Cerpen Hendra Purnama (Media Indonesia, 29 Januari 2023)
GU membuka mata, sebaris langit mengintip dari celah atap. Gelap. Ini malam hari, tapi seberapa malam? Sudah malam keberapa? Gu tak pernah tahu. Dia hanya menandai pergantian hari lewat permainan cahaya yang menerobos dari sana. Berapa hari? Berapa lama? Berapa banyak waktu yang tersisa? Dia sendiri tak yakin akan perhitungannya karena sering kali dia kehilangan orientasi waktu ketika matanya terbuka dan terpejam lagi sementara langit tetap gelap (atau terang). Apakah waktu terus berjalan? Apakah waktu berhenti? Berapa lama telah berlalu? Berapa lama lagi semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan selalu menghadang. Tapi Gu tak pernah bisa menjawab karena sebuah kepalan untuk yang kesekian ratus kali merajamnya. Disusul jambakan dan bentakan tempat di sebelah daun telinga.
“Kamu suruhan siapa! Bilang! Siapa yang suruh-suruh kamu ikut provokasi nutup tambang! Siapa?!”
“Saya….”
Kalimat itu tak pernah selesai—sejak hari pertama—karena pukulan demi pukulan terus menghajarnya meski mulut Gu baru terbuka. Lagi pula, makin hari, untuk menjawab pun sudah sulit, Gu merasa rahangnya patah, badannya remuk redam. Rasa sakit seperti tak pernah sirna, dan bentakan-bentakan itu terus datang melanda.
“Siapa! Petani? Iya? Warga?”
Buk! Buk! Buk!
“Aktivis! Mahasiswa? Wartawan?!”
“Kamu en-ji-o ya? En-ji-o mana?!”
Buk! Buk! Buk!
Jawaban itu tak pernah usai. Tubuh Gu berayun-ayun setiap terlanda kepalan. Tangannya tergantung ke langit-langit. Sekarang dia tahu apa rasanya jadi samsak.
Lalu sesekali waktu suasana tenang, tak ada pukulan dan bentakan. Gu berusaha membuka mata, lewat picingan dia melihat para penyiksanya sedang minum sambil tertawa-tawa.
Jam berdentang. Gu menghitung. Sepuluh kali. Bengkak menghalangi pandangan. Namun, bisa dilihatnya wajah-wajah penyiksanya dalam keburaman. Sejak hari pertama mereka tidak pernah repot-repot memakai penutup muka. Mereka seperti tahu, Gu tak bisa menyentuh mereka, bahkan jika ia tahu nama dan wajah sekalipun.
Memang Gu tak punya kekuasaan apa-apa. Atau memang mereka sudah terbiasa berurusan dengan orang kecil yang tak punya kuasa sehingga mereka tak perlu repot-repot waspada. Mereka yakin, mereka selalu ada di atas hukum aturan, dan tata krama.
Tiba-tiba Gu jadi rindu masa kecilnya.
***
Dulu, ia berkali-kali diajak ke pantai Sokalima oleh kakeknya. Di sana, alih-alih bermain pasir atau berenang, Gu lebih suka duduk di bawah pohon kelapa sambil menghirup angin laut yang berembus mengantarkan aroma garam. Gu menyukainya.
Sampai kemudian ia tak boleh lagi datang ke sana. Pantai Sokalima jadi tertutup. Ada orang-orang tegap berjaga-jaga. Lalu ada yang datang menggali pasir di sana dan menaikkan ke truk. Seratus truk setiap hari membawa pasir-pasir itu pergi. Sering dilihat kakeknya menatap truk-truk pasir itu dengan mata berkaca-kaca.
Meski belakangan ia tahu bahwa pasir besi di sana berkualitas tinggi, harganya mahal, dan banyak dicari. Namun, saat kecil, di pikirannya hanya terpatri satu hal: dia kehilangan pantai Sokalima. Lalu lambat laun, Gu mulai enggan datang ke Sokalima karena tak bisa lagi bermain di pantainya.
Hingga satu hari, ketika dia sudah sekolah di luar kota, ibunya menelepon, “Kakekmu meninggal. Dibunuh orang! Kamu tak usah datang! Biar ayah dan ibu saja yang ke sana,” ujarnya singkat.
Ada apa? Jutaan pertanyaan menyeruak, tapi Gu menurut. Dia tak datang. Lalu jawaban pun datang sekeping demi sekeping seperti potongan teka-teki.
