Cerpen S Satya Dharma (Waspada, 05 Februari 2023)
PEREMPUAN itu dengan tubuh dibalut gaun putih yang terjulur panjang hingga menyeret tanah, muncul dari dasar danau yang dingin. Lalu naik ke atas, melayang-layang membumbung tinggi menggapai awan. Kemudian turun perlahan menjejakkan kaki di pantai landai Huta Bolon yang damai.
Wajahnya tirus dengan hidung simetris yang bertengger indah di antara kedua belah bibirnya. Matanya bercahaya dan rambutnya panjang terurai. Tergerai lepas ditiup angin danau yang semilir. Di belakangnya puluhan perempuan cantik dengan tubuh berbalut kain ulos berwarna hitam berpadu merah, berbaris mengiringinya. Berjalan beriringan di tepian danau yang airnya berkilauan diterpa sinar matahari sore berwarna jingga.
Perempuan berwajah cantik, berkulit putih dan bertubuh tinggi semampai itu, dialah Parbaba. Putri dari dasar Tao Toba yang menawan. Dialah satu-satunya warisan tersisa dari bentangan pantai pasir putih Huta Bolon hingga Situngkir Pangururan, Samosir. Setiap sore, menjelang matahari terbenam, perempuan cantik itu akan muncul ke permukaan Tao Toba dan bermain di bentangan pasir pantai landai Huta Bolon yang lembut. Bermesra-mesra dan mencumbui matahari kekasihnya, dengan manja. Dia lalu menari dan bernyanyi bersama puluhan dayang-dayangnya dengan kaki telanjang. Berlari kian kemari diiringi hembusan angin sepoi yang bertiup dari balik bukit hutan pinus pulau Samosir yang damai dan tenang.
Parbaba, putri dari dasar bumi Tao Toba itu memang mencintai matahari. Merindukan kehangatannya. Memimpikan berpeluk mesra dengan sang pangeran angkasa dalam balutan jubah jingga keemasan yang dikenakannya. Kesunyian dan kesendiriannya di kedalaman Tao Toba yang sudah dijalaninya selama beribu-ribu tahun membuat putri dasar bumi itu sangat merindukan rangkulan kehangatan dari sang raja alam semesta.
Satu hari ia memohon ijin untuk meninggalkan peraduannya. Lalu naik ke atas permukaan Tao Toba yang bening. Saat matanya bertemu pandang dengan Matahari, iapun langsung jatuh cinta. Matahari yang terpesona oleh kemolekan putri dasar bumi itu tersipu malu. Menutup wajahnya di balik pohon-pohon cemara. Parbaba senang bukan kepalang. Begitu gembiranya ia sehingga tubuhnya bergetar membuat air Tao Toba yang tenang bergelombang. Parbawa melompat dan menari-nari kegirangan karena menemukan kehangatan yang sudah sangat lama dicarinya. Keduanya lalu membuat janji. Bertemu saban senja sebelum hari berganti.
Begitulah terjadi setiap sore menjelang. Tubuh Parbaba meliuk-liuk gemulai dalam bayang-bayang matahari senja yang berwarna keemasan. Kakinya ringan melangkah seolah tak berpijak ke bumi. Kedua tangannya terangkat tinggi ke atas ke bawah seolah-olah hendak meraih awan dan meraup butiran-butiran pasir putih yang berkilauan. Para dayang di sekelilingnya juga bergerak dalam tarian gemulai yang sama. Meliuk-liuk sambil menggumamkan lagu-lagu ritus dan pujian. Parbaba tersenyum senang. Wajahnya sumringah. Matanya memancarkan kebahagiaan yang tak terperikan.
Tiba-tiba Parbaba berhenti menari. Diam mematung. Tubuhnya terasa dingin dan kaku. Matanya menatap lurus ke arah matahari yang mulai menyembunyikan wajahnya di balik bentangan Bukit Holbung yang hijau menawan. Wajah Parbaba mendadak murung.
“Rupanya inilah akhir perjanjian kita, Kekasih. Setelah cukup lama kita bermain di sini, kini engkau benar-benar tak mau lagi berlama-lama menemaniku menari,” keluhnya.
