Cerpen, Jawa Pos, Widjaya Harahap

Kaukah yang Menyuruhku Pulang?

Kaukah yang Menyuruhku Pulang? - Cerpen Widjaya Harahap

Kaukah yang Menyuruhku Pulang? ilustrasi Budiono/Jawa Pos

5
(2)

Cerpen Widjaya Harahap (Jawa Pos, 11 Februari 2023)

PENGGAL ujung hari di Kampung Lobu Tolang. Tua muda memanggilnya Wak Lokot. Lelaki paro baya itu tengah duduk di dangau pada sudut pekarangan rumah yang terletak paling utara di antara gugusan rumah yang semuanya menghadap ke arah matahari terbit. Hanya ada sebelas rumah panggung berdinding kulit kayu beratap daun rumbia, di kampung terpencil di tepi hutan tua. Sementara teman-temannya sibuk dengan urusan masing-masing, ia memilih menyendiri terpacak memandangi matahari.

Bola api raksasa berwarna tembaga itu menyuruk perlahan-lahan ke balik punggung Bukit Barisan. Semburat rona kesumba, yang sejenak tadi digoreskannya menyapu kanvas ufuk, berangsur bersalin warna menjelma kelam. Melingkupi sekujur kampung dengan bentangan tirai malam. Untaian pegunungan yang satu jam lalu tampak membiru kini menggelap. Lebur dalam pekatnya kelam. Pada momen pergiliran sandikala itulah, dalam tempo kurang dari satu menit, dalam remang laksana sebuah dejavu, di hadapannya sekonyong-konyong muncul sosok lelaki tua berkumis melintang.

“Kau, cucu Mangaraja Babiat, mengapa kau ikut ke sini? Pulang kau! Ajak semua kawanmu pulang, atau kalian menyesal tak alang kepalang. Kau mau melindungi orang-orang tak tahu adat yang membunuh anak kami? Kau tak paham nasib Sorba Huta kini terancam?” ujarnya.

Belum lagi Wak Lokot hilang terkejutnya, konon pula sempat bertanya, sosok itu telah menjelma asap putih berbentuk siluet raga harimau sebelum sempurna menghilang.

***

Tengah hari di beranda kediaman Wak Lokot.

Persis ketika ia tuntas memasangkan bagian terakhir bedil yang baru saja dipreteli untuk dibersihkan, kapten Sunan menguluk salam.

“Sudah dengar kejadian di Lobu Tolang, Bang?” ujarnya sembari mengembang sila di lantai beranda.

“Saya dapat cerita dari Dokter Admiral. Baru pulang dia dari mengobati korban terkaman harimau itu. Konon lukanya parah, tapi orang itu bersikeras tidak mau dibawa ke puskesmas. Dokter Admiral akan kembali lagi ke sana mengawasi pasien itu,” jawab Wak Lokot.

“Malam nanti, harimau itu pasti akan mendatangi permukiman. Menuntaskan pekerjaan membunuh korbannya. Kita harus konsinyering di sana malam ini.”

“Saya ikut, Kep.”

“Bagus, Bang. Bawa bedil. Kalaupun perlu tembakan, hanya untuk menghalau si raja hutan. Tidak untuk membunuhnya, kecuali situasi mengancam jiwa.”

Sebetulnya hati Wak Lokot bercabang. Seperti ada yang menahan langkahnya untuk pergi. Namun, seperti biasa, ia selalu terimpit lidah kalau permintaan itu datang dari kapten Sunan. Cucu angkat yang disayangi Mangaraja Babiat. Ompungnya menyayangi kapten Sunan tak bedanya cucu kandung. Sejak memungut Sunan menjadi cucu, ompung Mangaraja Babiat merasa lebih bertuah lantaran punya dua orang cucu. Garis tangannya menuliskan cucu kandung Mangaraja Babiat hanya Wak Lokot seorang diri. Sayang ompung tidak sempat melihat Sunan jadi orang. Dia berpulang sewaktu Sunan baru saja memulai tahun pertama pendidikan perwira militernya di Magelang.

Baca juga  Keadilan

Wak Lokot mewarisi darah pemburu dari ayahnya. Adalah ompung Mangaraja Babiat generasi pertama yang mewariskan darah pemburu kepada anak semata wayangnya.

Mangaraja Babiat bukan sembarang pemburu. Dipercaya memiliki kesaktian karena dialah satu-satunya orang di seantero pesisir hingga ke belantara Bukit Barisan yang menundukkan dan bersahabat dengan harimau penunggu. Kelebihan ini melekat pada dirinya berkat hubungan yang mesra dengan penguasa Bunian, yang tidak lain adalah majikan para harimau, entah itu harimau penunggu ataupun bukan penunggu. Dari hal inilah asal muasal nama Babiat yang disandangnya. Babiat adalah kosakata bermakna harimau dalam bahasa Batak.

