Cerpen Muna Masyari (Kompas, 05 Februari 2023)
SENJA menyepuh kesuraman. Bayang-bayang kamboja seredup mata bayi mengantuk. Dahan-dahan pohon itu menggeleng enggan seperti bocah demam ditawari makan. Angin menjatuhkan lembar-lembar daunnya yang mulai kekuningan, bagai jiwa-jiwa renta yang tunduk pada ketakberdayaan.
Inilah area kepulangan, tempat tertimbunnya harapan dan kenangan. Area kepulangan, tempat kembalinya para pedagang dari pasar kehidupan. Tempat mengkalkulasi untung dan kerugian. Tempat menakar setumpuk penyesalan.
Kijing-kijing yang tersebar sebagian besar terbuat dari susunan batu bata diplester dan sudah tampak menghitam berlabur lumut. Nama-nama di nisannya yang ditulis menggunakan kapur tampak samar, bahkan ada yang hilang sama sekali. Hanya kijing-kijing baru dan terbuat dari keramik yang tampak licin mengilap dan pahatan namanya terbaca jelas tak tergerus masa.
***
Maryamah binti Sapiih, lahir 11 Mei 1996, wafat Juni 2013
Kijing berlumut itu membujur di samping kanan cungkup. Nama di nisannya masih samar terbaca meskipun agak terhalang oleh rimbun melati yang tumbuh liar di dadanya dengan bunga-bunga yang masih kuncup. Ialah rumah terakhir dari seorang ‘Maryam’ yang menjemput maut dengan gantung diri di kamar mandi sebelum sempat melahirkan ‘Isa’.
“Siapa lagi yang menidurinya selain dia? Maryamah lebih sering tinggal di sana! Bahkan seharian bisa tak pulang.”
“Betul. Sejak Nyai masih hidup, dia yang selalu bantu-bantu di sana. Memasak, menyapu, mencuci!”
“Hus! Jangan sembarangan menuduh! Bagaimanapun beliau guru ‘ngaji anak-anak kita! Tak mungkin meniduri Maryamah!”
“Siapa yang menjamin kalau dia luput dari kesalahan? Dia bukan malaikat! Apalagi Nyai sudah tiga tahun meninggal.”
“Tetap saja kita tidak boleh menuduh tanpa saksi!”
Meskipun lembar-lembar kapas sudah dihampar pada baki setelah dibubuhi irisan cendana, prosesi pemandian belum bisa dilakukan. Bedak, celak, lipstik, dan minyak wangi sudah dipersiapkan, namun tidak ada yang diperbolehkan menyentuh jenazah sebelum polisi datang. Para pelayat yang membanjiri halaman hanya bisa bergunjing seperti dengung lalat merubung makanan basi di musim hujan. Kepala desa sibuk memberi instruksi terhadap bawahannya.
Jerit tangis seorang perempuan di kamar belakang kadang lebih mirip suara kucing kebelet kawin.
***
Suratmo bin Salam, lahir 7 Januari 1963, wafat 4 April 2021
Nama di nisannya terpahat jelas. Kijing keramik hijau lumut itu membujur di bawah kamboja yang berbunga lebat dan daun-daunnya cukup menaungi sepanjang hari. Agak jauh dari cungkup.
“”Aku mencium wewangian di sana! Iya, aku menciumnya!”
Selama sakit dalam sebulan—sebelum akhirnya menyerah tunduk pada cengkraman ajal—dia menggumamkan kalimat-kalimat itu dalam pejaman mata separuh sadar. Terus meracau sebagaimana orang mengigau. Kadang wajahnya menegang. Istri yang menungguinya sampai khawatir hal itu diakibatkan kerasukan. Sebentar-sebentar meraba lengannya, pelan. Panasnya bagai menyentuh tutup dandang.
“Wanginya seperti campuran kembang dan kemenyan….”
“Di mana sampeyan menciumnya?” dengan ragu si istri membisikkan pertanyaan.
“Di sana. Ketika menguburkannya!” matanya masih terpejam.
“Menguburkan siapa?”
Tak segera dijawab.
“Seharusnya aku tidak memecatnya!”
Istrinya semakin tidak mengerti. Justru kegundahan yang datang menyungkupi. Anak-anaknya juga tidak bisa memahami. Lelaki itu tidak pernah bercerita apa pun sebelumnya.
