pria paruh baya itu meraih bahu kursi di hadapannya, menyeretnya lantas duduk di depan Simba. Hingga posisi duduk keduanya hanya tersekat oleh meja, made in orang Jepara.

***

Malam itu angin bertiup sangat kecut, terasa sekali lewat dingin yang menusuk. Raja Antonius mengajakku ke Klab Elips Malam, mencari hiburan penghangat badan. Singkat cerita matanya tidak sengaja melihat meja judi yang sangat bagus, kemudian berkatalah Raja Antonius kepadaku: “Libertus. As the King I have to asking. Meja judi itu demikian bagus, tahukah engkau Libertus, itu meja made in mana?” Karena itu, kukatakan saja kepadanya: “Believe me! Itu made in orang Jepara.”

Lagi setahuku meja dengan standar mahkamah internasional seperti itu, adalah selalu buatan orang Jepara. Mana aku tahu kalau ternyata ada pula yang made in Blora, made in Bojonegoro, Surakarta, dan seterusnya.

***

“Lalu?” tanya Simba penasaran.

Sayang, opsir penjara dengan seragam cokelat alang-alangnya keburu datang, membawa Libertus kembali ke dalam sel tahanan. Setelah orang nomor dua se-Yunani itu benar-benar lenyap dari pandangan, Simba mematikan rekaman lalu keluar membuang kerutan tampang.

Baca juga  Rumah-rumah Nayla
Bidadari dari Batu

Pukul setengah tiga, waktu setempat. CCTV yang terpasang di langit-langit pintu rumah tahanan telah berhasil merekam detik-detik seorang lelaki berjalan keluar. Membaca papan, celingak-celinguk, lantas entah bagaimana caranya tiba-tiba ia menembus layar dinding itu bak tak terkendala apa-apa.

Padahal Alexander Yang Agung sudah demikian gagah menjaga halaman depan. Namun itu masih belum cukup untuk membuatnya gentar, atau menegun langkah kakinya yang bertepuk-tepuk datar. Bahkan pesona dari kecantikan Aphrodite, hanya ditanggapi dengan kata-kata klenik: “Bidadari dari batu, bagaimana kabar helenikmu?”

Sesaat kemudian ia tampak sudah berada di tepi jalan, meliput gedung-gedung vanila serta ritme kehidupan Athena. Tak didengarnya bising knalpot mobil menembaki bunga-bunga, hanya gelinding roda sesekali terasa seperti menggerus gendang telinga. Terlalu kontras apabila dibandingkan dengan keadaan di Indonesia.

Pukul tiga waktu setempat. Ia kembali ke dalam kamar hotelnya, melihat tiga kru kamera belum beranjak dari mimpinya.

***

Kru Kamera 3

Siang di sebuah warung kelontong.

“Mbak, tomat seperempat berapa ya?”

“Tomat merah, murah meriah, Pak, seperempat tiga setengah.”

“Oh, kalau begitu sama kecapnya satu.”

Tidak sampai empat detik, owner yang merangkap jabatan sebagai customer service sekaligus kasir itu sudah selesai membungkus semua belanjaan Karto.

“Tambah apa lagi, Pak?”

Karto tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menyodorkan selembar uang.

“Tunggu ya, tak ambil kembalian bentar.”

Lantas wanita kepala tiga itu dengan sigap mencolot-colot ke belakang, meninggalkan Karto di antara tumpukan dagangan. Agaknya, cukup lama Karto menunggu, setelah lebih dari lima menit berlalu, barulah bapak berkumis itu mencoba mengambil inisiatif untuk mencari tahu.

“Mbakkk? … Mbakkk?”

“Ke mana sih!” gerutunya.

“Mbaaakkk? … Mbakkk?”

Baca juga  Dari Dapur Bu Sewon

Lantaran tidak ada jawaban sama sekali, Karto memberanikan diri menengoknya ke ruang belakang. Ujunglah kumis tipisnya itu sedikit gemetaran saat hendak melewati penyekat ruang, barangkali karena Karto takut dituduh yang bukan-bukan.

Ruang belakang warung tersebut lebih mirip gudang penyimpanan, kardus-kardus tersusun sedang beberapa galon berserakan. Ada kamar mandi di pojokan, dari sanalah Karto mendengar suara air seperti sedang bentrokan.

