Cerpen, Kedaulatan Rakyat, Prima Yuanita

Cendol Celup

Cendol Celup - Cerpen Prima Yuanita

Cendol Celup ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

4.5
(2)

Cerpen Prima Yuanita (Kedaulatan Rakyat, 03 Februari 2023)

SIANG baru jelang, namun Warni sudah kemecer memikirkan es cendol. Mulutnya berkedut, lidahnya bergetar-getar. Ia meng-oyak-oyak Dali, suaminya, untuk mencarikan es cendol yang mangkal di Alun-alun.

“Kata Putri kemarin, nama warungnya ‘Cendol Celup’, yang jualan simbok-simbok udah sepuh!”

“Kalau ndak ketemu gimana?”

“Pokoknya harus ketemu!” sahut Warni sambil mengelus perutnya yang menggembung di balik daster. “Manisnya itu lho, paas! Terus cendolnya kenyal, wangi, dan santannya aduhai… gurih-gurih, enyooi! Aku ndak mau kalau yang lain!” Warni menyeruput kering liur. Matanya menerawang ke jendela yang mengarah jalanan ke kota.

“Iya, aku berangkat sekarang,” jawab Dali lalu dengan gegas meluncur ke Alun-alun dengan mobil tuanya.

Sesampainya di Alun-alun, Dali tak menemukan warung bertuliskan ‘Cendol Celup’ yang kata Putri, sahabatnya Warni, berdiri di depan warung mi ayam di bawah pohon trembesi. Memang ada lahan berukuran sekitar 3 meter x 3 meter di sana, namun tampak lengang.

Dali pun segera melapor kepada Warni.

“Pasti kamu kurang teliti! C[1]ba cari lagi!” perintah Warni bak seorang permaisuri.

Dan Dali, lelaki yang menganggap Warni sebagai permaisuri itu membeo ucapan Warni: ia berputar sepuluh kali mengelilingi alun-alun yang dipagari rentetan kursi besi ukir yang kesepian dan tanaman pangkas kuning di sela-selanya yang meranggas.

Matahari menyiram sengat yang kian ganas. Dali memutuskan untuk pulang. Dengan wajah sepucat kulit kiwi dan bau badan seasam rasa buahnya, ia memarkirkan mobil di depan rumah. Butir-butir bening sebesar gula pasir berjatuhan di pelipis. Bukan karena lelah, ia gugup menghadapi reaksi istrinya yang, semenjak berbadan dua, gemar mencerocos dan memaki-maki dirinya tanpa sebab.

Baca juga  Setelah Ibuku Meninggal

“Kalau anak kita nanti ngileran gimana? Cuma pengin es cendol aja ndak keturutan!” seruduk Warni begitu melihat Dali pulang dengan tangan hampa.

“Kubelikan es degan aja, ya! Biar kulit bayinya bersih!”

Bibir Warni manyun menanggapi.

“Besok kucari lagi, atau nanti agak sore aku kembali ke sana!” tutur Dali mantap.

Ucapannya itu berhasil meluluhkan gejolak hati Warni yang meletup-letup. Namun ketika sorenya ia kembali ke Alun-alun, Dali masih belum menemukan warung itu. Hal itu juga terjadi pada hari-hari selanjutnya dan membuat Warni uring-uringan.

Semakin hari pikiran Warni diliputi kerinduan mengecap es cendol pemberian Putri. Bahkan Dali pernah mencoba membelikan es cendol di tempat lain yang serupa dengan cendol celup itu, tapi tetap saja belum bisa memuaskan hati Warni.

“Semua gara-gara kamu, Mas!” semprot Warni di suatu hari.

“Loh, kok aku?” Dali tersentak.

“Seharusnya kamu bisa mencarikan cendol celup itu untukku!”

“Sudah kucari ke mana-mana, tapi tak ada!” jawab Dali. “Kamu ndak percaya? Ayo kita cari!”

Bibir Warni mengerucut begitu Dali mengajaknya pergi, pasalnya di usia kehamilannya yang menginjak lima bulan, ia masih sering mual. Tapi demi menghalau rasa penasaran akan keberadaan cendol celup di Alun-alun, ia pun menuruti Dali.

Mereka memasuki mobil dan duduk di dalamnya dengan kebisuan. Warni sibuk melihat pemandangan di samping kiri jendela, sedangkan Dali fokus ke depan dan di sebelah kanan jendela. Sampai akhirnya tiba-tiba mata Warni membelalak ketika pandangannya jatuh pada spanduk bertuliskan ‘Cendol Celup’ yang berkibar-kibar diterpa angin siang di bawah pohon trembesi di sudut kiri Alun-alun.

“Lihat! Pasti itu cendolnya!” tunjuknya gemetar. “Bukankah kamu berulang kali bilang kalau ndak ada?” Dali mengucek kedua mata. Tulisan ‘Cendol Celup’ itu benar-benar nyata.

Baca juga  Hujan Batu di Kepala

“Biasanya di situ hanya tanah kosong!”

“Siang-siang begini tak mungkin ada hantu, kan?” protes Warni.

“Ya sudah, aku minta maaf. Mungkin aku yang kurang cermat. Kamu tunggu di mobil saja, ya?” kata Dali dengan nada lembut.

Dan Warni yang gampang luluh dengan kelembutan sikap Dali itu langsung mengangguk. Pikirannya berpacu pada es cendol yang sudah dinantikannya berhari-hari.

Dali tergopoh-gopoh ke warung. Setelah tiba di depan gerobak, ia disambut oleh perempuan tua yang badannya setengah membungkuk. Mereka bercakap sejenak lalu perempuan tua itu mempersilakan Dali duduk. Aktivitas mereka terlihat jelas di balik kaca mobil. Sementara Dali sibuk membuka ponsel, Warni terus memperhatikan perempuan tua yang sedang menyiapkan pesanan.

“Sepertinya seger banget,” gumam Warni tak sabar.

Ia membayangkan Dali sudah datang dan menyodorkan es cendol. Namun tiba-tiba sebuah pemandangan membuatnya ingin muntah ketika perempuan tua itu—entah dengan sengaja atau tidak—mencelupkan ujung telunjuknya ke dalam kendi berisi cendol untuk dicicip sebelum diciduk dan dimasukkan ke dalam bungkusan.

Seketika Warni membekap mulutnya hingga Dali benar-benar datang membawa es cendol dengan senyuman yang secerah siang, wajahnya malah memucat seperti malam.

“Kayaknya bukan cendol itu yang Putri maksud, Mas! Buang saja!” kata Warni yang membuat Dali kebingungan. ***

.

.

*) Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah, pernah meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah.

.

.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!