Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 19 Februari 2023)
/1/ Cerita Simone, istri Rafael Moreno
HARI itu awal Agustus, empat tahun yang lalu. Siang yang panas mencekik, ketika dia meninggalkan rumah.
Waktu itu televisi terus memberitakan Partai Independiente yang diberangus pemerintah. Para pemimpinnya, setelah kerusuhan Juli empat tahun lalu itu, terus diburu intelijen. Banyak yang ditangkap. Bermula dari bentrokan di markas partai oposisi dan berlanjut dengan perusakan di ibu kota, di mana Partai Independiente dituding sebagai biang keroknya.
Sebagai penggerak organ media dan komunikasi di Partai, dia juga diburu intelijen.
Siang itu, ketika dia sedang membetulkan kunci di pintu pagar, seseorang tergopoh-gopoh memberi tahu, “Ada intelijen di mulut gang!”
Aku lalu memintanya masuk dan bersiap. Tak ada gunanya kabur, karena bisa jadi gang tempat kami tinggal sudah dikepung. Benar saja, tak lama setelah itu beberapa orang menerobos pintu pagar. Mereka menanyakan Rafael.
Aku menemui mereka di ruang depan. Beberapa orang itu berpakaian layaknya rakyat jelata. Salah seorang menunjukkan kartu identitas. Aku menjawab bahwa Rafael sudah tiga hari tidak pulang—dan mereka mulai mendesak. Tiba-tiba dia muncul ke ruang depan. Dia sudah berganti pakaian, memakai topi dan kacamata. Dia tersenyum kepada “tamu-tamu” itu dan menyalami mereka satu per satu. Lalu, masih dengan tersenyum, dia memandang ke arahku, “Saya pamit. Salam untuk Rafael.”
Salah satu “tamu” mendekat, “Kamu siapa?”
Dia menjawab dengan ramah, “Saya Jorge Moreno, kerabat dari kampung.”
“Mana KTP?”
Dia mengeluarkan KTP dari saku jaket. “Tamu” itu menyuruhnya melepas topi dan kacamata, lalu menatap bolak-balik dari KTP ke arahnya.
“Ada perlu apa kemari?”
“Saya baru mengantar gerabah ke pasar. Langsung dari kampung. Sekalian kemari untuk menengok Rafael. Tapi dia tidak di rumah.”
Dia pergi. Setelah itu, para “tamu” mulai menggeledah rumah. Mereka membawa pergi komputer dan beberapa buku dari ruang kerja Rafael. Aku juga dibawa ke markas mereka dan diinterogasi.
Semula aku berpikir, suatu keajaiban dia bisa melenggang keluar dari rumah siang itu. Tapi aku lalu sadar, dia sudah menyiapkan semua itu sejak sebulan sebelumnya. Setelah Partai diberangus, dia menghapus permanen beberapa data di komputer dan membakar dokumen-dokumen. Dia mencukur pendek rambutnya yang biasa acak-acakan, belajar memakai kacamata, banyak berjemur sampai kulitnya hitam, dan melakukan diet ketat. Lalu Jorge, sepupunya dari kampung itu, datang ke rumah. Jorge memang mirip Rafael, tapi lebih kurus, lebih hitam, berkacamata, dan rambutnya pendek. Soal KTP itu, aku menduga Jorge sengaja meninggalkannya di rumah.
Rupanya Rafael sudah tahu hari itu akan datang.
Setelah hari itu, kami baru bertemu setahun kemudian. Sebelumnya dia pernah menelepon dan beberapa kali mengirim surat, yang diantar oleh kawan-kawan aktivisnya. Hanya dua kali dia menelepon, sebelum aku memutus saluran telepon di rumah karena khawatir disadap.
Kami bertemu di sebuah warung makan di kota praja itu. Atas saran seorang kawan aktivis, kami bertemu di sana. Selama setengah hari kami menyusuri pinggiran kota, ditemani dua anggota Partai. Kadang kami dibiarkan berdua selama satu-dua jam. Dia berkata bahwa selama itu dia bersembunyi dan terus berpindah-pindah. Bahkan dia pernah “bermukim” di pulau lain. Lalu dia pamit. Katanya, dia harus menemui kawan-kawan Partai yang akan berkumpul di suatu tempat.