Menguburkan siapa? Memecat siapa?
Istrinya barangkali lupa kalau pernah membuatkan secerek kopi dan singkong goreng untuk tamu-tamunya, 8 tahun silam.
Malam itu, orang-orang berkumpul di teras rumahnya. Singkong goreng di tiga piring tersisa beberapa kerat saja ketika mereka menunggu keputusan dengan tegang seperti detik-detik menjelang ketukan palu dalam ruang sidang.
“Kalau dia masih jadi khatib, kami tidak akan salat Jumat di sana!”
“Aku juga!”
“Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh jadi khatib maupun imam!” tegas yang lain.
“Masalahnya, itu baru prasangka!” desah lelaki berwajah gelap yang dituakan masyarakat itu, menatap tamunya satu per satu.
“Justru itu! Kalau sudah jelas, pasti polisi sudah menyeretnya ke penjara. Tapi keluarganya menolak diadakan pemeriksaan!”
“Anak-anak yang mengaji di sana juga akan kami pindahkan ke langgar lain.”
Kembali dia mendesah. Suara mereka menumpuk di tempurung kepala. Serasa penuh sesak! Tangannya menekankan ujung rokok ke dasar asbak hingga baranya memburai. Dia masih menakar dan menimbang.
Mengabulkan permintaan mereka sama saja menanggalkan martabat yang pernah mereka sematkan. Akan tetapi, dia sepenuhnya sadar, di tangan masyarakatlah pilihan itu berada. Tugasnya hanya mengetuk palu. Tak lebih!
***
Salamah binti Sapiih, lahir 3 Juni 1983, wafat 7 Agustus 2015
Kijing itu dicat biru langit, sebagaimana warna kesukaannya, dan pernah menjadi warna baju pengantin dalam pernikahannya. Begitulah dia menyukai ketenangan, berdamai dengan keadaan, sebelum badai itu benar-benar membuatnya rapuh dan akhirnya tumbang perlahan, seperti pohon meranggas diterjang angin.
Dulu, dia mengira semua akan baik-baik saja meskipun harus terbaring tak berdaya dan menerima ketaksempurnaannya sebagai kepasrahan, bukan kekalahan. Bukankah demikian seharusnya, setelah perjuangan dirasa tunai?
“Menikahlah!”
“Kau ini bicara apa?” adiknya menghentikan gerakan saat hendak mengangkat kakinya agar lebih mudah menggeser seprai. Ember penampung air sudah disiapkan di kolong ranjang.
Bau amis-busuk menguar dari borok di kakinya itu. Memenuhi kamar. Menyerap ke pakaian, gorden, seprai, menyusup ke dalam lemari, ke kolong ranjang. Bikin mual.
Dia memerhatikan wajah adiknya yang berminyak dan jarang disentuh bedak.
“Kau cantik. Kalau tidak ada pemuda yang melirikmu, pasti karena mata mereka bermasalah!”
Adiknya tertawa kecil sambil menyiapkan larutan saline.
“Jangan sampai Ustaz Dahlan yang justru datang melamarmu karena kau yang selalu mengurusnya!”
Lalu tawa keduanya sama-sama pecah.
“Kalau kau menikah dan melahirkan banyak anak, aku akan merasa lebih baik. Setidaknya, doa dan usahaku kuanggap telah mengalir padamu.” Setelah tawanya reda dan terdiam sejenak.
Dia berusaha tersenyum. Tidak ingin memberikan kemenangan pada kesedihan. Itulah dua pertarung dalam hidupnya kini.
10 tahun lebih usia pernikahannya, tak ada celoteh buah hati penawar sepi. Entah sudah berapa butir telur ditelan, hasil menadah dari pangkuan perempuan hamil yang sedang melakukan pelet betteng, namun rahimnya bagai ruang yang tak laik dihuni. Entah sudah berapa program kehamilan dari dokter kandungan yang dijalani, benih yang diharapkan tak pernah tumbuh, seakan dibenamkan ke lubang batu. Mitos dan medis adalah jalan kembar yang sama-sama ditempuh, namun justru diabetes melitus yang datang menggeroggoti dan dia harus belajar melupakan kamar tidur yang pernah ditempati bersama suaminya.
