Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 05 Februari 2023)
MEMBAWA anggur dan daging domba, Siti Amurba datang ke kuil tua di kaki bukit sebelah barat kota. Siti hendak mempersembahkan semua itu kepada Sang Nabi, yang tak lain adalah gurunya; seorang laki-laki yang beberapa tahun sebelumnya telah mengubah dirinya menjadi perempuan. Selain hendak memberi persembahan, sebenarnya Siti juga hendak mencari petunjuk. Ia telah diusik oleh suatu pikiran ganjil; pikiran yang terbit, meninggi, dan bersinar gilang-gemilang, setelah ia mendengar kisah Sulaiman; raja yang mampu berbicara dengan semua binatang.
Siti Amurba berasal dari Tulangagung. Ia menyeberang ke Pulau Lambu, di Provinsi Nusa Selatan, untuk belajar menjadi guru. Ia melamar ke sebuah perguruan tinggi yang, diketahuinya kemudian, sebetulnya dipenuhi orang-orang yang cuma mengikuti naluri, jarang berpikir, serta gemar bertindak brutal, sehingga mirip kumpulan binatang. Beberapa hari setelah berada di Kota Martaman, Siti melihat pengumuman penerimaan anggota baru yang dikeluarkan oleh suatu perkumpulan cendekia. Perkumpulan ini sangat tak disukai oleh para pengurus perguruan tinggi tempat Siti Amurba melamar untuk belajar menjadi guru. Menjadi guru adalah satu hal, menjadi cendekia adalah hal lainnya. Siti ingin menjadi cendekia sebab ibunya seorang guru, tapi bukan cendekia. Siti ingin melampaui ibunya. Maka, selain melamar ke perguruan tinggi, Siti pun melamar ke perkumpulan cendekia itu. Dan keduanya sama-sama menerima lamaran Siti Amurba.
Perkumpulan cendekia itu bernama Trimatra. Konon, nama itu dipilih sebab perkumpulan tersebut didirikan oleh tiga orang di bawah sebuah pohon yang kembang-kembangnya bisa berubah-ubah bentuk dan cuma mekar di saat bulan purnama. Ketiga pendiri perkumpulan sudah berpisah jalan dan satu-satunya orang yang mempertahankan Trimatra adalah Sang Nabi.
Murid Sang Nabi, selama sepuluh tahun berdirinya Trimatra, tidaklah banyak. Namun, masing-masing murid itu punya mukjizatnya sendiri. Dalam pikiran Siti, Sang Nabi telah berhasil menghidupkan sang jiwa di dalam diri murid-muridnya dan membuat murid-muridnya jadi sakti mandraguna, selain tentu saja cendekia. Kecuali menjadi guru dan cendekia, Siti juga ingin sakti mandraguna. Sebab, ayahnya bukanlah guru, bukan pula cendekia, melainkan sakti mandraguna. Siti ingin melampaui ayahnya.
Pada mulanya, kesaktian yang ingin Siti dapatkan adalah kemampuan menjelma menjadi siapa saja; putri raja atau artis ternama atau ilmuwan penemu rumus segala-galanya. Namun, lama-lama Siti berpikir itu sama sekali tak ada gunanya. Setelah membaca kisah Sulaiman Sang Raja, mantaplah keyakinan Siti untuk mengejar kesaktian berupa kemampuan berbicara dengan semua binatang. Maka, dengan membawa anggur dan daging domba, Siti Amurba berangkat ke kuil untuk menemui Sang Nabi.
Seperti biasa, Sang Nabi duduk menghadap dinding. Sosoknya bergeming seakan ia tak lain adalah arca belaka. Kepalanya nyaris gundul, tubuhnya kurus dengan perut terbilang buncit seperti tengah mengidap suatu penyakit. Sekilas, tubuh Sang Nabi memang laki-laki, tapi apabila diperhatikan lebih teliti, akan tampak bahwa dalam tubuh yang laki-laki itu terdapat jiwa yang perempuan.
Setelah meletakkan persembahan di hadapan Sang Nabi, Siti Amurba bertanya: “Apakah saya bisa mendapatkan kesaktian sebagaimana Sulaiman Sang Raja?”
Sesaat Sang Nabi masih bergeming. Di jendela, Siti melihat untaian manik-manik yang dipenuhi batu permata. Tebersit dalam pikirannya untuk mengambil permata-permata itu.
“Aku tidak terganggu oleh aroma daging domba. Aku tidak mabuk oleh anggur. Aku tidak terganggu oleh apa pun dan tidak bisa mabuk oleh apa pun,” ucap Sang Nabi.
“Apakah itu berarti saya bisa menjadi seperti Sulaiman Sang Raja?” kembali Siti Amurba bertanya. Di pikirannya, permata-permata bergelantungan, siap dipetik.