Kami bertemu kembali empat bulan kemudian, pada tahun yang sama. Aku mendapat kabar dari seorang kawan aktivis bahwa dia kangen pada anaknya dan ingin bertemu. Kebetulan anaknya berulang tahun pada bulan itu. Jadi, dalam pertemuan itu, aku mengajak anaknya.
Kami bertemu di stasiun kereta, masih di kota praja itu. Dari stasiun, kami menuju ke pantai. Di sana dia menyewa bungalo dan kami tinggal selama sepekan. Setiap hari dia bermain dengan anaknya.
Setelah hari itu, dia bahkan tak berkirim kabar apa pun. Semula aku mengira dia masih bersembunyi dan kawan-kawan aktivis menjaganya. Memang, dua tahun lalu Presiden telah diturunkan dan rezim berganti. Tetapi rezim waktu itu, boleh dibilang, adalah perpanjangan tangan rezim terdahulu. Keputusan pembubaran Partai tak pernah dicabut, dan mungkin karena itu kawan-kawannya di Partai merasa belum aman. Sampai dua bulan lalu, ketika mereka menanyakan di mana Rafael. Saat itulah aku tahu, mereka tidak sedang menyembunyikan Rafael….
/2/ Cerita Hector Raminez, sahabat Rafael Moreno
Rafael mendatangi rumahku sekitar Agustus empat tahun lalu. Waktu itu aku belum menetap di L.A., setelah didepak dari universitas.
Dia muncul pada suatu sore. Penampilannya kusut, lebih mirip orang kampung. Kukira dia sedang menyaru. Aku menemuinya di beranda belakang. Tak banyak yang kami bicarakan sore itu. Dia berkata bahwa dia sedang dalam pelarian karena dicari-cari intelijen. Aku lalu menyarankan agar dia bersembunyi untuk sementara waktu. Situasi sedang tegang dan pemerintah bisa bertindak brutal. Aku juga menyarankan agar dia tak bersembunyi di rumah kerabat atau orang-orang dekat, karena akan mudah terendus. Lebih baik bersembunyi di pelosok, atau datang pada seseorang yang tak disebut-sebut—yang tak muncul dalam pemberitaan—atau diduga oleh intelijen. Sebisa mungkin hindari pertemuan dengan kawan-kawan Partai, kataku. Jika butuh bantuan, banyak aktivis yang akan membantu. Dan jangan sekali-kali menggunakan telepon!
Dia tidak lama di rumahku. Jika sebelumnya kami biasa mengobrol lama, dan kadang dia menginap, hari itu kami bertemu tak sampai satu jam. Istriku yang mengantarnya ke jalan raya untuk mencari kendaraan umum. Agak berisiko jika aku yang mengantar, karena aku juga diawasi. Tak perlu kujelaskan bahwa aku didepak dari universitas karena kerap mengkritik pemerintah.
Setelah menghabiskan kopinya, dia diantarkan sampai ke perempatan dekat pasar—sekitar sepuluh kilometer. Perempatan itu sengaja dipilih karena, selain mudah mendapatkan kendaraan umum, juga tempat yang ramai. Jika terjadi sesuatu, atau ada gelagat tidak baik, akan mudah menghilang di tengah kerumunan.
Itu pertemuan terakhirku dengan Rafael.
3/ Cerita Luis Pineda, aktivis prodemokrasi
Rafael muncul begitu saja di kantor kami. Waktu itu September, empat tahun yang lalu. Dia kelihatan kurus dan lebih hitam. Kemunculannya membuat kawan-kawan yang lain panik. Maklum, beberapa kali wajahnya terpampang di surat kabar atau televisi, sebagai orang yang dicari setelah peristiwa bentrokan di markas partai oposisi itu.
