Cerpen Rania Alyaghina (Suara Merdeka, 26 Januari 2023)
NAMANYA A. Tidak, namanya bukan benar-benar A. Tapi sebut saja ia adalah A. Orang-orang di sekitar masih mengimbau orang-orang di sekitar pula untuk menyembunyikan nama aslinya. Jangan sampai nama aslinya terbongkar, kata beberapa pendukungnya, nanti reputasinya modar.
Tidak, ia tidak sedang dicari pihak kepolisian. Tidak pula habis membuat keributan. Justru orang-orang yang tidak dikenalnya yang memulai demikian. A tiba-tiba dimaki-maki orang ini di hadapan banyak pasang mata dan jempol. Entah apa tujuan mereka, tapi sudah pasti orang-orang ini butuh sesuatu darinya. Saat tengah dimaki-maki begitu, A malah tengah menyelonjorkan kaki, sembari mengipas-ngipas tengkuknya. Entah sudah berapa lama A bertahan dengan posisi ini. Lama-lama ia jemu juga.
Setidaknya sekarang banyak orang yang membicarakannya. Ia jadi tidak bosan-bosan amat. Banyak pula orang yang mengelu-elukannya, tanpa perlu menyebutkan namanya. Agak disayangkan, sebenarnya, nama yang selama ini ia harumkan, malah dilemparkan sampah bertubi-tubi. Menjaga nama memang gampang-gampang susah. Tapi, ia tidak mau ambil risiko.
Jemarinya masih lancar menyentuh layar ponsel, hingga jejak sidik jarinya memenuhi layar. Di bawah kakinya banyak tubuh bergelimpangan, tergeletak tak berdaya. Ada yang mencoba menggapainya, menariknya ikut ke bawah, namun hanya mampu menyentuh tumitnya. Ia terkekeh sendiri, melihat banyak orang yang justru sibuk membelanya. Masih banyak pula orang yang mengingat pencapaiannya selama hidup. Sepeser uang pun tak perlu dikeluarkannya. Apakah keberuntungan semata-mata datang padanya hanya lantaran seonggok pisang mas yang menempel di balik celananya?
A berdecak remeh, melihat ada pula yang sibuk memaki-makinya, menyalahkannya, mencemarkan nama baiknya, di antara lautan pendukungnya. Inilah yang membuat A mesti memutarkan kedua bola mata dan juga otaknya. Inilah hal terakhir yang diharapkannya. Karena membersihkan sebuah nama dan mengendalikan amarah tidak segampang yang orang-orang kira.
Tapi tenang, A selalu punya hubungan dekat dengan peribahasa ‘sedia payung sebelum hujan’. Pengacara ulung sudah dihubunginya dua hari silam, berjaga-jaga semisal kejadian masa lampau diangkat ke ranah hukum. Lagi-lagi, A terkekeh. Kalau persiapannya sematang ini, sudah jelas ia yang bakal lepas dari jeratan.
Bagaimana tidak, pihak yang mencari-cari urusan ini berada di posisi terpojokkan. Jangankan bersuara, menyewa pengacara bakal membuatnya megap-megap. Ibunya kerja serabutan. Bapaknya kerja di rumah seharian. Ia sendiri belum bekerja, karena status mahasiswa masih betah disandangnya. Apalagi kalau bukan alasan “menjelekkan nama institusi”. Proses kelulusan dipersulit, keuangan yang membelit semakin mempererat jeratan trauma ini. Alhasil ia mengajukan cuti satu semester.
Bunyi notifikasi ini lama-lama memekakkan telinganya. Harus apa ia sampai orang-orang ini, yang kebanyakan sembunyi di balik avatar anime dan K-pop, berhenti menghinanya? A tidak akan segan-segan menghampiri mereka satu per satu, menemui mereka hingga ke depan muka, menggiring mereka hingga ke depan hakim.
A tiada henti menggerakkan jari-jari. Ke atas, ke bawah, ke samping untuk sesekali menengok profil orang yang mencuitkan makian padanya, menenangkan pisang masnya yang kian menciut. Terpampang jumlah pengikutnya tidak sampai ratusan. A kembali menghela napas tenang.