Sang Nabi menjulurkan tangannnya ke arah kepala Siti Amurba, lalu jari-jarinya membuat gerakan memetik, dan tiba-tiba saja di tangannya sudah ada batu-batu permata.
“Kita, manusia, tak lain adalah mesin belaka; perangkat alam untuk memenuhi hukum-hukumnya,” ucap Sang Nabi.
Siti Amurba tak terpesona. Sebelum kunjungan hari itu, ia sudah belajar selama beratus-ratus hari di Kuil Trimatra, berbarengan dengan pelajaran yang didapatkannya di perguruan tinggi. Siti Amurba mengakui bahwa pelajaran yang didapatkannya dari Kuil Trimatra jauh lebih luas ketimbang pelajaran dari perguruan tinggi, meskipun, berbeda dari perguruan tinggi, ia tak perlu membayar apa-apa ke Kuil Trimatra, kecuali sesekali memberi persembahan yang sebetulnya tak diwajibkan. Ia pun sudah mendapat cerita lengkap bagaimana perkumpulan Trimatra terbentuk. Bagaimana kedua orang pendiri, selain Sang Nabi, keluar dari perkumpulan dan berusaha menjadi nabi di luar sana. Namun, mereka tak begitu berhasil sebab keduanya masih disibukkan urusan-urusan mendasar. Dari sana, Siti Amurba berkesimpulan bahwa Sang Nabi, yang sekarang ada di hadapannya, selain seorang guru, cendekia, dan sakti mandraguna, bisa dibilang adalah seorang gila. Siti Amurba tak mau menjadi orang gila, tapi apabila menjadi orang gila adalah satu-satunya cara untuk bisa berbicara dengan semua binatang, ia akan bersedia menempuhnya.
Tiba-tiba, seperti tanpa juntrungan, Sang Nabi berkata: “Sinar cerah datang dari utara. Penindasan juga datang dari utara. Barangkali di utara, udara dan cuaca mengubah segalanya menjadi pikiran-pikiran berbahaya.”
Kata-kata itu membuat Siti Amurba segera bertindak. Diambilnya kembali anggur dan daging domba yang semula hendak dipersembahkannya kepada Sang Nabi. Tanpa mengucap salam, ia pun pergi. Siti merasa ia sudah mendapatkan jalan.
Dengan menumpang bus kecil, Siti Amurba pergi ke daerah utara. Di dalam bus, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang mirip ayahnya. Satu-satunya hal yang membuat Siti Amurba yakin bahwa laki-laki itu bukanlah ayahnya adalah laki-laki itu bukanlah ayahnya. Selama perjalanan, laki-laki itu bercerita tentang keluarganya, terutama tentang anak perempuannya yang bercita-cita menjadi seorang guru dan kini sedang belajar di sebuah pulau kecil. Siti Amurba merasakan simpati kepada laki-laki itu, dan untuk menunjukkan simpatinya, ia memberi laki-laki itu beberapa butir anggur.
Setelah sampai di terminal kecamatan terluar, Siti Amurba turun dari bus, lalu melanjutkan berjalan kaki ke kawasan pegunungan. Di tempat yang tampaknya belum pernah, atau jarang, didatangi manusia, ia menemukan sebuah gua.
Siti Amurba memutuskan tinggal di dalam gua, entah sampai kapan. Pada hari ketiga, ia mendapat ilham untuk menggambar seluruh dinding gua. Ia mengumpulkan bahan-bahan pewarna dari buah-buahan, arang kayu jenis tertentu, juga dari batu-batuan. Siti menggambar berbagai jenis binatang. Berhari-hari. Bermalam-malam. Setelah dinding gua nyaris penuh, Siti Amurba mengajak gambar binatang-binatang itu berbicara. Setiap kali satu gambar binatang diajak bicara, gambar itu menyembul dari permukaan gua dan menjelma menjadi binatang nyata, yang hidup, bergerak, dan bersuara. Siti Amurba gembira, ia merasa telah mencapai apa yang dikehendakinya.
Setelah semua gambar binatang berubah menjadi binatang sungguhan, Siti Amurba mengajak binatang-binatang itu keluar gua. Siti Amurba baru sadar bahwa selama berada di dalam gua, ia tak makan apa-apa, kecuali anggur dan daging domba yang tak jadi dipersembahkan kepada Sang Nabi. Karena itu, begitu ia dan kawanan binatang melewati kawasan pegunungan menuju kawasan permukiman, Siti Amurba langsung gemetar karena lapar. Namun, rasa lapar tak membuat kegembiraannya lenyap. Kegembiraan telah mengatasi rasa laparnya. Karena itu, ketika seekor kelinci berniat mengorbankan diri untuk dimakan, Siti Amurba malah mengelus-elus dan mencium kelinci itu.