Siang itu juga aku dan seorang kawan membawanya ke rumahku di pinggiran kota. Tepatnya di perbatasan ibu kota. Bukan tempat yang ideal, tapi dari beberapa kemungkinan, rumahku dianggap paling cocok. Kami tak bisa memikirkan yang lain, karena dia datang mendadak. Tapi kami memutuskan, dia hanya akan tinggal di rumahku selama beberapa hari, sambil kami mencari tempat lain.
Waktu itu aku tinggal di kawasan yang sedang dikembangkan, semacam kota penyangga baru, dan di kompleks hunian yang tengah dibangun. Rumahku agak terpisah dari rumah-rumah lain, dan mesti melalui jalan yang becek saat hujan, dan di depan dan belakang rumah masih lahan kosong.
Kepada orang tuaku, aku mengaku dia seorang kawan yang sedang mencari pekerjaan di ibu kota dan akan menumpang sementara.
Dia hanya tinggal tiga atau empat hari. Selama itu dia tidur di ruang tamu. Setelah tiga atau empat hari, kawan aktivis yang lain menjemputnya. Kawan itu punya rumah di pinggiran kota sebelah barat yang belum ditempati. Dia bersembunyi agak lama di sana, sekitar dua minggu. Selama di rumah itu, gorden jendela selalu tertutup dan lampu tak dinyalakan, kecuali lampu teras yang menyala waktu malam karena diatur dengan timer. Jadi, rumah itu terkesan tak berpenghuni. Dia juga tak melakukan apa pun yang menimbulkan suara. Tiap akhir minggu, waktu kawanku singgah dan menginap di sana—sebetulnya kawanku itu datang untuk memasok makanan—dia sengaja bertanya kepada tetangga kalau-kalau mereka mendengar suara-suara tak biasa dari rumahnya. Jawabannya: tidak ada yang mencurigakan.
Pada akhir minggu kedua, kawanku itu datang disertai beberapa kawan aktivis. Saat itulah mereka banyak mengobrol.
Setelah dua minggu, kami merasa sudah waktunya dia dipindahkan. Kami khawatir, karena situasi sulit ditebak—meskipun ibu kota berangsur-angsur mulai kondusif. Lalu dia menghuni paviliun di rumah seorang kawan di pinggiran kota sebelah timur. Kawan itu bukan aktivis, tapi seorang prodemokrasi. Rumahnya besar, berpagar tembok, agak menjorok ke dalam dari jalan kampung, dan rumah induk berjarak tiga puluh meter setelah melewati pintu gerbang. Paviliun itu terletak di halaman belakang, praktis tak terlihat dari rumah induk.
Selama tinggal di sana, mungkin satu minggu, kudengar tak sekali pun dia keluar dari paviliun.
Dia sempat bersembunyi di rumah seorang kawan lagi sebelum kami memutuskan membawanya ke luar ibu kota. Waktu itu, Oktober atau awal November. Tapi rencana itu tak berjalan. Seorang kawan aktivis tiba-tiba memberi tahu tentang ketatnya penjagaan di perbatasan ibu kota. Juga di beberapa titik jalan di sepanjang rute ke ibu kota. Tiap orang yang keluar atau masuk akan diperiksa. Selain itu, kabarnya, intelijen berkeliaran di kampung-kampung di ibu kota. Saat itulah aku mendengar tentang pergerakan di luar ibu kota dan massa yang akan menyerbu ke ibu kota.
Kami lalu berpikir keras. Bagaimana pun perubahan situasi itu membuat kami gelisah. Akhirnya kami memutuskan, jika tak bisa lewat jalan darat, kami akan mengeluarkan dia dari ibu kota lewat jalan udara. Dan pergi sejauh mungkin, ke luar pulau!
Lewat seorang kawan, kami membeli dua tiket pesawat dengan nama palsu. Aku yang ditugaskan mengantar sampai ke luar pulau. Di sana sudah ada kawan aktivis lain yang akan menjemput. Waktu itu tidak ada pemeriksaan kartu identitas di bandara. Asalkan menunjukkan tiket, maka bisa masuk ke pesawat.
Kami diantar ke bandara. Selama di bandara—dan di pesawat—kami hanya bicara seperlunya. Di pesawat, kami juga duduk terpisah.