Seorang Dayang pengiring, yang agaknya Dayang utama, menghampiri Parbaba. Membisikkan sesuatu ke telinganya. Mencoba mengajuk hati tuan putrinya yang tampak gelisah.
“Mungkin karena Matahari tak ingin dimarahi Debata Raja, Tuan Putri,” ujar dayang itu.
“Oh Inangku…. Inangku…! Mengapa Debata Raja tak mau sekalipun mengabulkan permohonanku? Hanya sekali saja aku berharap matahari mau memperpanjang sinarnya. Hanya sekali saja aku memohon dia mau menemaniku berlama-lama dalam ekstase persetubuhan ini….”
“Ya, Tuan Putri. Tapi….”
“Inangku…. Inangku…! Bagaimana aku bisa membuat pasir putih Huta Bolon berkilau lebih lama kalau waktu yang diberikan padaku sesingkat ini? Bagaimana aku, si Parbaba ini bisa menjadikan pasir putih di sepanjang tepian Tao Toba menjadi mutiara indah berkilau yang mengajuk hati setiap manusia? O…. Inangku, haruskah aku menangis setiap hari untuk melembutkan karang hati Sang Debata Raja?”
Dayang utama itu terdiam. Tak berani menjawab. Ia takut jawabannya malah akan membuat Parbaba semakin berduka. Para Dayang yang mengelilingi Parbaba juga tak ada yang berani mengangkat wajahnya. Semuanya diam membisu tak berkata sepatah katapun jua.
“Baiklah, Inang, kalau kaupun tak sudi menjawab, marilah kita pulang. Tapi jika esok matahari tetap tak ingin menemaniku lebih lama, akan kutumpahkan seluruh airmataku ke danau ini. Akan kubuang semua perhiasan yang melekat di tubuhku ini ke dalam Tao Toba yang indah ini. Mari Inang, sebelum matahari benar-benar hilang, kita harus sampai di peraduan,” ujar Parbaba.
Dengan gaun putih pembalut tubuh yang terjurai panjang menyeret tanah, perempuan berwajah cantik bertubuh semampai itupun membalikkan badannya. Melangkah menuju bentangan air Tao Toba yang bening. Berjalan di atas ombak danau yang mengalun tenang memecah buih di tepian pantai. Para Dayang mengikutinya dari belakang. Matahari senja menyelinap di balik bayang-bayang pohon pinus yang tinggi menjulang.
Ketika bayang-bayang matahari sudah benar-benar pudar, Parbaba dan para Dayangnya pun menghilang. Tao Toba senyap. Sepi. Hanya gemericik air yang menghempas pantai terdengar ditingkahi deru hembusan angin yang memainkan daun-daun cemara. Hanya terlihat bintang gemintang di langit yang berkelap-kelip di kegelapan. Permukaan air Tao Toba nyaris menghitam. Menyatu dengan bumi Pusuk Buhit yang membentang luas mengelilingi rumah-rumah penduduk Desa Huta Bolon yang tenteram.
Di malam tanpa bulan itu, seperti biasanya penduduk Huta Bolon dengan berselimutkan kain sarung, duduk beralaskan tikar pandan yang dibentangkan di halaman-halaman rumah mereka. Mengobrol dan memperbincangkan pengalaman siang hari mereka saat berada di ladang atau di saat mengangkat bubu-bubu penangkap ikan yang mereka pasang. Riuh rendah suara kaum bapak ditingkahi denting gelas-gelas kopi yang beradu dengan botol-botol tuak yang disajikan.
Diterangi oleh nyala lampu minyak yang ditempelkan di dinding-dinding rumah atau di batang-batang pohon yang tumbuh rindang di halaman, dinginnya udara malam tak membuat warga Huta Bolon ingin cepat-cepat memeluk guling di peraduan. Di pojok lain beberapa muda-mudi terlihat pula sedang mengobrol dan ada pula yang bernyanyi dan memainkan sulim (suling) dan gitar.