Kakeknya dibunuh. Dikeroyok dua puluh orang. Kepalanya pecah, perutnya robek, mayatnya dibiarkan setengah hari karena warga ketakutan. Dia dimakamkan di tengah ladang. Begitulah wasiat kakek. Ladang itu miliknya dan dia tidak mau berpisah dengannya. Dia hanya ingin dimakamkan di tengahnya.
Namun, mengapa kakek dibunuh sedemikian kejam? Tak ada yang mau menjawab, bahkan ayah dan ibu sekalipun. Mereka bungkam.
***
Setelah dua tahun, akhirnya Gu bisa datang ke Sokalima. Pertama, dia mengunjungi pantai. Namun, ternyata tak ada keindahan yang didapatnya kecuali ada banyak ceruk tak beraturan, air keruh, juga gundukan lumpur dan kubangan. Saat itu matahari baru terbit, cahayanya menyinari semua itu dan menimbulkan sebuah perasaan yang temaram.
Gu hampir tidak bisa mengenali lagi tempat yang ia rindukan di masa kecil dulu. Semuanya tampak berbeda.
Dengan masygul, ia pergi ke ladang tempat kakek bersemayam. Menurut ibunya, ladang itu kini hanya berupa hamparan tanah dengan batu nisan tepat di tengah. Namun, lagi-lagi ia terkejut melihat kenyataan di depannya. Hanya hamparan air meluas. Laut seperti berpindah ke sini. Gu tidak mengenali lagi ladang itu, apalagi menemukan makam kakek.
Dengan kebingungan, Gu menghampiri seorang bapak yang tergesa lewat, “Pak, saya cucu Ki Badranaya….”
Bapak itu memandang Gu tak percaya, “Benar anak ini cucu Ki Badranaya?”
Gu mengangguk. “Saya mencari makamnya. Betul di sini? Atau saya salah tempat?”
Bapak itu mendadak mencekal pergelangan tangan Gu, “Anak harus ikut ke balai desa, sekarang!”
“Ada apa, Pak?”
Bapak itu menunjuk ke tengah air. “Di sana, makam kakekmu, terendam air seluruhnya!”
Gu terkejut. “Bagaimana bisa?
“Tidak ada waktu menjelaskan! Anak mau melihat lagi makam kakek, kan? Maka, anak harus ikut!”
Ada kilatan aneh di matanya, membuat Gu terpana. Dia pun akhirnya mengikuti bapak itu. Di balai desa dia terbelalak. Puluhan warga sedang membentangkan spanduk dan tulisan-tulisan, banyak foto kakeknya diacung-acungkan. Foto kakek? Kenapa? Gu memandangi semua tulisan itu satu per satu.
Tutup tambang pasir ilegal!
Kembalikan pantai Sokalima!
Wilayah pesisir tak boleh diganggu!
Semua orang di sana tampak marah. Sementara di depan balai desa, ada beberapa orang tegap memandangi warga yang sedang berteriak-teriak. Gu tahu, hanya perlu sedikit waktu sampai dua kelompok itu beradu.
Jadi, untuk apa aku dibawa ke sini?
Jawaban datang seketika itu juga, ketika bapak tadi berteriak, “Ini cucu Ki Badranaya!”
Serentak, warga menoleh. Beberapa menghampiri Gu dan menjabat tangannya dengan semringah. Mereka semua bicara, tapi Gu tak bisa mendengar satu pun sampai bapak itu yang bicara kepadanya.
“Ki Badranaya adalah alasan kami berani. Semangat Ki Badranaya adalah yang membakar diri kami. Ki Badranaya yang mengajari kami bahwa hak kami sudah dirampas! Bahwa kami sudah ditipu! Ki Badranaya adalah pahlawan buat kami!”
Gu tergagap, “Tapi… saya tak ingin terlibat pada urusan begini, Pak! Saya ke sini hanya untuk berziarah ke makam kakek saya!”
Bapak itu menatap tajam, kembali kilatan aneh muncul di matanya, “Anak! Sudah dua tahun tambang pasir di pantai Sokalima merusak semuanya. Pengerukan pasir membuat irigasi rusak, tak ada lagi yang bisa ditanam karena air laut naik menggenangi semua ladang! Salah satunya adalah… ladang yang di tengahnya ada makam kakekmu!”
