Cerpen, Maiyang Resmanti, Suara Merdeka

Di Atas Breksia

Di Atas Breksia - Cerpen Maiyang Resmanti

Di Atas Breksia ilustrasi Joko Susilo/Suara Merdeka

5
(5)

Cerpen Maiyang Resmanti (Suara Merdeka, 05 Februari 2023)

TERJEDA jarak, aku berada di ujung utara dengan perairan yang cukup tenang, tetapi dibanjiri suasana yang bising tidak karuan. Kau, kau berada di ujung seberang dengan perairan penuh ombak dan badai topan, tetapi dirambati arus-arus ketenangan. Dua pangkal yang berbeda, arah kita berhadapan sekaligus berseberangan, kita dibatasi garis semu. Apakah jarak tak kasat mata yang merupa breksia raksasa itu mampu terkoyak, terkikis, dan mempertemukan kita?

Kau sebegitu percaya dengan kematian, sedangkan aku lebih memercayai kehidupan. Dua kepercayaan yang saling bertolak belakang, tetapi dalam waktu tertentu berjalin-berkelindan. Tanpa berselang lama, aku turut menyadari, jika kehidupan lebih dekat dengan pungkasan, lebih dekat dengan ujung kehidupan. Bukan berarti aku muak dengan kehidupan, jelas bukan. Hanya saja, dengan cara begitu, aku bisa menemuimu, menembus breksia tidak kasat mata.

***

Hasil laut melimpah ruah, ikan berukuran kecil, sedang, bahkan besar, teripang, udang, terkadang ubur-ubur lucu menggemaskan ikut terjerat pukat yang biasa kubentangkan saat matahari turun perlahan. Lalu, saat rembulan berpendar-pendar, bentangan pukat kuangkat. Proses itu kulakukan berulang-ulang hingga kiranya jongkong penuh dengan muatan dan aku menuju ke tepian.

Sebelum fajar menyemburat, sebelum kumandang panggilan Tuhan bersaut-sautan, aku sudah mengikat jongkong. Apa yang aku dapat tidak selamanya banyak. Terkadang, saat badai menjadi teman dan ombak kehilangan keramahannya, aku hanya membawa beberapa potong ikan. Bukan suatu permasalahan besar, nelayan yang hanya bermodal jongkong sederhana tidak pernah sama sekali merasa heran. Namun, ada yang membuatku heran bukan kepalang. Sejelalat, dengan bayangan samar-samar, tampak rambut panjang terurai dan terkibas-kibas angin. Orang itu serupa mimpi di ujung pagiku, ia hadir dengan cowong mata menyimpan rahasia.

“Kau yang di depanku ini, hantu atau bukan?” Kupandangi dari ujung ubun-ubun hingga telapak kakinya, ia menapak tanah, dua kakinya menapak tanah. Jelas-jelas, ia bukan hantu yang kerap kubayangkan. Hantu perempuan cantik yang anehnya kerap membawa nestapa bagi siapa saja yang berpapasan dengannya. Bibirnya tersenyum, namun tidak dibarengi senyuman dari sorot matanya. Ia tetap memandangi garis pantai dan mempersilakanku melanjutkan perjalanan. Sesekali debur ombak kecil pantai utara mengibas-ngibas di kakinya, membasahi ujung pakaiannya. Aku ingat betul, dalam cowong matanya, ada sesuatu yang tidak bisa ia kata.

Baca juga  Chief Sitting Bull

Bersikap abai kiranya tepat, aku tidak memedulikan siapa orang itu. Mungkin hanya pendatang yang hendak mencicipi pemandangan matahari terbit di pantai utara. Atau orang asing yang sekadar melepas penat di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia. Atau ia betulan hantu yang kerap muncul di imajinasiku. Namun, suasana pengepulan ikan lebih riuh daripada pikiranku yang mendadak kisruh.

Keesokannya, saat pagi menyapa, saat bulan memintanya berganti jaga, perempuan dengan rambut terurai itu datang kembali. Kali ini cukup berbeda, ia menggenggam bejana berwarna gelap dan bertingkah serupa orang menabur abu serta bunga. Perlahan, abu, bunga, dan bayangan perempuan itu menghilang, tenggelam ke dasar lautan. Lusa, ia tidak hadir di suasana pagi pantai ini. Kucari perempuan dengan rambut terurai itu, nahas aku tidak pernah menemuinya kembali. Ia seperti mimpi di ujung malamku, mimpi sesaat sebelum fajar memerah, saat pasir hitam menjadi tampak legam dengan langit berwarna saga.

Ingatanku membayang saat kanak-kanak, Bapak pernah berkelakar kepada anak-anaknya, “Saat rembulan menjadi lingkaran penuh, akan ada perempuan dengan rambut terurai dari pantai seberang yang bisa menyeret siapa saja menuju palung tanpa dasar, tenggelam, dan menghilang.”

