Cerpen, Nono Warnono, Radar Bojonegoro

Perempuan Penjual Rembulan

Perempuan Penjual Rembulan - Cerpen Nono Warnono

Perempuan Penjual Rembulan ilustrasi Ainur Ochiem/Radar Bojonegoro

3
(5)

Cerpen Nono Warnono (Radar Bojonegoro, 22 Januari 2023)

MATAHARI senja bergegas sembunyi di balik cakrawala. Pascahujan horison menyembulkan aneka warna. Lengkungan bianglala mempesona setiap tatap mata. Sayup-sayup terdengar lagu bocah-bocah menyambut pelangi senja. Di desaku era tujuh puluhan lagu yang membersamai kluwung itu sebagai mantra. Ritual yang konon mengusir pageblug sakit mata.

Senja itu Rupi’ah melakoni rutinitas seperti biasa. Menyiapkan segala jenis makanan dan minuman yang hendak dijajakan di warung. Menuntaskan pekerjaan dan menyalakan lampu di area warung. Pertanda sebentar lagi warung segera buka. Sehabis magrib biasanya para pelanggan sudah mulai datang.

Hari ini persiapan di warung selesai lebih awal. Dibantu beberapa orang, termasuk simboknya, Ratening. Karena hari ini ada acara yang spesial. Rencana kedatangan tamu khusus yang menyangkut masa depannya.

Di kamar mandi berkali dilihat bayang wajahnya di air kulah yang meremang. Jeding ala desa dengan ukuran besar. Sebelum diciduk dengan gayung, sekali lagi bayang wajahnya dilihat agak lama. Rupanya, dia sedang mengikuti bayang angan-angan yang melayang ke mana-mana. Menyangkut di bayangan lelaki yang hendak diperkenalkan kepadanya malam nanti. Teringat pesan emaknya tentang pentingnya hidup berumah tangga.

“Pik, kalau sudah ada yang ingin ngrengkuh mengapa kau tak membuka hati,” tutur ibunya lembut.

“Aku belum siap, Mak. Biar warungku besar dulu. Banyak pelanggan seperti warung Yu Surti,” dalihnya sambil memasukkan beberapa jajanan ke aneka wadah.

“Menurutku warungmu sudah besar. Modal awalmu sudah untung berlipat ganda. Pelangganmu juga sudah mengalahkan warung Yu Surti. Bahkan aura kecantikanmu sudah menjadi primadona,” wejangan yang menyusur relung dada.

“Tapi aku masih ingin bidup sendiri dulu, Mak. Belum siap momong anak, ngladeni suami,” elaknya berargumen.

“Pik, bunga yang mekar harum semerbak itu ada masa layunya. Segeralah membuka hatimu saat bunga belum mengering seiring waktu,” perumpamaan yang menghunjam.

Suara adzan dari kejauhan membuat lamunan ambyar. Segera mengayunkan gayung ke dalam air. Remang bayangannya di dalam bak mandi hilang tak beraturan.

Mandi senja ini agak lama karena hari spesial. Wajahnya harus nampak lebih cantik bersinar. Tubuhnya yang sintal harus tetap terjaga kebersihannya. Rambutnya yang menjuntai ke pundak dikeramasi dengan sampo tradisional. Abu bakaran jerami dan perasan tumbuhan lidah buaya. Pendek kata dia kepengin tampil mempesona.

Sore ini Surti nampak sudah berubah lebih dewasa. Semenjak lima tahun selepas lulus sekolah dasar tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Dia terinspirasi Yu Surti. Pemilik warung yang dinilai sukses dilingkungannya. Itu menjadi prestise bagi orang-orang di desa. Rupi’ah terobsesi. Ambisinya terjaga hingga hari ini. Lebih hebat dari Yu Surti. Karena dia memiliki modal lebih dengan tubuhnya yang semampai dan wajah ayu mempesona.

