Cerpen Anggun Putri Sari (Padang Ekspres, 12 Februari 2023)
“PERMASALAHAN anak muda zaman sekarang, kalau tidak cinta ya apalagi, betul tidak?” Goda Sanja pada sahabat karibnya yang sudah dia kenal semenjak mereka duduk di bangku sekolah dasar.
Sanja, gadis cantik yang beranjak dewasa tamatan kampus ternama di kotanya. Belasan tahun berteman baik dengan Kiera, gadis dingin bermata cokelat, seorang penulis hebat dengan ratusan tulisan yang telah dikenal luas.
Keakraban yang selalu terjalin membuat mereka kembali bertemu setelah sekian lama berpisah demi menyelesaikan pendidikan. Dua gadis dengan kepribadian yang bertolak belakang, disatukan kembali di sebuah perusahaan penerbit terkemuka di Indonesia.
“Bilang saja, lelaki mana lagi yang sedang kau dekati? Bang Ryan? Bang Ibnu? Atau manajer baru yang kau sapa kemarin sore?” balas Kiera sembari mempercepat langkahnya menuju kantor.
“Kalau bisa ketiganya, kenapa harus pilih salah satu. Hahaha…,” jawab Sanja dengan tawa nakalnya.
“Aiisshh, terserah kau saja,” ucap Kiera melangkah cepat meninggalkan Sanja yang sedang tersenyum bermain dengan imajinasinya.
“Heeiii tungggu, memang susah bercerita cinta dengan manusia yang enggan jatuh cinta. Kieraaa tungguuu!!!” Dengan sedikit berlari Sanja mengejar Kiera yang hampir sampai di depan kantor.
Tujuh tahun berlalu semenjak Kiera memutuskan hubungannya dengan lelaki yang ia cintai, membuat Kiera befikir bahwa jatuh cinta bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Bagi Kiera, jatuh cinta hanyalah kebahagian semu yang dibungkus rapi seolah-seolah bahagia. Setiap cinta akan berujung kesedihan. Seindah apapun bahagia yang terlihat ujung dari jatuh cinta adalah tangisan air mata.
Jalanan sepi dan sedikit rintik hujan menemani pagi Kiera hari ini. Perlahan ia atur kecepatan mobilnya diiringi musik ringan dan sautan nada yang ia nyanyikan. Birunya langit pagi yang perlahan mulai terlihat menjadi pemandangan indah yang Kiera nikmati menuju rumah Sanja.
Handphone Kiera berdering, menandakan pesan masuk bertuliskan: “Saya sudah siap, jemput di tempat biasa ya mba, nanti saya beri bintang 5”.
“Diih, kalau tidak merepotkanku setiap pagi, bukan Sanja namanya,” ucap Kiera tertawa geli membaca pesan singkat dari teman baiknya itu.
Sudah menjadi rutinitas setiap hari bagi Kiera untuk menjemput dan mengantar Sanja pulang, karena ia tahu selain menulis novel yang bagus, Sanja tidak memiliki keahlian lain.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Kiera menahan laju kendaraanya hingga berhenti dan terpaku pada pandangan manis yang ia lihat di ujung jalan. Seorang pria muda tampan sedang membantu menyebrangi bocah kecil yang hendak berangkat sekolah.
Gelak tawa mereka mengetuk kaca mobil Kiera, membuat Kiera ikut tersenyum melihatnya. Senyum manis dan pipi merona Kiera terpancar ketika pria tersebut menundukkan kepala ke arah mobil Kiera seolah mengucapkan terima kasih, karena bersedia berhenti membiarkan mereka menyebrangi jalan. Senyum pria itu melekat hingga Kiera sampai di depan rumah Sanja.
“Selamat pagi, udaranya segar ya mbak,” goda Sanja pada Kiera yang masih tersenyum.
“Hei, kau kenapa? Senyam-senyum, kayak lagi kasmaran aja.” Kiera tersentak mendengar ucapan temannya itu. Dia hanya terdiam dan kembali fokus pada jalanan.
Tumpukan kertas sudah menanti Kiera di ruangan sederhana yang menjadi tempat terbaik Kiera menuangkan semua ide dan pikirannya untuk menulis. Satu persatu ia perhatikan dan memilih perkerjaan mana yang ingin dia selesaikan terlebih dahulu, hingga mata Kiera berhenti pada sebuah kertas bertuliskan “Biografi seorang pelukis hebat”.
Catatan kecil yang Kiera tulis beberapa hari yang lalu, ketika manajer baru kesayangan Sanja memintanya untuk membuat artikel tentang perjalanan hidup seorang pelukis muda. Kiera diberikan alamat dan foto pelukis tersebut.
