Cerpen Dody Widianto (Radar Mojokerto, 29 Januari 2023)
MATAHARI masih dingin dalam sudut sepuluh derajat pandangan. Bulat kuning dan masih saja diam. Dari kejauhan, langit sekitar remang ungu bercampur merah jambu. Ada butir bening di pucuk-pucuk ilalang, di tepi jembatan penyeberangan, di atas dua lajur tol. Empat kaki menggantung di atas kerlip-kerlip lampu kendaraan di bawah yang mirip kunang-kunang, berlarian berlawanan di kiri dan kanan.
“Suatu hari nanti, jika langit masih berwarna ungu dan satu bintang di barat sana masih menyala, saat itu kau boleh datang dan mencintaiku di Eropa. Sekarang, kalau aku terjun kau mau ikut?”
Bibir tipismu menyeringai. Tangan kananmu masih saja memegang erat besi berkarat penyangga jembatan dengan warna hijau tua yang sedikit mengelupas. Mirip kulit pohon jambu biji yang bersisik. Tangan kirimu gegas menjewer pipiku.
“Tadi pagi sayur kentang kesukaanku masih tersisa. Aku tak mau mengecewakan ibu. Jika aku mati, siapa nanti yang akan menghabiskannya?”
“Konyol. Kau lucu.”
“Wanita selalu menjawab ambigu. Aku harus hati-hati. Tidak semua yang keluar dari mulut perempuan adalah kata pujian.”
“Sialan.”
“Kau cantik.”
Kau langsung menunduk malu.
Di bawah langit yang masih saja ungu, kita pernah berbincang tentang apa saja. Cita-cita, rindu, mainan, hobi, makanan, juga pakaian. Juga bergosip jengkel pada petugas keamanan tol yang tiba-tiba naik, mengusir kita karena melihat empat kaki bergelantungan di tepi jembatan, persis di atas jalan tol yang selalu ramai kendaraan. Kejadian itu sebenarnya tidak hanya sekali. Setiap hari Minggu, sekuriti itu seolah tahu, ia akan dengan lantang berteriak dari kejauhan. Kebetulan, jembatan penyeberangan yang kita jadikan tempat mangkal setelah olahraga pagi memang berdekatan dengan gerbang keluar tol. Bukan salah kita jika kawat-kawat pembatas samping jembatan sudah usang dan rusak. Sebelum jam delapan pagi patroli sekuriti itu, kita bisa bebas duduk di situ.
“Mungkin ia tak pernah merasa muda.”
“Bisa jadi. Sekuriti itu pasti lahir dari telur, menetas, dan tanpa metamorfosis.”
“Manusia harus jadi kepompong untuk bijaksana?”
“Jadi kepompong bisa jadi jalan refleksi perenungan diri. Tetapi kita kan bukan binatang?”
“Dan obrolan kita makin tidak jelas.”
Kita tertawa bersama.
Angin kemudian perlahan mengendap-endap, merayap tak terlihat, mendesau, mencuri dengar percakapan kita, dan mengabarkan satu rahasia pada semuanya. Kepada bunga ilalang, kepada capung yang beterbangan di atas bunga putri malu, kepada jembatan besi penghubung dua kawasan industri yang dibelah jalan tol, dan aku tak tahu apakah angin telah menyampaikan rahasia kita pada sekuriti menjengkelkan di bawah sana. Satu hal yang seharusnya harus tetap jadi rahasia. Kau pernah cerita jika pamanmu hobi berjudi. Papa mamamu hendak bercerai karena tinggal berjauhan. Demi menghilang dari peliknya masalah yang kau hadapi, kau bertekad mengejar beasiswa ke luar negeri. Mengejar cita-citamu ke benua biru, Eropa.
Sedikit yang percaya jika cinta tak mengenal kasta. Aku anak penjual nasi kuning dan gorengan di pinggir kawasan industri dan aku salah satu karyawan di salah satu deretan pabrik-pabrik itu. Tinggal dalam rumah kecil yang bersebelahan langsung dengan pagar beton sebuah perusahaan setinggi tiga meter bersama ayam-ayam kesayanganku di kandang samping rumah. Aku penyuka adu ayam. Jika sewaktu-waktu pagar itu roboh atau memakan rumahku, tak perlu aku cerita di mana aku akan tinggal. Aku tahu seperti apa ganasnya pembangunan kawasan industri sebuah kota.