Barulah ketika malam telah benar-benar larut, satu persatu warga Huta Bolon beranjak dan masuk ke rumahnya masing-masing. Mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dan mematikan lampu-lampu minyak yang terpasang di dinding-dinding rumah mereka yang terbuat dari papan. Sesaat kemudian Huta Bolon benar-benar senyap. Malam pun berlalu dalam sunyi yang abadi.
Ketika hari berganti dan siang menjelang, pasir putih Parbaba kembali berkilauan diterpa sinar matahari pagi yang cemerlang. Berpendaran menebarkan cahaya putih keemasan ke segenap alam Huta Bolon yang damai. Orang-orang kembali bergegas menuju ladang dan mencari kayu bakar di bukit-bukit hutan pinus yang membentang. Sebagian lainnya menuju tepian danau untuk memeriksa bubu penangkap ikan yang mereka pasang semalam. Para ibu dan anak-anak gadis, dengan menggendong keranjang dari anyaman bambu atau rotan, berjalan beriringan menuju tepian danau untuk mandi dan mencuci pakaian. Sedangkan anak-anak kecil riang gembira menceburkan diri ke dalam danau. Mandi dan berenang-renang di air Tao Toba yang bening dan menyegarkan.
Saat matahari mulai condong ke barat dan melewati bayang-bayang di atas kepala, Tao Toba kembali sunyi dari rutinitas warga sekitar. Tak ada lagi orang yang terlihat mandi atau mencuci. Hanya beberapa nelayan, dengan menggunakan sampan-sampan kecil, terlihat sedang menjala atau memancing ikan.
Di saat seperti itulah Parbaba, dengan diiringi puluhan dayang-dayangnya, muncul dari dalam Tao Toba. Berjalan di atas permukaan air danau yang bening berkilauan. Melangkah anggun menyeret juntaian panjang gaun putih yang membalut tubuhnya. Di belakangnya para dayang menyertai dengan langkah perlahan dan harum bunga setaman.
Parbaba kembali mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu menari dalam gerak tubuh nan gemulai sangat menawan. Membiarkan rambut panjang dan gaun putih pembalut tubuhnya tergerai lepas ditiup angin yang berhembus nakal dari puncak perbukitan. Sinar matanya menebarkan kegembiraan bukan kepalang. Senyum di bibirnya tersungging hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi dan mengundang godaan. Para dayang ikut menari riang di sekelilingnya seolah membentengi putri Tao Toba itu dari tiap kejahilan.
Tapi Parbaba tiba-tiba menghentikan tariannya. Mendadak ia tak melihat ada bayang-bayang pucuk pinus di pantai Huta Bolon. Matanya tajam melihat ke arah puncak Bukit Holbung. Tahulah ia kenapa bayang-bayang pucuk pinus itu menghilang. Matahari ternyata sudah menyembunyikan dirinya di balik bukit. Parbaba tampak sangat kecewa. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tanpa memperdulikan para dayangnya, Parbaba berlari menuju danau. Melepas semua perhiasan yang melekat di tubuhnya dan melemparkannya ke dalam air Tao Toba yang membiru. Perempuan itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Meratap karena Debata Raja tak sudi memenuhi keinginannya. Karena Matahari tak membalas cintanya.
Parbaba terus menangis. Dayang utama tak berhasil membujuknya. Parbaba lari ke tengah danau, para dayang ikut berlari di belakangnya.
“Aku tak akan menari lagi, Inang. Aku tak akan menari lagi. Debata Raja tak menyayangiku. Matahari tak mencintaiku. Aku benci matahari, Inang. Biarlah perhiasan dan airmataku ini menjadi saksi apa yang kelak akan terjadi terhadap danau ini. Aku terhina Inang…, aku terhina…,” katanya sambil terisak-isak dan terus berlari ke tengah danau. Lalu, saat matahari benar-benar hilang dari pandangan mata, Parbaba pun lenyap dan tak pernah lagi kembali.