Seorang pemuda memegang tangan Gu, “Maafkan kami, bukan kami berdiam diri melihat makam kakekmu seperti itu. Tapi kami tak kuat melawan. Kepala desa dan seratus centengnya terlalu kuat!”
Seorang ibu menangis sesenggukan di depan Gu, “Kepala desa berkata kepada kami, akan membangun tempat wisata di pantai itu, tapi dia malah mengeruk pasir-pasir itu! Kami tertipu! Kini dia tertawa-tawa mandi uang, sementara kami menangis tak bisa makan!”
Bapak itu kembali bicara, “Anak… jadilah seperti kakekmu. Kau cucu Ki Badranaya! Darah kakekmu ada di dalam tubuhmu! Pimpin kami! Jangan takut! Bela kakekmu! Anak ingin tahu apa yang terjadi padanya?”
Orang-orang itu mulai mendesak Gu, bicara serabutan. Tapi anehnya kali ini Gu seolah bisa mendengar semuanya.
“Di depan rumahnya, kepala Ki Badranaya dikepruk batu tiga kali!”
“Tengkuknya dihajar balok!”
“Dia dihajar bertubi-tubi dengan bambu, balok, batu, dan cangkul!”
“Pakaiannya tercabik-cabik!”
“Darah mengalir dari kepalanya yang koyak!”
“Dia diseret pakai sepeda motor ke depan balai desa!”
“Dia dibawa ke sini, anak! Ke sini! Tepat di tempatmu berdiri!”
“Lalu dia disetrum! Punggungnya disengat listrik!”
“Dia dirajam oleh orang tegap!”
“Tangan terikat di punggung!”
“Batu-batu menghantam kepala, bahu, dada, dan perutnya!”
“Lalu dia mati dengan kepala remuk dan perut pecah.”
“Kakekmu mati di tempatmu berdiri, Anak!”
“Dan sekarang makamnya terendam air!”
“Bukankah itu penghinaan!”
“Itu penghinaan!”
Seluruh warga desa lalu berbalik menyerbu balai desa, berteriak-teriak, “Penghinaan! Penghinaan! Penghinaan!” Gu terperangah, tapi gelombang warga yang bergerak ikut menyeretnya maju. Gu tak bisa bertahan, dia ikut terseret.
Lalu tiba-tiba saat itu entah dari mana datangnya muncullah orang-orang tegap berwajah garang. Mereka mengepung warga dan memukulinya. Warga desa melawan. Terjadi perkelahian tidak seimbang.
Gu berusaha keluar dari kericuhan, tapi saat itu sesuatu menghantam kepalanya dari belakang, lalu semua gelap.
***
Maka, begitulah yang terjadi, entah sudah berapa hari, Gu tergantung di sebuah ruang dengan celah atap yang menunjukkan siang dan malam. Dia tahu, tak ada yang tahu ia di sini. Tak ada yang mencarinya.
Sejenak Gu merasa menyesal telah datang ke Sokalima, tapi dia tak mampu menangis atau sekadar memikirkan hal itu. Para penyiksanya sudah selesai minum. Satu orang kembali menghampirinya, menjambak rambut Gu sambil menyeringai. Kemudian sebuah pukulan bersarang di ulu hati. Sakit sekali. Gu mengeluarkan suara seperti orang muntah.
Orang tegap yang memukulnya tampak puas. Dia berbisik. “Kamu kira, dengan jadi cucu si tua bangka itu, kamu bisa mengalahkan kami?”
Orang itu tertawa, disusul tawa teman-temannya yang lain. Lalu dia bicara lagi. “Tak pernah ada harapan di desa ini, jadi jangan mimpi kamu bisa mendatangkannya begitu saja.”
Lalu pukulan kembali merajah Gu bertubi-tubi. Di sela-sela pelukan rasa sakit, Gu sempat melihat ke luar jendela. Tampak genangan air keruh tertimpa cahaya bulan yang keperakan. Angin berhembus membuat riak, seolah mengajak bias cahaya menari-nari. Selanjutnya Gu merasa gelap. Sebuah gelap yang tak berkesudahan. ***
.
.
Bandung, Oktober 2022
Pemenang Harapan Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022.
.
Setitik Nila di Sokalima. Setitik Nila di Sokalima. Setitik Nila di Sokalima. Setitik Nila di Sokalima.
Leave a Reply