Aku mengenalmu di jembatan ini. Jembatan penghubung dua kawasan di utara dan selatan tepat di tanjakan sebelum jalan menuju rumahku. Tuhan sengaja membuat ban sepeda motormu bocor. Dengan segala kerendahan hati aku tawarkan bantuan mengantar ke rumah saat kau pulang sekolah. Langit tiba-tiba menggelap disertai guntur dan kau harus cepat pulang. Dengan hati yang polos dan lugu, kita tetiba saling mengenal.
Di depan rumah dua tingkat bercat biru kau berhenti. Kita sampai. Tak ada ucap hanya pandang dan senyum manis darimu. Mirip gulali yang lumer sampai dagu. Tak lama laki-laki bertubuh tambun keluar. Wajah dan matanya minimalis, oriental, mirip denganmu dengan nyala mata tipis segaris. Kusangka itu ayahmu. Kutawarkan telapak tangan.
“Iqbal, Om.”
Tak ada jawab. Hanya sorot mata aneh.
“Maria, cepat masuk.”
Selesai berpamitan, sekuriti di halaman rumahmu buru-buru menutup pintu gerbang. Dari sela-sela jeruji pagar besi, aku melihatmu dan yang aku kira ayahmu, berjalan beriringan dan hilang ditelan pintu. Itu hari pertama aku melihat wajah ayahmu. Rasa tak acuhnya membuatku makin penasaran.
Satu hari setelah aku berkunjung ke rumahmu dalam kejadian tak sengaja rancangan semesta, tiba-tiba aku melihatmu telah duduk di ruang tamu bersama ibuku. Belanjaan pesanan ibu dari pasar segera kuletakkan begitu saja di depan pintu.
“Kapan dia datang, Bu?”
“Tadi, saat kau belanja. Katanya ada beasiswa untukmu. Itu pun kalau kau mau. Lagi pula ibu juga kayaknya susah kalau jauh dari kamu. Bapakmu sudah tidak ada. Kamu anak satu-satunya, bagaimana mungkin ibu rela kamu mau kuliah di luar negeri. Memang, pendidikan itu penting. Tetapi kan kuliah di negeri sendiri masih bisa. Masih banyak yang bagus kok,” ibu berbisik pelan ke telinga.
Aku duduk perlahan di depanmu. Mengangguk. Tersenyum. Menyilakan minuman padamu yang telah dibuatkan ibu. Tak usah kau bercerita lebih dalam pun aku sudah tahu. Keinginanmu pergi ke luar negeri meninggalkan kota ini telah ada sejak dulu. Setelah tahu papa mamamu akan bercerai lantaran adik papamu selalu meminta uang untuk judi, membuatmu enggan lebih lama tinggal di kota ini. Kau menyalahkan pamanmu yang membuat segalanya berantakan. Utang pamanmu jadi mamamu yang harus melunasi. Dendam itu ada, hanya berusaha kau simpan. Kau ingin menghapus rasa itu dengan meninggalkan kota ini demi menghilangkan kenangan pahit yang ada di dalamnya. Di tempat yang jauh di sana mungkin segalanya akan terasa lebih ringan.
“Padahal aku mau mengajakmu jalan-jalan ke Venesia, naik gondola.”
“Terima kasih atas tawarannya, tetapi mohon maaf, ibuku sendiri di sini. Aku tak mahir bahasa Inggris. Di sana aku yakin hanya ada roti kering dan gandum, tak ada nasi kuning, tak ada gorengan, tak ada rujak cingur, tak ada rawon, tak ada lontong balap, aku bisa mati kelaparan. Lagi pula kalau naik gon … gon … apa tadi? Walah, aku bisa mabuk.”
Kau tertawa sampai terbahak. Malu pada ibu, buru-buru kau menutup mulutmu dengan telapak tanganmu sendiri.
“Jadi kau benar-benar mau ke Eropa?”
Kau mengangguk. Dan satu ucapan di bibirmu membuatku yakin, mana ada yang bisa memisah batas rindu antara ayah dan anak.
