Cerpen, Lia Laeli Muniroh, Radar Banyuwangi

Anjing Kampus

Anjing Kampus - Cerpen Lia Laeli Muniroh

Anjing Kampus ilustrasi Reza Fairuz/Radar Banyuwangi

3.3
(3)

Cerpen Lia Laeli Muniroh (Radar Banyuwangi, 18 Februari 2023)

SEMUA salahku enggan melepas keasyikan. Berawal dari penasaran, mencoba, dan ketagihan. Sedang ia, jiwa yang tak pernah puas. Dengan dalih atas nama cinta pun tetap tidak akan ada yang membenarkan.

Kutarik perlahan selimut tipis warna krem. Hanya menutupi sampai dadaku. Sedang ia lelap di sampingku. Hasratnya sudah terpuaskan. Hening. Aku terjatuh kembali dalam jurang kenistaan. Tak sanggup meraih asa dengan kerapuhan. Lagi dan lagi. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Apakah aku tercipta dari tulang rusuknya atau bukan?

Masih kurasa bau rokok yang tertinggal memenuhi ruang mulutku. Pahit. Tak ada bedanya cinta dengan saham yang fluktuatif. Begitu pun dengan rasa di relung jiwaku. Aku memang mengaku sempat hilang kewarasan. Terkadang ingin berdekatan dengannya. Sering juga berharap apa yang tengah kujalani ini segera berakhir.

Kuakui, ia memiliki senyum yang menawan. Kulit putih dengan otot atletis. Sumbu otakku terlalu pendek saat dia menawarkan cinta. Aku teperdaya dengan sosoknya yang selalu paling depan di kelas. Tugas-tugasku tak luput dari bantuannya. Kata orang, ia mahasiswa smart. Mimpi-mimpi pernah dibangun dengannya. Bahkan, rencana-rencana, membual habiskan waktu dengannya kerap warnai hariku. Meski entah kapan terwujud.

“Kamu tidak tidur?” tanyanya.

Tangannya meraih pinggangku, kepalanya terbenam menyusup tengkukku. Untuk kesekian kali. Tak terhitung. Entah kenapa, seolah waktu mendukung setiap kejadian.

“Lagi, ya?” bisiknya pelan.

Aku melepaskan pelukannya. Menjaga jarak. Egoku sedang mengeras. Mencoba tertatih dengan harga diri, meski hanya setengah hati. Perempuan bak ladang yang terhampar tak bertepi. Kapan saja bebas mencangkul, bebas melakukan apa pun di sana semaunya.

Baca juga  Rumah di Desa

Aku menggeleng. Masih terasa perih di pangkal paha. Ia memaksa. Cengkeramannya begitu kuat. Ia begitu leluasa melampiaskan semuanya. Memuntahkan jiwa kelelakiannya. Hingga menuntaskan segala hasrat yang tak kunjung usai. Berulang kali.

Tak ada sesal terlahir sebagai perempuan. Bukankah aku tak ada pilihan untuk itu. Atau akan menyalahkan Tuhan? Tak akan. Salahnya aku, telanjur mudah percaya dengan rayu dan harapan. Andai dirinya tercipta untukku. Kenapa selama ini waktu seakan terus mengulur. Tidak cukupkah aku menghambakan diri.

Hanya desahan napasnya yang terdengar. Ia lincah di atasku. Aku pasrah menelan ludah. Kali ini penuh kebencian. Sesekali matanya terpejam. Ia menyungging senyum sesaat setelah hajatnya terpuaskan.

Ia terus berjanji-janji, meski sering dimungkirinya sendiri. Aku tak sadar dibuai lembut cintanya. Aku telah berulang kali menghindari pesonanya. Namun, jatuh kembali dalam pelukannya. Nahas.

“Kenapa tak kunjung menemui bapakku, Yo?” ucapku dengan kehati-hatian.

