Cerpen, Padang Ekspres, SR Pono

Merawat Ayah

Merawat Ayah - Cerpen SR Pono

Merawat Ayah ilustrasi Padang Ekspres

4.4
(7)

Cerpen SR Pono (Padang Ekspres, 05 Februari 2023)

AYAHKU sudah pergi. Tanpa basa-basi. Tak ada suara- suara emosi. Dia hilang begitu saja. Terakhir aku melihatnya menjelang senja. Biasanya, waktu-waktu begitu ia sibuk menghitung deretan angka. Ia percaya dengan begitu bisa cepat kaya.

Ayahku seorang kuli bangunan. Kerja pagi hingga petang. Malamnya, ia naik pangkat menjadi tukang di atas meja warung tepi jalan. Begitu setiap hari. Pulangnya pasti sudah larut malam. Kadang, ia sudah mabuk karena pesta tuak literan.

Begitulah keseharian ayahku. Tak pernah kulihat ia bewudhu, apalagi sholat. Namun nasibnya tetap mujur. Apa yang diharapkannya terkabul. Angka-angka yang disusunnya setiap senja, mendatangkan uang juga. Heboh orang sekampung dibuatnya.

“Si Payan tabuak angkonyo. Samiliar pitih nan kaditarimonyo.” Itu saja perkataan orang yang berseliweran di nagari tempat tinggalku.

Pantas menjelang senja terakhir aku melihat ayah, begitu senang tampak raut wajahnya. Namun kenapa ia tak bersuara, kalau ia mendadak kaya? Apa karena tak ingin aku bersama ibu dan adik-adikku menikmati uang haramnya.

***

Sejak ayah pergi dari rumah, kami benar-benar merasakannya tiada. Jangankan sepintas melihat wajahnya, suaranya pun tak pernah terngiang di telinga. Kata adik bungsuku, cerita orang-orang kepadanya, ayah pergi menjemput uangnya ke kampung Cina.

Ibuku mengangguk saja mendengar cerita anak bungsunya itu. Ia tak ingin putri satu-satunya itu terluka hatinya di usia balita. Setiap adikku bertanya untuk memastikan itu, ibu selalu mengajaknya membaca Iqra.

“Doaan, ayah sehat dan ndak lupo sumbayang. Sahinggo Allah manjagonyo taruih,” kata ibu kepada Aisyah, adikku yang berusia hampir 4 tahun itu.

***

Sudah 5 tahun ayah tak pulang. Tidak satupun kudengar kabar yang ia kirimkan. Selama itu, tentu ibu yang menjadi tulang punggung keluargaku. Benar-benar pahit selama 5 tahun itu.

Tak ada tempat kami mengadu. Ibu tak punya keluarga, karena ia anak satu-satunya yang tersisa di ranji keturunannya. Tak mungkin hidup bergantung pada tetangga. Apalagi mengharap sedekah. Haram bagi ibuku meminta-minta.

Untuk keluarga kami bertahan, ibu berladang di belakang rumah. Di tanah yang sempit itu, ibu menanam apa yang ia bisa. Ada cabai, ubi kayu, tomat dan sayuran.

Baca juga  Pernikahan Pengarang

Jelang tanaman itu panen, ibu bekerja serabutan. Akhirnya, ia bertahan sebagai pencuci piring di kedai nasi goreng seberang jalan dekat rumah kami. Kerjanya mulai setelah Magrib hingga hampir jam 12 malam.

Ibu digaji 30 ribu setiap harinya. Ditambah 2 bungkus nasi goreng. Biasanya, aku datang setiap pukul 8 malam, sebagaimana diminta ibu setiap jelang ia pergi bekerja. Di jam itu, aku selalu membawa pulang 1 bungkus nasi goreng, untuk kumakan berdua dengan Aisyah.

Sedangkan nasi goreng yang 1 bungkus lagi, biasanya dibawa ibu sepulangnya bekerja. Nasi itu selalu dibungkusnya dengan rapat dalam kantong plastik. Paginya, ia akan sedikit menyangrai nasi goreng itu di dalam kuali, untuk sarapan kami pergi sekolah.

“Asyiah, ini, beli makan yang mengenyangkan saat jam istirahat sekolah.” Begitulah ibu selalu mengingatkan adikku ketika memberinya jajan uang 5 ribu jelang berangkat sekolah.

Sedangkan kepadaku, ibu tak lagi mengingatkan hal itu. Ia memberi uang 20 ribu untuk ongkos dan jajanku selama di sekolah.

“Imam, jangan terlalu beraktivitas selain daripada belajar. Nanti, fisiknya tak sanggup di sekolah hingga jam 3 sore.” Nah, itulah pesan ibu yang tak pernah disampaikannya kepadaku ketika hendak berangkat ke sekolah.

Begitulah selama keseharian hidup keluarga kami. Kondisi itu sedikit berbeda ketika ladang kecil di bekang rumah mulai berbuah. Aku dan Aisyah tidak saja diberi sarapan nasi goreng setiap pagi, tetapi dibungkuskan bekal ubi kayu yang direbus ibu usai sholat Subuh.

“Jajan kalian ibu kurangi ya. Jadi bisa ditabung untuk Imam lanjut kuliah nanti, dan untuk beli seragam Aisyah ketika masuk SMP,” ujar ibu dengan senyum kecil terpancar di bibirnya yang pucat.

Aisyah tak protes soal keputusan itu. Sebab, ia memang sangat jarang membelanjakan uang yang diberi ibu. Mentok-mentok, ia sesekali memakai uang belanjanya di sekolah sebanyak 2 ribu saja. 3 ribu sisanya, selalu diam-diam dimasukkan Aisyah ke celengan di bawah tempat tidur ibu.