“Laki-laki yang kau lihat kemarin itu pamanku. Dan papa sudah memaafkan semuanya.”
Di luar, gerimis membesar, menderas.
***
“Ayah, pesawat itu mau ke mana?”
Kami melihat ke atas. Langit masih berwarna ungu. Kerlip lampu di pesawat terlihat berjalan menuju barat. Anakku memandang takjub. Tiba-tiba sekelabat gambaran masa lalu membayang di pelupuk mata. Tepat di atas jembatan penghubung kawasan industri ini beberapa tahun lalu.
“Pesawat itu akan mengantar para penumpangnya ke tempat yang dituju. Tempat yang jauh sekalipun.” Aku membetulkan posisi duduknya di pangkuanku. Bocah yang baru saja masuk bimbingan belajar usia dini ini memang banyak ingin tahu dan banyak tingkah.
“Suatu hari nanti apa Ilham bisa naik pesawat itu, Yah? Aku sama teman-teman sering teriak mengejar pesawat itu loh. Sambil teriak, minta uang, minta uang, tetapi sepertinya sopir pesawat itu tak dengar karena tinggi.”
“Sopir pesawat namanya pilot, Sayang. Apa uang jajan Ilham masih kurang?”
“Kemarin uang dari Ayah malah diminta ibu. Buat beli bedak katanya.”
Aku meringis.
“Di sekolah ada teman Ilham. Namanya Maria. Ia baik Ayah. Kalau istirahat Ilham sering diberi roti. Kata dia mamanya tinggalnya jauh. Harus naik pesawat kalau ke sana.”
Maria? Oh Tuhan, aku seolah diingatkan pada satu nama dari celoteh bibir mungil anakku sendiri. Kutelan ludah. Memejam mata perlahan. Ada yang membayang di kedalaman pikiran. Perlahan kubuka mata. Langit di depanku masih ungu. Tersisa kerlip satu bintang di ujung barat sana. Satu bintang yang pernah mengingatkanku pada sebuah janji jika aku harus menyusul dan menemukan bintang itu. Satu bintang yang pernah membuatku membayangkan seperti apa Canale Grande yang diapit bangunan-bangunan ala Bizantium di kiri dan kanan. Gondola-gondola saling menyusur air menemukan arahnya sendiri. Kepak sayap puluhan merpati melebur bersama cahaya emas di menara Basilika Santa Maria. Dan tipis rambut di sebelah telingamu, terkibas angin nakal yang selalu mencuri dengar.
“Eropa itu apa Ayah?” Ia masih saja terus bertanya saat tangannya memegang bunga ilalang di pinggiran jembatan. Melayangkannya di udara seolah-olah itu adalah pesawat.
“Eropa itu nama tempat, Sayang. Ilham tahu dari mana?”
“Maria. Ternyata nama mamanya juga sama, Maria. Tetapi Maria punya mama, aku tidak. Aku punyanya ibu.”
“Mama dan ibu itu sama saja, Sayang.”
Anakku menganguk-angguk. Aku meringis geli walau sejujurnya ada sesuatu yang tiba-tiba menghujam dada.
Jarum-jarum air tiba-tiba menombaki tubuh kita. Anakku perlahan merangkul pundak dan mengajakku pulang. Langit perlahan makin menggelap. Ini musim basah paling awal di bulan Januari. Aku gegas berdiri ketika hujan makin deras mendera. Di bawah langit yang masih ungu dan mencurahkan butir-butir air yang makin menggila, ada sebutir air yang menggelinding di pipi. Aku tak tahu apakah itu butir hujan atau tetes air mata. Seakan tak rela sejarah hidupku kembali terulang.
Dalam langkah pulang, di bawah deras hujan Januari yang seolah terus ingin mengikuti irama hujan di kedua mataku, ada satu hal yang hendak mengabarkan sesuatu, jika yang lebih kuat dari waktu hanyalah rindu. ***
.
.
Dody Widianto. Lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.
.
Yang Lebih Kuat dari Waktu Hanyalah Rindu. Yang Lebih Kuat dari Waktu Hanyalah Rindu. Yang Lebih Kuat dari Waktu Hanyalah Rindu.
Leave a Reply