***

Hari masih terang-terang tanah. Empat orang penduduk Lobu Tolang sebelum meneruskan pekerjaan menumbang pohon-pohon dan menebas belukar berpencar memeriksa jerat satwa yang mereka pasang kemarin petang. Sebuah pekik menyobek keheningan awal pagi mengejutkan ketiga orang yang lain. Ketiganya bertemperasan dengan parang panjang terhunus. Bersicepat menerobos semak belukar menghampiri arah datangnya suara teriakan. Pemandangan yang mereka saksikan kemudian melolosi tulang-tulang ketiganya. Orang yang memekik tadi tertelungkup di lantai hutan. Darah mengucur dari bekas cakaran di tengkuk dan punggung. Baju tercabik dan luka menganga. Dia masih bernapas. Sekitar lima depa di sebelah kanan tempatnya terbaring, seekor bayi harimau kaku menggantung tercekik jerat. Lelaki yang tengah terkapar itu tidak menyadari ia ditunggu induk harimau yang kemudian menerkamnya. Kalau bukan karena teriakan dan ribut derap langkah ketiga orang teman lelaki itu, berlari menerobos rimbun belukar, sudah pasti induk harimau menyudahi, lalu menggeret dan menyantap korbannya. Saat ketiga orang itu menggotong teman mereka yang terluka, induk harimau yang tengah berduka mengawasi dari balik keremangan pagi dan lebat hutan.

***

Kisah bermula setengah tahun silam. Sebelas keluarga meninggalkan kampungnya di kaki Bukit Barisan turun ke pesisir membangun permukiman di pinggir hutan Sorba Huta. Kabar tentang tanah pesisir, negeri tanah berlampar. Tanah tidak bertuan yang menghampar. Mengundang mereka yang mendambakan memiliki sebidang tanah sawah. Sejak awal kedatangan, mereka tidak disukai penduduk asli Kampung Lobu Tolang. Pasalnya mereka membabat hutan larangan yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Terlarang merambah hutan tempat bermukim orang Bunian.

Penduduk asli teguh memegang amanat leluhur. Pantang besar mengusik hutan Sorba Huta. Bahkan Belanda pun, ketika pada paro kedua abad sembilan belas membangun perkebunan di sepanjang pesisir tanah Deli, mereka peringatkan untuk menjauhi hamparan hutan tua itu. Dan tuan-tuan kebun itu, setelah mendengar seluruh cerita, sepakat membiarkan Sorba Huta tetap perawan. Menjadikannya sebagai hutan penyangga.

Baca juga  Aku Bukan Pembunuh Papa

Akibat dikuasai nafsu mendapatkan tanah, para pendatang menengkar semua pemali. Meremehkan segala pantangan. Nasihat penduduk asli agar tidak mendekati Sorba Huta, apalagi menumbangkan pepohonan di sana, mereka dakwa adalah takhayul belaka. Mereka tidak puas hanya membuka sawah di hamparan hutan muda. Alih-alih menuruti petuah, malah Sorba Huta nekat mereka rambah. Hingga terjadilah peristiwa pagi tadi. Hingga di sinilah Wak Lokot dan personel koramil dipimpin kapten Sunan, komandannya, bersiaga malam ini. Menghalangi sang raja hutan menghabisi mangsa yang sudah dilukainya.

Waktu menjalar bagai siput. Semesta malam yang membisu di tempat ini adalah sesuatu yang ganjil. Tidak sepercik pun terdengar suara satwa di tepi hutan tua, yang dihuni puluhan mungkin ratusan satwa malam, adalah mustahil. Bahkan semenjak senja hari tadi angin mati. Sebuah isyarat suatu peristiwa yang tidak diduga akan terjadi, batin Wak Lokot. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda apakah makhluk yang mereka tunggu-tunggu akan benar-benar mendatangi.

Ia mencoba menenteramkan hatinya dengan menyulut sebatang sigaret.

Bersamaan dengan isapan yang pertama, ia dan kawan-kawannya mendengar suara-suara. Datang dari arah hutan tua Sorba Huta. Semakin lama semakin jelas. Terdengar suara gordang sambilan [1] ditabuh layaknya pada sebuah perhelatan adat. Lalu suara-suara orang yang mendatangi keramaian itu dari berbagai penjuru. Wak Lokot menyalakan mancis dan mendekatkan ke arlojinya. Jarum panjang dan pendek bertumpuk menunjuk angka dua belas. Di tengah tiadanya embusan angin, ia merasakan sebuah tiupan hawa dingin mengelus tengkuknya. Menegakkan segenap bulu roma. Meskipun angin mati, dinginnya udara menuju dini hari perlahan terasa merumrum tulang.