Ia membuang napas. Menyugar rambutnya. Duduk di ujung dipan. Mengenakan celana dalam begitu cepat. Seketika wajahnya seperti menahan beban berat. Tak kutemukan lagi sentuhan mesra nan romantis.

“Aku belum siap.”

“Aryo….” aku memanggil namanya dengan suara meninggi.

Aku tegak. Seketika napasku tak teratur. Dadaku kembang kempis. Kedua cuping hidungku mengembang. Berusaha menahan sesak dan emosi. Tidakkah ia berpikir, alasannya terlalu basi bertahun-tahun. Untuk apa melakukan semua itu tanpa kepastian. Atas nama cinta? Atau kenikmatan semata? Sementara perempuan butuh pengakuan. Aku.

Ia terdiam. Memaku diri. Sedang matanya menyimpan sejuta tanya. Ia manusia yang sulit kupahami. Di balik aura wajahnya yang memancarkan kepintaran. Berwawasan luas. Apalagi saat ia memimpin orasi demo mahasiswa dengan mengenakan kacamatanya yang agak tebal. Sungguh seperti intelek. Meski tak kusadari aku telah terperangkap dengan penampilannya.

Baca juga  Amplop

“Bukannya kau pun menikmati semuanya. Jangan pertanyakan lagi tentang itu. Tak perlu penghulu, asal kau pandai—”

“Bagaimana dengan benih yang bersarang di rahimku?”

Aku memotong sebelum ia melajukan ucapannya.

“Salahmu bandel minum pil KB.”

“Sekian tahun terus-menerus. Kau tak lihat tubuhku terkoyak. Melebar. Ulah siapa? Pil itu bikin gak nafsu. Sementara kau? Kau… semakin beringas.”

Kedua matanya seketika nyalang, membulat bagai kilatan api yang siap menyambar. Aku terkejut. Ia menyibakkan selimut. Menatap perutku yang tak ada sehelai pun kain yang tergantung di sana.

“Kau hanya butuh tubuhku. Tapi tak mau melihatku beranak. Apa arti gelar sarjana yang sebentar lagi akan kau sandang?”

Ia melayangkan kekesalannya tepat di pipiku. Ia kehilangan arah. Tangan kananku meraba pelan. Tanpa diundang, bulir bening menggelinding dari sudut mataku. Kuraba pipi yang dulu sempat ia ciumi ratusan kali. Ada panas terasa membara.

Ia sempat menyesap kopi hitam di atas meja belajarku, kemudian meraih kacamatanya sebelum memutuskan pergi. Ia hanya datang dan kembali sekehendaknya. Tanpa mau menanggung bekas lakunya. Kaukah yang dinamakan makhluk paling kuasa?

Tubuhku ambruk tak berdaya. Remuk laksana butiran kaca tak ada harap utuh. Kutatap langkahnya kian menjauh. Ia yang telah pergi merenggut segalanya. Menyisakan tangis yang tak berkesudahan. Bagaimana kupertanggungjawabkan. Tak ada lagi mimpi dan harapan-harapan yang pernah terucap darinya. Semua hanya kekosongan dan kepalsuan.

Kutatap lantai keramik warna putih, di sana seakan pantulan wajahku mengejek. Suara kipas angin dari sudut kamar kos masih terdengar, wush, wush dengan posisi bolak-balik ke kanan kiri tiada henti. Angin yang berembus dari balik kipas angin itu tak sanggup mendinginkan jiwaku yang kian memanas. ***

Baca juga  Ichi, Ni, San… Kampai!

.

.

Pangandaran, 14 Januari 202

*) Lia Laeli Muniroh, lahir di Garut, Jawa Barat. Penikmat sastra dan pegiat literasi. Cerpennya tersebar di sejumlah media massa nasional. Bergiat di komunitas menulis NIMU CLUB. Berdomisili di pesisir pantai Pangandaran, Jawa Barat.

.
Anjing Kampus. Anjing Kampus. Anjing Kampus.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!