Sejak itulah pasir pantai Huta Bolon tak lagi putih bersih berkilauan. Tangis Parbaba membuat air Tao Toba tak lagi tenang dan bening seperti dulu. Kadang air danau itu meluap dan kotor penuh lumut. Kadang menyusut membawa lumpur. Ini semua karena tumpahan amarah Parbaba, putri dasar bumi Tao Toba yang mencintai matahari tapi Debata Raja tak merestui. Duka cinta Parbaba telah membuat pasir putih pantai Huta Bolon perlahan namun pasti mulai kehilangan kilaunya. Hembusan angin dan alunan lembut ombak Tao Toba yang menghempas pantai tak lagi terdengar merdu. Pucuk-pucuk pinus mulai merangas. Bukit-bukit kehilangan pohon. Warga Huta Bolon pun pelan-pelan kehilangan ikan, sawah dan ladangnya.
Sampai kemudian, di musim panas yang terik, datanglah ke Huta Bolon seorang lelaki tua yang mengaku dari kampung Situngkir, yang tak jauh letaknya. Pada mulanya lelaki tua itu hanya mengaku kebetulan lewat saja di Huta Bolon. Tapi ketika dia melihat wajah penduduk kampung yang murung, lelaki tua berselendangkan ulos itu bertanya apa gerangan yang membuat penduduk Huta Bolon berduka.
“Seperti mimpiku. Ini persis seperti mimpiku. Huta Bolon akan terbakar hangus karena kemarahan putri Parbaba. Kalau kalian tak mau murka ini terus terjadi, siapkanlah pelean (sesaji) untuk persembahan. Putri Parbaba harus dibujuk hatinya. Debata Raja harus diberi sesembahan terbaik dari apa yang kalian punya. Dengan begitu barulah Tao Toba akan kembali seperti sedia kala,” ujar lelaki tua itu setelah mendengar penuturan seorang pengetua kampung Huta Bolon.
“Tapi bagaimana caranya, Amangtua…?”
“Kita harus melakukan ritual Marjolot. Manguras Tao (membersihkan danau) di sepanjang pantai pasir putih Huta Bolon di mana Parbaba suka menari setiap senja. Tapi ingat, selama ritual itu dilaksanakan, setiap orang harus bersikap sopan,” jawab lelaki tua itu.
“Maksud, Amangtua?”
“Ini upacara ritual tak sembarangan. Harus khidmat dilaksanakan. Semua orang harus menjaga perilakunya dan tak boleh berkata kasar. Semoga dengan ritual ini kepingan surga di bumi para debata ini mendapat lindungan dari yang Maha Kuasa,” jawab lelaki tua itu.
“Tapi Amang, apa salah kami hingga….”
Belum lagi selesai pertanyaan itu dilontarkan, lelaki tua dengan kain ulos tersandang di bahunya itu tiba-tiba menghilang. Warga Huta Bolon yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut dan menjadi sangat ketakutan.
Beramai-ramai mereka laporkan kejadian itu pada kepala kampung dan pemuka adat. Para Tetua itupun berkumpul. Menyelenggarakan Martonggo Raja (berdiskusi) tentang apa yang barusan mereka dengar dan apa yang harus mereka dilakukan.
“Aku mendengarnya sendiri, Amangtua. Lelaki tua dari Situngkir itu yang meminta kita membuat pelean. Sesaji dan sesembahan terbaik untuk penghuni dan penguasa Tao Toba. Agar putri Parbaba dan Debata Raja tidak murka berkepanjangan,” ujar seorang pria separoh baya.
Para tetua akhirnya sepakat upacara Manguras Tao harus dilakukan. Pelean terbaik harus dipersembahkan. Semua warga Huta Bolon pun bergotong royong mengumpulkan daging ayam jantan, sagu-sagu, mentimun, daging kambing dan ihan Batak. Pelean itu kemudian disusun rapi dan ditaruh di atas meja yang dihiasi janur kuning dari daun kepala muda. Sebelum dipersembahkan, para pemuka adat meminta kepada partaganing (pemain taganing) agar gondang pangelek dibunyikan. Tetua adat yang menjadi pemimpin ritual berdiri pada barisan paling depan. Diikuti para pemuka adat lainnya dan pemuka kampung. Sedangkan warga Huta Bolon, yang semuanya harus mengenakan ulos, mengikuti di barisan paling belakang.