Di tengah jalan, Siti Amuba memutuskan membawa binatang-binatang ciptaannya ke perguruan tinggi tempatnya belajar menjadi guru. Ia ingin menunjukkan capaiannya kepada pengajar-pengajarnya; capaian yang tentunya melampaui dugaan mereka. Karena Siti Amurba tak lagi berjalan sendirian, ia tak mungkin menumpang bus. Akan tetapi, ia juga tak mau berjalan kaki. Ia menunggang secara bergiliran binatang-binatang yang bisa ditunggangi; kuda, unta, badak, gajah, dan seterusnya.
Sepanjang jalan, orang-orang yang melihat iring-iringan itu berteriak dan menepuk-nepukkan tangan dengan riang. Di antara orang-orang, Siti Amurba melihat laki-laki yang sama persis dengan ayahnya, tapi bukan ayahnya itu. Siti Amurba melihat mulut laki-laki itu masih bergerak-gerak. Ia mengerti bahwa laki-laki itu masih saja bercerita, entah kepada siapa, tentang keluarganya, terutama tentang anak perempuannya yang bercita-cita menjadi guru dan sekarang sedang belajar di sebuah pulau kecil.
Sesampai di perguruan tinggi, apa yang diharapkan Siti Amurba sama sekali tak terlaksana. Tak ada satu orang pun, baik para pembelajar maupun para pengajar, yang tertarik kepada Siti Amurba dan binatang-binatang ciptaannya. Jangankan tertarik, menengok saja tidak. Semua orang di perguruan tinggi itu tampak sibuk mengurusi surat-surat, mereka lalu lalang tanpa menghiraukan apa pun. Siti Amurba merasa kecewa, meski di sela-sela perasaan kecewa itu muncul pencerahan, bagaikan sinar matahari di tepi-tepi gumpalan awan. Situ Amurba sadar tak ada gunanya membawa sekumpulan binatang ke tengah-tengah sekumpulan binatang yang lain.
Setelah berpikir sebentar, Siti Amurba memutuskan berangkat, bersama binatang-binatang ciptaannya, menuju Kuil Trimatra untuk menemui Sang Nabi. Ia ingin tahu apakah orang gila itu terkesan dengan capaiannya.
Seperti biasa, Sang Nabi sedang duduk menghadap dinding.
“Saya sudah berhasil. Ternyata mudah saja menjadi seperti Sulaiman Sang Raja. Bukan cuma bisa berbicara dengan binatang, lihatlah di luar, binatang-binatang itu bahkan saya ciptakan sendiri.”
“Sapi betina!” seru Sang Nabi memotong bicara. “Semalam aku bermimpi melihat sapi betina, dan tahukah kau apa yang kemudian kualami pagi tadi?”
Siti Amurba menggeleng. Sang Nabi melanjutkan: “Tadi pagi seseorang datang. Seorang perempuan. Ia persis dirimu. Kau bisa membanggakan semua capaianmu di hadapanku, tapi begitu kau melihat perempuan itu, semua capaianmu jadi tak ada artinya!”
Sang Nabi memanggil seseorang. Dari kamar tempat kitab-kitab disimpan, muncullah seorang perempuan. Siti Amurba terpesona. Parasnya jadi pucat bagai daging domba. Tentu saja Siti Amurba mengenalnya. Perempuan itu tak lain adalah ibunya.
Perempuan itu terkikik melihat paras Siti Amurba yang pucat sesaat lalu memerah, bagai anggur, sesaat berikutnya. Dengan suara nyaring, perempuan itu berseru: “Siti, tulislah kitab tentang binatang, maka kau akan sepenuhnya menjadi manusia!”
Mendengar seruan itu, Siti Amurba menangis tersedu-sedu. Melihat Siti Amurba menangis tersedu-sedu, Sang Nabi memanjatkan doa-doa. Sebagian kecil doa itu melesat ke langit, sebagian lagi gugur kembali ke bumi, menjelma kembang-kembang yang bentuknya berubah-ubah. Binatang-binatang yang berkumpul di luar, kini berpencar. Gemuruh kaki-kaki mereka menggoyangkan sinar matahari. Sinar matahari yang bergoyang-goyang menimbulkan bercak-bercak serupa manik-manik dengan batu-batu permata yang bergesekan menimbulkan bunyi-bunyi tertentu. Bunyi-bunyi yang, kalau didengarkan dengan teliti, mirip suatu percakapan samar:
“Ucapkan saja: jadilah! Maka jadilah!”
“Seperti Tuhan?”
“Iya. Bukankah kau memang Tuhan?”
“Kalau aku Tuhan, kau siapa?”
“Aku? Aku penciptamu!” ***
.
.
Mataram, 2022-2023
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kumpulan cerpennya, Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), masuk nomine Penghargaan Sastra Kemendikbudristek 2022. Sedangkan kumpulan cerpennya, Bedil Penebusan (2021), masuk nomine Buku Prosa Terbaik Tempo 2021.
.
.
Leave a Reply