***

Sedangkan aku, langsung bertekuk lutut setelah mendengar keputusan ibu. Entah kenapa, keteguhanku goyah. Tak dapat aku membendung amarah air mata. Pagi itu aku menangis sembari memeluk kaki ibuku.

Baca juga  Langgam Umur 52

“Aku sangat bersyukur ibu telah berjuang keras untukku hingga mampu melanjutkan pendidikan ke SMA saat ini,” ucap yang mungkin tak jelas lafalnya, karena bercampur raungan.

“Jadi, izinkan aku mulai berbakti pada ibu setamat SMA ini. Kalau ibu hendak bercita-cita, cukuplah untuk Aisyah saja,” harapku kepada ibu.

Ibu pun memegang kedua bahuku. Ia angka tubuhku sekuat tenaganya. Terasa tangannya gemetar, kakinya sempoyongan. “Imam dan Aisyah harus mencapai cita-cita. Kalian berprestasi,” tegas ibu kepadaku dengan tatapan yang membuatku habis kata-kata.

Aisyah yang dari dapur, juga spontan memeluk kaki ibuku. Entah tahu atau tidak penyebab diriku menangis, dan ibu dengan wajah berang berlinangkan air mata.

“Ibu, Aisyah pergi sekolah ya bu. Ibu jangan menangis. Aisyah tidak apa-apa sekolah tanpa jajan ibu. Aisyah bahkan lebih senang ibu bungkuskan ubi ini,” kata Aisyah yang sudah pasti tak tahu apa yang aku bicarakan dengan ibu.

Ibu pun memegang kepala kami berdua. “Pergilah kalian sekolah, nanti telat. Belajarlah dengan baik. Ibu percaya kalian akan mencapai cita-cita,” kata ibu dengan nada lembut. Aku dan Aisyah pun bergantian mencium tangan ibu.

***

Tok, tok, tok.

“Silahkan masuk.”

Kepala perawat memasuki ruang kerjaku. Ia melaporkan tentang seorang pasien di ruang rawat VIP lantai 4 rumah sakit. Katanya, pasien itu sejak kemarin tak ada keluarganya yang tiba.

“Pasien itu dua hari lalu diantarkan seorang wanita paruh baya, Pak,” lapor kepala perawat rumah sakit kepadaku.

“Apakah petugas tidak meminta data atau nomor ponsel wanita tersebut?” tanyaku kepada kepala perawat.

“Sudah, Pak, wanita itu namanya Wulan. Berdasarkan fotokopi KTP, ia tinggal di Perumahan Usaha Sejahtera di pusat kota, Pak,” jelas kepala perawat.

“Namun, nomor ponselnya saat kita hubungi tidak aktif sampai sekarang, Pak,” tambahnya.

Jika mendengar penjelaskan kepala perawat, sudah pasti wanita itu orang kaya. Sebab, domisilinya di kompleks elit.

“Kalau identitas pasien bagaimana?” tanyaku lagi kepada kepala perawat.

“Pasien bernama Hendro, Pak. Usianya 65 tahun. Domisili beliau juga sama dengan wanita yang mengantarkannya. Sepertinya, beliau suami dari wanita tersebut,” paparnya.

“Baiklah, sebentar lagi saya akan ke ruang perawatan pasien tersebut,” kataku kepada kepala perawat yang meminta izin keluar dari ruangan kerjaku.

Baca juga  Dongeng Penelitian Nambuk Kubo

***

Aku pun mengambil jas putih di gantungan dan memakainya. Lalu, menggantung kembali fotoku bersama ibu dan Aisyah. Namun, sebelum itu aku mengecup wajah ibu yang pada potret kami 5 tahun lalu itu. Setelah itu, aku bergegas menuju lantai 4 rumah sakit, untuk melihat kondisi pasien di ruang VIP tersebut.

Entah kenapa, aku berpikir keheranan kenapa seorang pasien VIP tidak ada yang membesuknya. Parahnya ditelantarkan oleh keluarganya sendiri. “Tapi, kenapa mesti menelantarkannya di rumah sakit?” Aku sangat bingung atas kejadian ini.

Sesampaiku di ruang rawat VIP itu, jantungku tersentak. Detaknya yang teramat kencang, membuat darahku mendidih. Ternyata, pasien yang dilaporkan kepala perawat bernama Hendro, adalah Paris Wayan alias Payan. Pria yang menghitung deretan angka di kala senja. Pria yang menelantarkan istri dan anaknya 27 tahun lalu.

Ingin rasanya akun terapkan saja SOP rumah sakit kepada pria ini. Yakni meminta petugas memulangkannya jika tak ada kabar dari keluarganya. Atau membiarkannya terlanjar dalam kondisi layaknya mayat hidup ini.

“Pastikan bapak ini dirawat dengan baik. Dia adalah ayah saya,” pesan saya kepada dokter dan perawat di ruang tersebut, sembari keluar dari ruangan perawatan VIP tersebut.

Dokter dan perawat yang mendengarkan itu tampak sangat kebingungan. Wajah mereka bagaikan orang pikun, layaknya wajah pasien yang mereka kenal bernama Hendro tersebut.

***

Aku memilih keluar dari ruang itu, karena tak sanggup menahan gejolak dalam hati dan pikiranku. Sesampai di ruang kerja, aku kembali mengambil fotoku bersama ibu dan Aisyah, adikku satu-satunya.

“Terima kasih ibu. Insya Allah, ibu tenang di Surga.” Air mataku menetes sembali membelai wajah wanita yang melahirkanku tersebut. Setelah itu, aku menelpon Aisyah yang kini menjadi tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi di Eropa. ***

.
Merawat Ayah. Merawat Ayah. Merawat Ayah. Merawat Ayah. Merawat Ayah.

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!