Selama dua jam rombongan para penunggu itu mendengarkan suara keramaian dari arah jantung hutan tua. Hutan yang barangkali bahkan tidak pernah diinjak manusia. Ketika jam menunjukkan pukul dua dini hari suara tabuhan gendang berhenti. Orang-orang terdengar berpencar, suara-suara memudar. Ada suara mobil berjalan menjauh. Lalu semuanya kembali senyap. Semua yang mendengarkan tadi membisu bagai tunggul kayu. Perasaan ngeri menyelinap ke rongga setiap kepala.

Tak terjadi apa-apa hingga pukul tiga. Wak Lokot sudah berpikir sang raja takkan menyerang malam ini tatkala dari kejauhan, disiram cahaya oncor di pintu masuk kampung, ia melihat sesuatu bergerak mendekat. Semakin dekat semakin jelas: sosok harimau! Wak Lokot menyentuhkan ujung telunjuknya ke pelatuk. Di benaknya bersipongang ucapan kapten Sunan: Kalaupun perlu tembakan, hanya untuk menghalau. Tidak untuk membunuh. Kecuali mengancam jiwa. Posisi tiarapnya di sebelah kiri jalan hanya memberinya pilihan (kalau terpaksa) menembak tubuh harimau sebelah kiri. Itu pun kalau harimau itu berjalan melintasinya. Di seberangnya ada kapten Sunan dan dua penembak lain yang bersiaga. Sudah ada mufakat: kapten Sunan yang akan menembak ke atas. Tembakan untuk menakuti-nakuti pada saat harimau mencapai pintu jalan masuk tempat oncor dipasang. Tembakan yang diharapkan membuat harimau berbalik dan berlari kembali menuju hutan.

Baca juga  Pataka Bertabur Bintang

Wak Lokot tak bisa memercayai penglihatannya. Mendengar tembakan kapten Sunan, alih-alih berbalik, raja hutan itu menerjang ke arah posisi kapten Sunan. Jiwanya terancam! Dalam kegentingan itu empat laras bedil serentak menyemburkan peluru menghujani tubuh kucing berbelang. Lima meter di hadapan kapten Sunan ketika berancang-ancang akan menerkam, harimau itu tersungkur. Di keheningan sangat sejenak itu Wak Lokot hanya mendengar degup jantungnya menggedor-gedor rongga dada. Dan napasnya yang berkejaran. Hampir saja!

Masih dicekam kengerian, orang-orang berhamburan mengerumuni harimau yang tergelimpang di tanah. Cahaya dari empat lampu senter tumpah mendedahkan tubuh satwa itu. Surut dari rasa terkejut, Wak Lokot menghampirinya. Sambil membungkuk dia menyodokkan popor bedil ke kepala sang raja. Yang bergeming dengan mata terkatup.

“Kau yang senja tadi menyuruhku pulang? Apa katamu sekarang?”

Di luar dugaan siapa pun, secepat kilat cakar harimau itu menyambar lengan kiri Wak Lokot. Kukunya menancap. Disentapkannya sehingga Wak Lokot limbung dan jatuh terbanting. Kepalanya jatuh persis di depan mulut yang setengah menganga. Sekerdipan mata harimau itu menyuapkan kepala Wak Lokot ke dalam mulutnya. Yang sedetik kemudian mengatup diiringi suara mendengus.

Kapten Sunan yang berada di belakang satwa itu menyentakkan ekor dan sekuat tenaga menghunjamkan tendangan sepatu larsnya ke selangkangannya. Bagaikan menjerit menahankan sakit mulut harimau itu membuka, sedetik sebelum ajal. Kepala Wak Lokot terlepas dari cengkeraman taring. Darah mengucur dari kedua sisi pelipisnya yang berlubang. Dan lengan kirinya yang tercabik. Dokter Admiral melakukan tindakan pertama: menghentikan cucuran darah dan membebat luka. Di pagi buta itu, dalam kepanikan, orang-orang melarikan Wak Lokot menempuh seratus kilometer ke puskesmas. ***

.

.

Catatan:

[1] Sembilan buah gendang yang merupakan instrumen kesenian tradisional suku Batak Mandailing

.

.

Widjaya Harahap. Penulis tinggal di Ciamis. Dilahirkan di sebuah kampung kecil di pesisir tanah Deli pada 65 tahun yang lalu. Tengah bergiat menekuni penulisan cerpen dan puisi.

.
Kaukah yang Menyuruhku Pulang? Kaukah yang Menyuruhku Pulang? Kaukah yang Menyuruhku Pulang? Kaukah yang Menyuruhku Pulang?

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!