Rampung mandi Rupi’ah gegas masuk kamar. Berhias agak lama. Meski seandainya tanpa berhias terlihat sudah cantik alamiah. Itulah sebabnya, dulu selepas lulus SD orang tuanya berkeinginan menyekolahkan SMP di kota. Sebelum ayahnya meninggal dunia, terobsesi agar kelak anaknya jadi orang terkenal dan enak hidupnya. Sukses dan cerah masa depannya. Namun sayang Rupi’ah lebih bangga sukses seukuran Yu Surti. Pemilik warung kopi dengan banyak pelanggan.

Baca juga  Anakku Hidup dari Cinta Berbeda

Sejak buka warung di halaman rumah pojok perempatan jalan desa, langsung banyak pengunjung. Tidak hanya yang berumur tua seperti biasanya kondisi warung di desa, tapi warung Rupi’ah malah banyak berusia muda. Sudah dapat ditebak bukan karena enaknya makanan yang dijual. Atau murahnya harga kopi yang disedu. Tetapi lebih karena daya tarik si penjualnya. Seperti rembulan purnama yang sedang bersinar terang. Cahayanya memukau siapa saja yang memandang.

Tak aneh jika pada tahun-tahun sebelumnya sudah banyak pemuda yang nandang wuyung lalu melamarnya. Namun tidak sekali dua kali ditolak. Meski dari cara guyon dan ngomongnya, sangat terasa jika Rupi’ah sering memberi harapan.

Tidak sedikit yang memaknai miring. Cara Rupi’ah berkomunikasi dianggap oleh banyak orang sebagai sasmita bersangkutan menjual diri. Ada yang secara vulgar berkata terus terang ingin membeli. Tapi Rupi’ah memang tidak secara terus terang menjual diri. Meski dari cara berbicara bak memberi banyak harapan, buat Rupi’ah sikap tersebut diharapkan sebatas ikhtiar agar orang kerasan berlama-lama di warung. Kondisi yang selain mendatangkan keuntungan yang signifikan, juga popularitasnya menggaung semakin jauh.

Malam ini Rupi’ah tidak berjualan di warung. Emaknya yang menggantikan, karena dia ada tamu spesial. Sebelum ibunya menggantikannya di warung, dia dapat pesan. Pitutur yang mewanti-wanti agar tidak salah langkah. Tidak keliru mengambil keputusan karena akan menentukan masa depannya.

“Pik, Mak berharap kali ini kamu mengambil keputusan cermat dan tepat,” nasehat emaknya berharap.

“Ya, Mak. Namun masalah jodoh bukan hal yang mudah seperti jualan makanan di warung,” responnya sambil bersolek di kamar.

“Benar, Pik. Tapi jangan juga rumit memilih pasangan hidup. Tidak ada manusia yang sempurna. Jangan banyak memberi harapan jika kamu belum senang,” pitutur ibunya dengan makna yang dalam.

Rupi’ah hanya mengangguk sebelum ibunya meninggalkannya. Untuk bergegas ke warung menggantikannya menemui para pelanggan. Rencana semula, warung akan ditutup malam ini karena ada acara keluarga. Namun dibatalkan, agar tidak menyolok dilihat warga lingkungan, jika sedang ada acara spesial keluarga.

Sewajarnya jika Rupi’ah menaruh perhatian lebih kepada lelaki bernama Sampurno. Di antara anak muda pelanggan warungnya, dia paling tajir dan berwajah tampan. Meski sambang warung hanya sekali dua kali. Lebih sering bertandang ke rumah pribadi yang tidak jauh dari warung.

Faktor lain yang menjadikan Rupi’ah menaruh perhatian khusus karena tak sedikit Sampurno telah berkorban. Apa yang dipinta tak pernah tertolak. Sepeda motor terbaru di eranya telah dibelikan. Aneka perhiasan telah memenuhi leher dan pergelangan tangan. Sampurno tidak tanggung-tanggung hingga menjual toko tempat usahanya.

Memang sejatinya tidak hanya dia yang diberi sinar terang harapan. Bak rembulan yang menawarkan cahaya pada siapa saja yang memandangnya. Andaikan diperjualbelikan, tak sedikit yang hendak menggapainya meski jauh di angkasa raya.