“Juuuzz! … Juzzz! … Iwiriwiriwir!”

Entah kenapa, perasaan Karto menjadi sangat lega setelah mendengarnya.

“Pantes cekatan, kebelet toh!” batinnya.

Kru Kamera 2

Joko sedang mengamati keadaan dusun dari perbatasan, lampu-lampu rumah warga ibarat titik-titik binar apabila dilihat dari kejauhan, sementara lampu rumah Joko sendiri tak kelihatan. Barangkali dia juga tidak paham, untuk apa berdiri di situ sendirian pada saat tengah malam.

Lamat-lamat dari dalam hutan terdengar suara tembakan, “Door! Duor! Dorr!”

Tiba-tiba seseorang menarik tangannya dari belakang, “Sembunyi Jok!” katanya.

Tak pelak tanpa pikir panjang Joko reflek mengikuti orang yang tak dikenalnya itu menyibak ladang, kemudian tiarap di bawah pematang.

“Kau doalah!”

“Hahh?”

“Doa. Agar kita aman.”

Tidak jauh dari tempat persembunyian keduanya, terlihat polisi hutan sibuk mengetuk-ngetuk senter yang enggan menyala. Dalam kegelapan tengah malam itu, entah sudah berapa kali dia mencoba menyalakan senternya. Sampai lelah kiranya, hingga terbesit niat untuk mengakhiri usaha dengan berdoa.

Namun belum juga niatnya itu terlaksana, atau mengejawantah sebagaimana mestinya, ajaib, langit meresponnya dengan kelap-kelap sehingga jelaslah keadaan di sekitarnya. Akan tetapi hal itu justru membuat konsentrasinya terbelah, matanya gagal menangkap dua orang yang sedang tiarap di bawah.

“Hebat kali doa kau, Jok.”

“Hahh?”

“Kalau hujan turun, kita aman.”

“Aman?”

“Tentu saja, umpama kau dan aku basah, bukankah si polisi hutan itu juga akan basah?”

Baca juga  Kota yang Raib Separuh Gaib (Kisah Kota Terlarang dalam Catatan Hoaks)

“Masalahnya polisi hutan yang basah itu tidak akan ketangkap basah!” protes Joko.

“Bodoh kau! Maksud dari ucapanku itu, dia akan menghindari hujan, dengan kata lain polisi hutan itu akan buru- buru pulang, sehingga maling seperti kita juga akan aman, tidak akan ketangkap basah.”

“Tapi kau jangan gegabah, tetap di sini sampai situasi benar-benar aman,” tandasnya.

Benar saja, setelah kelap-kelap tersebut angin berembus mengibas-ngibaskan wewangian dari tanah yang basah. Sadar akan segera turun hujan, polisi hutan yang sudah kelelahan itu pun cepat-cepat kembali ke pos keamanan. Mengikhlaskan dua ekor kutu kayu yang lepas, hanyut dalam guyuran hujan.

Kru Kamera 1

Masih dalam keadaan terpejam, Taqim mendengar bunyi langkah berderap-derap menuju ke sebuah tempat, terdengar semakin dekat dan rapat. Setelahnya dia merasakan adanya jutaan tangan nakal, seperti sedang bergotong royong untuk mengangkut tubuh yang dia rebahkan.

Lalu dalam keadaan terpejam itu, Taqim seakan-akan mendapat ilham dari Tuhan bahwa bangsa semut hendak menjadikannya hidangan. Paniklah Taqim, panic, ketakutan. Sampai-sampai mata dan mulutnya terbuka secara bersamaan, berteriak-teriak meminta tolong kepada Nabi Sulaiman.

***

Pukul empat, waktu setempat. Tiga kru kamera terjaga dari tidurnya, sementara Simba sedang memimpikan ketiganya. ***

.

.

Bojonegoro, 08/08/21

M Abdul Roziq, kelahiran Bojonegoro 1995, menulis cerpen dan puisi. Buku antologi puisi tunggal pertamanya, “Tragedi Stroberi” (Penerbit P21).

.
Enigma Sang Raja. Enigma Sang Raja. Enigma Sang Raja.

Loading

Average rating 2.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!