Setiba di luar pulau, kawan aktivis itu sudah menunggu di area parkir. Aku tak mengenalnya. Aku hanya diberi tahu bahwa seseorang bertubuh gemuk, berkulit pucat, berpakaian kemeja santai, dan bertopi bisbol akan menunggu di area parkir. Kami bertukar kata sandi. Setelah itu, dia masuk ke mobil dan langsung berangkat. Aku pulang ke ibu kota dengan penerbangan berikutnya.
Aku baru bertemu lagi dengan Rafael mungkin tujuh bulan kemudian….
/4/ Cerita Juan Araujo, mantan aktivis
Aku bertemu Rafael dan aktivis bernama Luis Pineda di bandara. Rafael langsung masuk ke mobil, sementara Luis kembali ke ibu kota.
Kami berkendara ke permukiman penduduk, sekitar satu jam dari bandara. Larut malam kami masuk ke pedalaman. Di sana sudah disiapkan rumah tempat Rafael tinggal untuk sementara, di tengah perkebunan tembakau.
Rencana membawa Rafael ke pulau ini baru diputuskan kawan-kawan di ibu kota tiga hari sebelum kedatangannya.
Rencananya, dia akan diselundupkan keluar dari negeri ini. Caranya, lewat pertukaran misionaris ke seminari atau paroki. Kebetulan direktur salah satu lembaga di gereja adalah seorang aktivis. Tapi rencana itu tak berlanjut. Aku tidak tahu kenapa.
Akhirnya dia tinggal di pulau ini selama tujuh bulan, mungkin lebih.
Ketika baru tiba di pulau ini, Rafael seperti dihinggapi rasa waswas. Dia gelisah, dan kelihatan sangat tertekan. Beberapa kali dia mengeluhkan sakit di kepalanya, dan karena itu dia susah tidur. Dia baru bisa terlelap setelah menenggak dua botol tuak.
Aku belum pernah melihat Rafael seperti itu sebelumnya. Aku sempat berpikir, apakah karena selama ini dia bersembunyi dan terus berpindah-pindah?
Bahkan pertanyaan pertama yang diajukannya, meski dengan tersenyum, begitu masuk ke rumah pedalaman itu adalah, “Lewat pintu mana aku bisa lari?”
Selama minggu-minggu pertama dia hampir tak keluar dari rumah, tapi dia mengamati orang-orang yang lewat. Setelah sebulan, kadang dia ikut bekerja di perkebunan tembakau. Selama di pulau ini dia menggunakan nama Pablo Vargas. Aku yang mengurus kartu identitasnya, dengan bantuan seorang kawan. Di pedalaman itu dia hanya dikenal sebagai Pablo Vargas. Istriku, bahkan sampai sekarang, tidak tahu jati dirinya. Istriku hanya tahu dia adalah kawan yang datang dari pulau seberang untuk bekerja di perkebunan tembakau.
Di rumah itu ada radio, sehingga dia bisa memantau situasi di ibu kota. Aku juga menyiapkan kertas dan perangkat alat tulis. Setelah dua bulan dia mulai menulis pamflet, dan surat, yang kemudian kutitipkan pada kawan yang ke ibu kota. Kami tak berani menggunakan jasa pos.
Setelah tiga bulan, aku memindahkan Rafael ke biara sekitar sepuluh kilometer dari perkebunan tembakau. Keputusan itu juga datang dari kawan-kawan di ibu kota. Apa alasannya—maksudku kenapa ke biara—aku tidak diberi tahu. Kukira, tidak baik membiarkan Rafael tinggal di tempat yang sama untuk waktu yang lama. Selain itu, biara pasti dirasa lebih aman.
Di kompleks biara itu dia menempati paviliun kecil. Di sana dia biasa membantu menyapu halaman, menyiangi rumput, atau menanam sayuran di kebun belakang. Kadang dia ikut memasak dan membersihkan dapur. Tapi sebagian besar waktunya dihabiskan dengan mendekam di paviliun. Dia menyimak siaran radio, yang mesti dipegangi atau digerak-gerakkan antenanya agar mendapat saluran yang jernih.