Malam ini warung Rupi’ah ditutup lebih awal. Dia dan keluarga menjamu tamu istimewa. Sampurno datang dengan beberapa anggota keluarga. Melancarkan lamaran. Ngunggah-unggahi, kata orang jawa.

Baca juga  Membincang Nasib

Meski tidak banyak yang hadir, setidaknya sudah terwakili. Representasi dari keluarga keduanya. Rupi’ah selain didampingi ibunya, juga ada pamannya Suripto. Sebagai wakil ayahnya yang sudah meninggal dunia. Sampurno bersama kedua orang tuanya. Yang menjadi juru bicaranya adalah pamannya Suwondo.

Namun semua tak menyangka kalau acara yang diharapkan membawa hasil nyata dan menyenangkan. Ternyata tidak membawa keputusan menggembirakan. Bahkan sangat mengecewakan kedua orang tua kedua belah pihak.

Kedunya bak disambar petir di siang hari bolong. Tersebab jawaban Rupi’ah yang tak disangka-sangka. Meski tidak menolak, jawaban tersebut dianggap menolak secara halus. Bahkan terasa merendahkan keluarga Sampurno. Karena Rupi’ah meminta tenggat waktu lima tahun untuk menikah dengan Sampurno.

Pertemuan keluarga yang semula riang gembira, tiba-tiba senyap mencekam. Tidak ada yang berkomentar lebih lanjut menanggapi jawaban Rupi’ah yang singkat namun terang benderang. Membuat hati siapapun yang mendengar bak tersengat listrik seratus watt.

Sampurno sendiri sebetulnya merasa hatinya meradang. Namun dengan susah payah dadanya ditekan. Merasa direndahkan. Dilecehkan terang-terangan. Namun dia memilih diam, tidak ingin ribut yang dipastikan menjadi perbincangan banyak orang. Akan terasa memalukan.

“Ini penghinaan terhadap keluarga kita!?” amarah Suwondo, paman Sampurno sesampai di rumah. Sepulang acara lamaran.

“Lalu apa yang harus kita lakukan berikutnya, Paman?” tanggap Sampurno dengan wajah tegang.

“Penghinaan ini harus dibalas setimpal. Biar bisa merasakan bagaimana sakitnya orang dihina dan dipermalukan!” ancam Suwondo sambil mondar-mandir berkacak pinggang.

“Sebaiknya kita tunggu perkembangannya dulu. Jangan grusa-grusu mengambil tindakan penuh emosi. Siapa tahu satu-dua hari ini akan ada perubahan keputusan,” ibu Sampurno berupaya mendinginkan suasana.

Begitu pula keluarga Rupi’ah. Pasca acara lamaran yang tidak menghasilkan keputusan menyenangkan. Ibunya Rupi’ah begitu terpukul. Jiwanya terguncang tak doyan makan. Susah tidur hingga larut malam. Tak berkata-kata. Diam seribu bahasa. Tidak terkecuali kepada Rupi’ah yang jadi pangkal masalah. Tidak bertegur sapa, meski setiap saat bertatap muka dan jalan berpapasan.

Tapi yang tidak kalah kecewa adalah pamannya Suripto yang menjadi ganti ayahnya Samingun yang telah pergi ke alam baka. Amarahnya dilampiaskan langsung kepada Rupi’ah di suatu sore.

“Pik, aku pengin dengar alasan yang kau kemukakan tempo hari. Biar semua bisa mendapat alasan masuk akal atas keputusanmu yang membuat banyak pihak menahan amarah,” pinta Suripto sambil menahan gemuruh dalam dada.

“Maaf, Paman, kalau keputusanku menjadikan banyak orang kecewa,” sahut Rupi’ah dengan nada lirih. Nyaris tak terdengar. Karena sambil menahan rasa takut.

“Tak semudah itu meminta maaf pada banyak orang yang telah kau kecewakan. Paparkan alasan yang masuk akal untuk menurunkan tensi amarah banyak orang,” kejarnya memberikan alasan yang masuk akal.