***
Ustaz Dahlan bin Makruf, lahir 24 Mei 1971, wafat 12 Januari 2018
Jumat dini hari itu, hanya istrinya yang mengantarkan ke ambang perpisahan dengan kalimat tauhid yang dibisikkan ke telinga secara berulang. Keduanya bagai sepasang kekasih yang tengah berikrar sehidup semati di gurun sunyi.
Cicak di dinding merayap pelan-pelan, tanpa decak.
Kematiannya pun tersiar. Mengelupas sunyi. Suara lelaki mengabarkan hal kepergian itu dengan tenang. Seolah tanpa kesedihan. Tanpa rasa kehilangan. Akan tetapi, cukup untuk membangunkan orang-orang sekitar.
“Yang kudengar, istrinya bekas senok!”
“Kudengar juga begitu!”
“Untung anak kita dipindahkan ke langgar lain!”
“Kalau tidak, nanti malah diajari nyenok!”
Ketika jenazah sedang dimandikan, ibu-ibu di dapur tak luput dari gunjingan seraya menunggu nasi matang, merebus mie dan menggoreng telur dadar untuk penggali kubur.
“Kalian jangan berprasangka buruk terus! Beliau menikahi perempuan itu untuk mengentaskannya dari kehidupan kotor!”
“Berarti benar, dia memang senok!”
“Jangan-jangan kerena memang tidak ada perempuan lain yang bersedia dinikahi setelah meniduri Maryam!”
“Kalian ini keterlaluan sekali! Orang sudah meninggal masih juga dirasani jelek!”
Jeda sejenak. Hanya sejenak.
Menjelang subuh, proses penguburan dilakukan. Jenazah diturunkan perlahan ke liang lahat. Suratmo dan seorang lagi yang menerima di dalam. Lelaki itu juga yang membuka ikat bagian atas, membelah kafan di bagian wajah, dan menempelkan pipi jenazah ke tanah. Pada saat itulah, samar-samar Suratmo mencium wewangian.
***
Gundukan tanah basah bernisan sebongkah bata telanjang. Tidak ada nama di sana.
Taburan kelopak-kelopak kembang dan irisan daun pandan mulai mengering. Baru tiga hari lalu kuburan itu terbujur di sana. Tidak seberapa jauh dari kuburan Salamah.
Di situlah tempatmu menakar setumpuk penyesalan.
Suatu malam. Ketika dia pulang dengan langkah-langkah ragu sambil mendekap gulungan mukena, kau tiba-tiba muncul mengagetkan dan langsung menyeretnya ke kamar. Kamar yang pernah kau tempati menghabiskan malam pertama dengan istrimu, sebelum perempuan itu memilih pindah ke kamar belakang karena lebih dekat dengan kamar mandi.
“Kenapa baru pulang?” suaramu mendesis. Tercium bau bawang dari tubuhnya saat kau mendekatkan wajah.
Dia mundur menjauh begitu kau melepaskan cekalan tanganmu. Wajahnya mengerut takut. Gulungan mukena terjatuh. Lengannya menyilang di dada.
“Kau sengaja menghindar? Sampai kapan?” selangkah demi selangkah kau bergerak maju. Pelan. Tatapanmu tidak beralih dari bola matanya yang bergerak resah.
Dia terdesak ke tepi ranjang. Jatuh terduduk di kasur. Ketakutan semakin terlihat jelas di mata itu. Sepasang kakimu membentur sepasang kakinya. Kau tidak menyangka jika keesokan paginya akan menemukan sepasang kaki itu menjuntai di kamar mandi, dan baru kauketahui ada benih tumbuh di rahimnya. ***
.
.
Madura, Januari 2023
Muna Masyari. Buku-bukunya pernah mendapatkan penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jatim dan Kemendikbudristek sebagai buku cerpen terbaik. Juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 untuk novelnya, Damar Kambang.
Yogie Achmad Ginanjar. Perupa sekaligus kurator lahir di Bandung. Lulusan Seni Rupa dan Desain ITB. Sejak tahun 2004 terlibat dalam program dan pameran seni global. Belasan kali ikut pameran bersama dan dua kali pameran tunggal. Menerima beberapa penghargaan antara lain juara pertama kompetisi kuratorial di Museum Sri Baduga, Jawa Barat (2004).
.
Nama-nama di Batu Nisan. Nama-nama di Batu Nisan. Nama-nama di Batu Nisan. Nama-nama di Batu Nisan.
Anonymous
Bagus sekali cerpennya