Sesekali aku menengok Rafael di biara. Saat itulah dia memintaku mengirim tulisan-tulisannya yang sudah dimasukkan ke amplop bersegel. Aku punya kenalan di pelabuhan. Lewat orang itu, beberapa kali tulisan Rafael dikirim ke ibu kota. Meski dia tampak lebih nyaman, kadang dia ingin rehat dari rutinitas di biara. Saat itulah aku mengajaknya ke kota. Kami baru keluar waktu malam. Dia tetap waspada dan—setelah kupaksa—dia memakai topi dan jaket tebal sehingga terlihat gemuk. Kami kerap menghabiskan waktu sampai menjelang subuh. Kadang aku ikut menginap di paviliun kecil itu.
Dia tinggal di kompleks biara sekitar empat bulan. Suatu hari, seorang tamu biara—merasa—mengenali Rafael. Katanya, dia pernah melihat foto Rafael di surat kabar. Saat itulah aku bergerak cepat. Aku mengeluarkan Rafael dari biara, lalu menelepon Luis. Luis datang keesokan harinya dan membawa Rafael pergi. Ke mana mereka pergi, aku tidak tahu, dan sejak itu aku tak mendengar kabar apa pun tentang Rafael. Waktu itu sekitar Mei, tiga tahun yang lalu.
/5/ Cerita Raul Vega, mantan anggota Partai
Rafael tiba-tiba muncul di rumah ini. Dia datang begitu saja, diantar oleh aktivis bernama Luis Pineda. Kemunculannya tak pelak membuat kami kaget, karena dia lama menghilang.
Kami malah menduga dia sudah ditangkap oleh intelijen.
Waktu itu Mei, tiga tahun yang lalu. Situasi di ibu kota kembali memanas. Kabar tentang pergerakan di luar ibu kota, atau massa yang akan menyerbu ke ibu kota, itu ternyata tidak benar. Tapi setelah itu intelijen, dibantu tentara, jadi makin represif dan makin banyak kawan yang ditangkap. Lalu muncul gerakan politik sebelum masa pemilihan umum yang digalang para intelektual. Kami, sesuai dengan yang diarahkan Ketua sebelum ditangkap, terus berupaya menyatukan kekuatan partai oposisi dengan rakyat. Itu adalah jalan untuk merintis koalisi di antara mereka yang menentang rezim berkuasa. Gerakan-gerakan itu tampaknya membuat risau pemerintah.
Selama di kota ini, Rafael berpindah-pindah tempat. Mula-mula dia mendiami rumah di timur kota. Rumah itu sebetulnya rumah singgah milik Partai, yang disewa seorang anggota. Agak aneh, ketika itu—ketika banyak anggota diburu oleh intelijen—keberadaan rumah itu sama sekali tak terlacak. Lalu agak lama dia tinggal di rusun di utara kota. Di dekat rusun itu ada kotak telepon yang sudah diutak-atik, sehingga bisa dipakai dengan cuma-cuma. Rafael pernah menelepon istrinya dari sana.
Aku yang diminta menemani jika dia ingin menelepon. Biasanya setelah tengah malam.
Selama di kota ini, yang kutahu, Rafael sering menulis.
Mungkin sekitar satu setengah bulan dia tinggal di kota ini. Lalu dia pergi. Seorang anggota dari ibu kota, namanya Alfredo Montes, menjemputnya.
/6/ Cerita Alfredo Montes, mantan anggota Partai
Aku membawa Rafael ke dusun itu, setelah dia bertemu dengan istrinya di kota praja itu.
Dusun itu agak jauh dari mana pun, kalau tidak dikatakan terpencil. Dusun itu biasa-biasa saja. Aktivitas penduduk berjalan lambat. Keseharian berlalu begitu saja. Tak pernah ada kejadian yang menarik perhatian. Di dusun itu, kita seperti sekadar melewatkan waktu. Tetapi justru karena itulah dusun itu dipilih.