Dongengan-dongengan itu kuanggap nyata adanya. Padahal, menurut orang-orang, itu hanya cerita orang tua belaka. Persetan dengan omongan orang, aku meyakini ia ada dan berharap penuh takzim bertemu dengannya. Bagaimana paras perempuan itu, mengapa ia dikatai hantu, apakah semenyeramkan itu?

“Perempuan yang memercayai kematian dan dalam sorot matanya ada duka yang ternganga,” lanjutan kisah yang menggelontor dari bibir lelaki dewasa.

“Aih, mengapa perempuan yang aku temui di pagi hari itu merupa apa saja, ia merupa dayung, merupa ikan, merupa bibi yang saban hari membeli ikan udang teripang, merupa-rupa….” Pikiranku berkecamuk.

Baca juga  Lidah

“Bapak, apa perempuan yang Bapak maksud di dongeng-dongengmu itu dia, Pak? Perempuan dari seberang yang datang saat air laut pasang?”

Perempuan itu mengusik tidurku.

***

Rumah-rumah sederhana di sekitar pesisir berjejer. Rumah yang di sampingnya tempat penjual es ialah rumah kami. Dan di sana, Mak saban hari menjerang air, menanak nasi, memasak olahan ikan macam-macam, mencuci, dan menanti anaknya kembali.

“Mak, apa Mak percaya dengan dongeng Bapak tentang perempuan yang datang dari seberang saban air laut pasang?” kataku seraya memberi beberapa ikan dalam ember kepada Mak.

“Itu hanya dongeng belaka, Nak. Apa pernah kau melihat perempuan itu?” tanya Mak dengan raut kecut. Ia tidak berani menatap mata anaknya, lantas mengambil ikan-ikan dan bergegas memepes. Seperti ada sesuatu yang Mak tutupi, tetapi biarlah. Itu sudah menjadi tabiat Mak, ia lebih memilih diam. Mak meyakini saat ia diam, apa saja menjadi lebih mudah didengar dan lebih mudah paham.

Saat hari mulai petang, satu per satu jongkong berlayar. Begitu pula jongkongku tertatih-tatih menahan arus. Angin malam cukup membuatku gelagapan, malam ini air laut sedikit pasang, bulan berpendar-pendar. Langit malam tampak jelas. Namun, ombak sedikit tidak bersahabat malam ini.

“Mengapa cuaca yang seharusnya biasa-biasa saja mendadak berubah drastis dan menakutkan seperti ini?”

Sekelebat debur ombak begitu keras. Mewujud raksasa yang siap melahap apa saja. Badai angin yang biasa kuanggap teman berubah serupa musuh yang hendak menghabisi siapa saja. Aku lintang pukang dengan situasi ini. Jongkong kehilangan keseimbangan, ulang-alik. Deburan ombak makin garang.

Malam begitu dingin, tetapi peluh bercucuran deras. Entah dalam peristiwa apa, Bapak pernah bertitah, jika air laut makin tidak karuan, kita bisa memejam barang sebentar dan bernapas dalam. Aku mengiyakan titahnya. Namun, semua menggelap, senyap.

Baca juga  Saku Suami

Sejenak, keheningan yang mendamaikan ini dan rasa tenang menghampiri. Namun… mengapa aku berada di breksia, bukannya tebing-tebing jarang ditemui di pantai utara? Di tempat yang baru kujamahi, perempuan yang pernah kutemui saban pagi berdiri. Jarang sekali ia hadir pada malam hari.

“Mengapa kau menjerat tidurku? Mengapa kau selalu hadir dalam mimpi-mimpiku?” Luapan kekesalan yang dungu membuncah di depan perempuan itu. Kami bersitatap, sorot matanya masih menyimpan luka entah duka.

“Bapak, benarkah perempuan yang selama ini kau dongengkan, perempuan dari seberang dengan mata penuh duka adalah dia yang di hadapanku ini?”

“Kamu ini hantu atau bukan, selalu datang dan menghilang?” terdengar khawatir dan kesal, sebab kedatangannya yang membuatku geleng-geleng kepala. Ia berada di tebing, di tengah lautan, di bawah rembulan. Aku mendekat beberapa depa menatap cowong mata itu.

“Apa kita saling mengenal?” kilahnya dengan raut muka bertanya-tanya.

Kau memercayai kematian dan aku memercayai kehidupan. Namun, aku turut menyadari, jika kehidupan lebih dekat dengan pungkasan, lebih dekat dengan ujung kehidupan. Dengan begitu, kita bisa bertemu. ***

.

.

Maiyang Resmanti, mahasiswa Sastra Indonesia UNS. Ia tertarik di dunia literasi, sesekali menulis cerpen dan puisi.

.
Di Atas Breksia. Di Atas Breksia. Di Atas Breksia. Di Atas Breksia.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!