“Semua salah saya, Paman,” mengulang jawaban semula.

“Lha, iya! Coba pelan-pelan kau kemukakan,” desaknya sambil menahan emosi.

“Saat ini saya masih belum siap berumah tangga, Paman. Takut terikat dengan berbagai aturan. Takut menghadapi berbagai permasalahan. Saya masih ingin bersenang-senang,” sambil terisak mengemukakan alasan.

Baca juga  Malam Seorang Maling

“Kalau memang belum siap berumah tangga, jangan banyak memberi harapan kepada orang. Jangan menjual janji yang sudah pasti tidak kau tepati!!” geram suara pamannya memarahi.

Dengan muka memerah Suripto meninggalkan perbincangan sore itu. Seorang paman yang sejatinya punya peran melebihi ayahnya sendiri. Wajah bersungut-sungut dibawa pulang biar amarahnya tak menjadi-jadi. Tergesa hingga lupa pamitan kepada ibunya Rupi’ah yang diam-diam mendengarkan seluruh perbincangan dari dalam rumah.

Berita tentang penolakan lamaran di rumah Rupi’ah sudah terdengar ke mana-mana. Kekecewaan mendalam kedua keluarga menjadikan suasana tidak menyenangkan. Anak-anak muda yang biasanya cangkruk di warung hingga tengah malam tak terlihat lagi. Tinggal pelanggan berumur yang masih ngopi. Ibunya Rupi’ah yang menunggui. Karena si primadona warung hari-hari ini lebih sering mengurung diri di kamar. Merasa bersalah. Lalu menghukum diri sendiri.

Sepekan pasca lamaran, tiba-tiba ada peristiwa memilukan. Dini hari rumah dan warung Rupi’ah hangus terbakar. Melihat bekas kebakaran, ada tanda-tanda sengaja dibakar orang. Tidak lebih dari satu jam semua sudah jadi abu. Rupi’ah dan ibunya mengalami luka bakar serius. Lebih dari lima puluh persen. Sekujur tubuhnya melepuh menghitam penuh luka bakar. Wajah ayunya sudah tidak dapat dikenali. Sangat mengenaskan.

Di rumah sakit, Rupi’ah terlentang tak berdaya. Matanya tak mampu melihat sekeliling. Tak terlihat lagi sisa-sisa wajahnya yang bersinar terang bak rembulan purnama. Kini lemah tak berdaya. Tak kuasa lagi menjual senyumnya pada setiap lelaki.

Di saat yang sama polisi mengusut tragedi kebakaran. Banyak rumor yang mengaitkan dengan keluarga Sampurno yang ditolak lamarannya. Banyak yang rasan-rasan, ini sebagai laku balas dendam. Tak ayal satu demi satu Sampurno dan keluarganya dipanggil polisi. Dimintai keterangan secara maraton. Begitu juga keluarga Rupi’ah terutama pamannya yang begitu dikecewakan.

Cukup lama pihak kepolisian mengumpulkan informasi dan barang bukti. Agak rumit mengungkap siapa sebenarnya pelaku utama tindak kriminal tersebut. Hari demi hari, baru status saksi yang diinterogasi. Belum menetapkan tersangka, siapa yang menjadi dalang pembakaran rumah dan warung tersebut.

Hingga pada suatu hari polisi menangkap lima pemuda digiring ke kantor polisi yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Ternyata tidak melibatkan keluarga Sampurno seorang pun.

Lima pemuda yang diketahui sebagai pelanggan rutin warung Rupi’ah. Para pemuda yang hampir tiap malam menikmati kopi dan memandangi wajah penjualnya yang benderang bak sinar rembulan ndadari. Tidak jelas apa yang menjadi tendensi. Cemburu ataukah sakit hati. ***

.

.

Nono Warnono. Pegiat bahasa, sastra dan budaya di Sanggar Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB).

.
Perempuan Penjual Rembulan. Perempuan Penjual Rembulan. Perempuan Penjual Rembulan. Perempuan Penjual Rembulan. Perempuan Penjual Rembulan. Perempuan Penjual Rembulan.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!