Aku membawa Rafael ke sana karena waktu itu kawan-kawan Partai akan berkumpul. Maksudku, kawan-kawan yang tersisa setelah Partai dilarang dan para pemimpin pusat ditangkap. Sudah satu tahun, dan kami menganggap sudah waktunya mengonsolidasikan semua kekuatan yang tersisa. Kami berkumpul di rumah kepala dusun, seorang pensiunan pegawai pemerintah yang diam-diam menyokong perjuangan kami. Meski dusun itu terpencil, beberapa kawan tetap berjaga di luar rumah dan di beberapa titik di jalan dusun.
Waktu itu kami mematangkan rencana gerakan bawah tanah. Kami akan menyebarkan pamflet dan buletin, yang berisi perlawanan terhadap rezim berkuasa. Kami juga memetakan tempat di mana pamflet dan buletin akan dibagikan. Kami akan bergerak di antara mahasiswa, buruh, dan kaum miskin kota. Selain itu, kami menggalang dukungan internasional lewat kawan-kawan di luar negeri.
Sekitar dua bulan Rafael menetap di dusun itu. Tapi sebetulnya dia tidak tinggal di dalam dusun. Dia tinggal di pelosok, di sebuah rumah kayu di tepi jalan setapak. Dari arah rumah itu hanya kelihatan ladang-ladang dan hutan. Di sana dia menulis, menyiapkan pamflet dan buletin yang kusebutkan itu….
/7/ Cerita Roberto Sanchez, pemilik losmen
Tiga tahun lalu, sekitar September atau Oktober, Rafael muncul di losmen ini—dengan diantar seorang kawan. Dia tinggal selama sebulan, kurang-lebih. Katanya, waktu itu dia sedang menunggu kabar dari kawan-kawan Partai yang mengatur pertemuan dengan istri dan anaknya.
Lalu suatu hari dia pergi. Dia kembali seminggu kemudian. Setelah tiga atau empat hari, tiba-tiba dia berkata akan ke ibu kota. Tapi sebelum itu dia akan mengunjungi seorang teman. Aku tidak tahu siapa, karena dia tak menjelaskan lebih jauh. Aku sempat bertanya, ada apa di ibu kota? Dan kenapa ke ibu kota, padahal di sana sedang kacau? Rafael juga tak menjelaskan apa-apa. Hari itu aku mengantarnya ke terminal, karena dia berkeras.
/8/ Cerita Sergio Alvarez, mantan anggota Partai
Rafael mendadak muncul di rumah itu, rumah di pinggiran—bahkan pelosok—ibu kota. Di rumah itu kami biasa berkumpul, sering kali sampai berhari-hari. Di sana kami menggodok banyak hal, terutama soal strategi meneruskan informasi dari Partai.
Aku kaget. Kawan-kawan juga kaget. Karena tidak seharusnya dia datang ke ibu kota! Situasi di ibu kota sedang kacau menjelang pemilihan umum. Dia masih dicari oleh intelijen. Seharusnya dia tetap di dusun itu, yang kami yakini adalah tempat yang sangat aman. Tapi Rafael menjawab bahwa dia lelah bersembunyi. Dia mau melakukan sesuatu. Dari rapat konsolidasi di dusun itu, dia tahu banyak yang harus dilakukan sebelum pemilihan umum.
Dia benar. Banyak yang harus dikerjakan, dan kami kekurangan orang. Tapi kami tak berharap dia datang ke ibu kota!
Rafael tidak bisa dicegah. Akhirnya dia ikut menginap di rumah pelosok itu—kami menyebutnya rumah singgah. Dia tak hanya mengerjakan pamflet. Ketika itu dia ikut menyusun konsep dan menyunting buletin milik Partai. Kadang dia yang mengurus ke percetakan atau langsung menjemput barang cetakan. Percetakan itu milik seorang mantan tahanan politik.
Bahkan dia ikut turun untuk meneruskan arahan atau instruksi dari Partai kepada kawan-kawan anggota. Arahan atau instruksi dari Komite Pimpinan itu tiba pada kami lewat orang—kami menyebutnya kurir—yang selalu berganti-ganti. Kami mencatat semua yang disampaikan, lalu dihafalkan, sebelum kertas catatan dihancurkan. Setelah itu, kami mendatangi anggota yang lain dan menyampaikan pesan. Dengan cara itu, pesan diteruskan berantai dan berjenjang, bahkan sampai ke luar ibu kota. Kami tak berani menggunakan telepon, faksimile, atau semacamnya.