Kadang A tidak habis pikir. Seberapa kayanya media dalam menguasai kosakata. Segala kata-kata yang maknanya basi, lantas diutak-atik agar lebih menarik untuk dikaji. Terkadang, makna sebenarnya jadi sirna karena fokusnya memainkan kata, bukan menyampaikan peristiwa secara lugas dengan penggunaan kata apa adanya. A jelas tidak berkeberatan soal itu. Ia justru diuntungkan. Tindakannya tampak lebih keren dan maskulin. Siapa pula yang sanggup menaklukkan perempuan sebanyak itu? Cuma laki yang benar-benar laki yang mampu. Tanpa sadar, A menampakkan giginya. Entah buat siapa ia nyengir selebar itu.
A sampai lupa dengan nasib orang-orang yang ada di bawah kakinya. Kulit mereka telah habis dikuliti pertanyaan-pertanyaan melenceng, pertanyaan elusif yang tidak ada juntrungannya, tidak jelas niatnya; membantu atau menghakimi, asal bisa memuaskan dahaga dan memanjakan indra pendengarannya. Kebanyakan orang bukan peduli soal nasib mereka, tetapi justru dengan detail kejadian. Kronologi peristiwanya. Buktinya. Ya, kalau perlu sedetail mungkin. Toh, untuk menilai apakah suatu kejadian benar-benar terjadi atau tidak, diperlukan penceritaan yang lengkap dan bukti yang kuat, bukan?
Lagi pula, tenang saja, A kerap menenangkan diri. A hidup di zaman yang semua-muanya berpihak padanya. Apalagi pengakuan mereka baru dikoarkan setelah tiga, lima, bahkan sepuluh tahun kejadian. Benar-benar basi, wajar orang-orang menduga ia cari sensasi.
Sanak saudara dan keluarganya ditelusuri. Diwawancarai dan ditanyai macam-macam, hingga sampai ke pertanyaan pakai baju apa anaknya ketika kejadian. Mereka menjawab dengan bantingan pintu. A tak tahan dan terpingkal-pingkal sambil memasukkan keripik pisang ke mulutnya.
A kemudian berdeham, namun rasa sesak di dadanya tidak hilang. A segera berlari ke dapur, mengambil segelas air. Ditandaskan air itu dalam sekejap. Potongan keripik pisang itu masih terasa di dalam tenggorokannya. Air matanya menguar, A batuk tanpa henti. Ia menepuk-nepuk dadanya, awalnya pelan, namun lama-lama semakin kencang. Video wawancara yang dinyalakannya masih berputar, namun tak ada niatan darinya untuk mematikan video itu terlebih dahulu. Ia masih sibuk dengan malapetaka yang menimpanya.
Tubuhnya sontak ambruk ke lantai. Ia sempat berniat untuk meraih ponselnya, hendak menelepon seseorang. Namun, matanya keburu menutup dan nyawanya keburu direnggut.
***
“Gara-gara Tersedak, Aris Meregang Nyawa Sendirian”.
Kasus yang menimpa seorang penyintas bulan lalu sudah tidak lagi menjadi buah bibir orang-orang. Semenjak kemunculan tajuk utama yang sepenuhnya baru, mereka otomatis berpindah dan mengikuti arus perbincangan. Korban yang satu ini bernasib nahas tanpa ada yang sempat menolongnya. Aris ditemukan dalam keadaan memegang leher, walaupun genggamannya tidak lagi kuat, ponsel yang berada di sofa dan tak jauh dari genggamannya, serta setoples keripik pisang yang sudah melempem karena kelamaan terbuka. Demikian detail penceritaan mengungkap saat-saat terakhir Aris, walaupun tidak ada saksi mata yang menyaksikannya secara langsung, atau bahkan menemani Aris ketika kejadian berlangsung. ***
.
.
—Rania Alyaghina menyelesaikan studi Bahasa Belanda di Universitas Indonesia. Beberapa karyanya pernah dimuat di sejumlah media daring. Bekerja paruh waktu sebagai editor.
.
Tersangka Tidak Punya Nama. Tersangka Tidak Punya Nama. Tersangka Tidak Punya Nama.
Leave a Reply