Warga Huta Bolon berharap dengan pelean (sesaji) itu para penguasa dan penghuni Tao Toba seperti Saneang Nagalaut, Partambak Simonang-monang, Partao Nabolak Partao Sitio-tio tidak ikut-ikutan murka. Yang lebih utama, mereka berharap putri Parbaba mau kembali membentangkan gaun putihnya di atas pantai landai Huta Bolon hingga pasir di pantai itu kembali berkilauan di terpa cahaya matahari. Sedang riak gelombang ombak di permukaan Tao Toba kembali mengalun lembut. Berkejaran riang menuju tepian lalu memecah buih di tepi pantai Huta Bolon nan landai.
Usai mengantar pelean, warga Huta Bolon pun pulang ke rumahnya masing-masing. Melepas penat dalam istirahat di udara malam yang dingin. Tak ada lagi warga yang berkumpul. Semua orang berharap esok hari, ketika fajar menyingsing, bentangan pasir putih pantai Huta Bolon kembali berkilauan. Menebarkan cahaya kristal-kristal putih keperakan yang menerangi seluruh alam Huta Bolon yang damai dan tenang.
Harapan warga rupanya didengar Debata Raja. Saat hari berganti dan gelap malam berlalu bersama embun tipis yang bergantungan di daun-daun tanaman perdu, Tao Toba kembali bercahaya. Saat fajar menyingsing, berbondong-bondong warga Huta Bolon, lelaki perempuan, tua muda berlari menuju tepi danau. Menyaksikan kembalinya pemandangan luar biasa yang sudah lama tak pernah mereka lihat. Mensyukuri kembalinya Tao Toba ke pangkuan mereka. Sebagian orang-orangtua menjatuhkan tubuhnya di atas pasir putih pantai Huta Bolon. Bersujud dalam pernyataan syukur yang teramat membahagiakan.
“Terima kasih O Debata Raja. Terima kasih O…. Putri kecintaan kami yang cantik, Parbaba…,” seru mereka bersahut-sahutan.
Di tengah rasa syukur dan kegembiraan yang tiada tara itu, orang-orang melihat seberkas sinar putih berkilauan keluar dari dalam air Tao Toba yang bening kebiruan. Cahayanya terang menyilaukan mata. Cahaya putih itu naik menjulang tinggi ke langit. Menebarkan harum kembang tujuh rupa. Ujung cahaya putih itu membentang luas menyapu pasir pantai Huta Bolon lalu dalam sekejap lenyap bersama awan. Tahulah semua warga, itulah gaun putri Parbaba nan jelita. Orang-orang pun berseru dalam gumam penuh puja-puja.
“Dia telah kembali… sang putri telah kembali….” ujar mereka.
Di pagi yang penuh sukacita itu, merekapun menceburkan dirinya ke dalam Tao Toba yang bening dan tenang. Tak mereka pedulikan hembusan angin yang merasuk hingga menembus kulit. Tak mereka hiraukan dingin air danau yang menusuk-nusuk tulang.
Tao Toba kini sudah kembali ke asal mula kejadiannya. Indah, damai dan membahagikan semua yang hidup di sekitarnya. Dan ketika jarum waktu terus berputar, matahari dan bintang gemintang silih berganti menjaganya siang dan malam, Parbaba tak pernah lagi murka. Putri dasar bumi Tao Toba itu telah kembali dan menari-nari di atas pantai pasir putih Huta Bolon yang lembut terbentang.
Perempuan berwajah tirus berkulit putih itu kembali menari dalam gerak tubuh nan gemulai meskipun matahari tak pernah menjawab cintanya. Meskipun Debata raja tak merestui hubungan mereka. Parbaba tetap mengayunkan langkah kakinya dengan ringan dan meliuk-liukkan tubuhnya yang semampai. Membiarkan rambut panjang dan gaun putih yang dikenakannya terjurai lepas ditiup angin Pusuk Buhit yang nakal menggoda.
“Terima kasih Parbaba, kekasih kami semua. Terima kasih Parbaba putri dasar bumi Tao Toba….”
Itulah nyanyian warga Huta Bolon setiap hari, sepanjang masa. ***
.
.
Leave a Reply