Kejadian tadi pagi seolah terputar ulang dipikiran Kiera. Senyum Kiera kembali seketika senyum pemuda tersebut melintas di pikirannya. Bergegas Kiera mengambil tas dan buku kecil, dengan senyum yang masih melekat Kiera mengendarai mobilnya menuju alamat yang tertulis pada secarik kertas yang dia genggam.
“Rumah Warna Bagas Aksoro” bisik Kiera membaca sepenggal kalimat di depan sebuah gedung pameran. Tanpa pikir panjang Kiera melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung tersebut.
Betapa terkejutnya Kiera dengan keindahan lukisan di dalamnya, gedung pameran yang tidak terlalu besar, namun beraromakan tenang dengan berbagai lukisan cantik yang membuat setiap orang berdecak kagum mengandai-andai apa arti dari setiap lukisan ini.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu? Saya Bagas…,” sapa ramah seorang pemuda sembari menjulurkan tangan.
“Kiera…,” balas Kiera menyambut tangan pemuda tersebut. Mata pemuda tersebut berhenti pada kartu pengenal yang menggantung di leher Kiera.
“Oh, Mbak dari penerbit yang ingin membuat artikel tentang pameran saya?” ucap ramah pemuda yang masih berdiri di hadapan Kiera dengan senyum manis persis seperti senyum tadi pagi yang ia lihat.
Kiera pun tersentak. “Iya, Mas Bagas, jadi begini….” Kiera memperkenalkan diri dan menjelaskan hal apa saja yang harus dia ketahui untuk dapat menulis tentang biografi dan pameran “Rumah Warna Bagas Aksoro”.
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk memecahkan suasana asing di antara keduanya. Bagas dengan begitu semangat menjelaskan tentang dirinya dan beberapa lukisan yang ada di gedung pameran tersebut.
Siapa sangka, seorang gadis yang pernah dengan begitu yakin mengatakan enggan jatuh cinta, kini terdiam hanya dengan senyum manis pria sederhana di hadapannya. Tidak ada satu pun kata yang Kiera tulis pada bukunya. Seolah semua ucapan Bagas dapat ia putar kembali dengan utuh dipikirannya kapanpun ia mau.
“Terima kasih, Mas Bagas, kami usahakan artikel ini terbit minggu depan,” tutup Kiera untuk mengakhiri perbincangan mereka.
“Terima kasih kembali, Mbak, tidak perlu terburu-buru. Saya percaya pasti Mbak dan tim melakukan yang terbaik,” jawab ramah Bagas sembari mengantar Kiera keluar.
Kiera kembali ke kantor dan menemui Sanja yang duduk di taman kantor tempat biasa mereka janjian bertemu makan siang. “Dari mana saja kau? Aku cari ke ruanganmu tidak ada,” tanya Sanja pada Kiera yang baru saja duduk di sampingnya.
“Jatuh cinta ternyata menyenangkan ya?” balas Kiera dengan tatapan lurus ke depan.
“Memang betul, sangaaatttt menyengkan. Makanya, aku tidak pernah berhenti untuk jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi. Kau saja yang sudah tidak ingin jatuh cinta. Sudahlah, tidak semua lelaki itu sama seperti mantan pacarmu Kiera. Lagian jikapun kita dapat yang sama kita coba lagi sampai bertemu yang pas. Obat sakit sakit hati itu ya jatuh cinta lagi,” jawab Sanja semangat seolah diapun sedang jatuh cinta.
Kiera hanya tersenyum dan menundukkan kepala mendengar ucapan Sanja.
“Kenapa tiba-tiba bertanya? Tumben sekali kau mau bertanya dengan cinta, biasanya kau hanya menggelengkan kepala ketika aku membahasnya,” ujar Sanja.
Kiera tetap saja hanya tersenyum dan tidak membalas ocehan sahabatnya itu. Ia keluarkan buku dan pulpen kemudian menulis beberapa kata. Kiera memberikan buku itu kepada Sanja dan kemudian berdiri memangku tangan. Sanja membaca kalimat yang tertulis pada buku itu dengan perlahan.
“Bagas Aksoro, 09 Maret 2022.”
“Tatapmu, Tuan. Nyaman sekali, sungguh.”
“Kau? Jatuh cinta?” dengan mata terbelalak dan perasaan tidak percaya, Sanja bertanya kepada sahabatnya itu.
Garis halus melengkung di sudut bibir Kiera. Perlahan ia mengangkat kepala sambil berkata; “orang bilang jika kau berhasil membuat seorang seniman jatuh cinta, maka namamu akan abadi di dalam karyanya. Kalau begitu, hari ini aku izinkan namanya abadi di dalam ceritaku, Sanja,” balas Kiera melangkah meninggal Sanja yang masih tidak percaya. ***
.
Jatuh Cinta Lagi, Katanya. Jatuh Cinta Lagi, Katanya. Jatuh Cinta Lagi, Katanya.
Leave a Reply