Selama itu, Rafael selalu menyamarkan penampilannya. Dia biasa bergerak pada malam hari.
Rafael juga menjadi penghubung dengan organ-organ di bawah Partai bila ada rapat, atau meneruskan informasi tentang kasus Ketua di pengadilan. Dia tidak selalu tinggal di rumah singgah. Kadang dia menetap di tempat lain, tapi selalu kembali ke rumah singgah.
Waktu itu kami menyebarkan pamflet di jalan, jembatan penyeberangan, bahkan di jalan layang. Pamflet itu berisi ajakan untuk menggelar aksi melawan rezim berkuasa. Atau seruan untuk membangun koalisi antara massa pendukung partai oposisi dengan rakyat. Hal itu kami lakukan terutama setelah gerakan golput yang kami dengungkan sebelumnya menemui kegagalan.
Kami menyebarkan pamflet sampai ke kota-kota di luar ibu kota. Entah sudah berapa pamflet yang dibagikan. Kami juga menyebarkan buletin seukuran majalah, yang bisa dilipat dan mudah diselipkan ke bawah pintu rumah. Atau dibagikan di tempat-tempat publik atau di kampus-kampus dan bahkan gereja.
Gerakan itu bukannya tanpa risiko. Tapi waktu itu kami benar-benar seolah siap mati. Beberapa kawan tertangkap dan digelandang ke pengadilan, dengan tuduhan subversif. Seorang mantan menteri bahkan menyebut kami, dan gerakan kami, sebagai duplikat partai yang sudah dilarang pada masa lalu. Itu tuduhan yang mengerikan. Kita tahu, pada masa lalu tuduhan itu telah memancing kemarahan rakyat dan menyulut kebrutalan dalam skala yang menakutkan. Tapi zaman berubah. Rakyat tak lagi semudah itu dihasut.
Semua itu kami lakukan sebagai propaganda gerakan bawah tanah. Waktu itu ada tiga belas pemimpin Partai yang ditangkap. Para anggota dihinggapi rasa takut karena represi dari pemerintah. Dari balik tahanan, Ketua menyerukan agar kami tetap bergerak. Lalu beberapa pemimpin Partai di daerah didatangkan untuk mengisi posisi pimpinan pusat yang kosong. Kami menyebutnya Komite Pimpinan, dan mereka memberi arahan dari tempat persembunyian masing-masing.
Rafael adalah satu-satunya pemimpin pusat yang belum tertangkap.
Waktu itu kami juga membentuk tim pengacara untuk Ketua dan kawan-kawan yang lain. Tindakan yang mungkin tampak sia-sia, karena rezim otoriter itu. Tapi kemenangan sebuah majalah berita, lewat proses di Mahkamah Agung, setelah diberedel oleh pemerintah sedikit-banyak membangkitkan harapan kami. Sementara itu, dukungan dari organisasi internasional makin kuat.
Lalu pemilihan umum berlangsung, dan rezim tetap berkuasa. Kawan-kawan mulai menggalang demonstrasi di tengah mahasiswa dan rakyat. Mula-mula hanya demonstrasi kecil tak lebih dari dua puluh orang. Tetapi lambat laun berkembang menjadi demonstrasi besar. Tak hanya di ibu kota, tapi juga di banyak daerah.
Saat itulah apa yang kami khawatirkan sejak awal betul-betul terjadi. Beberapa kawan aktivis raib. Kabarnya diculik oleh intelijen….
/9/ Cerita Edison Lee, aktivis HAM
Malam itu aku “dijemput” intelijen, sekitar Maret dua tahun lalu. Aku sudah menduga, lambat atau cepat aku akan “dijemput”, karena kawan-kawan yang lain sudah ditangkap. Aku dibawa ke suatu tempat, yang sampai sekarang tak kuketahui di mana.
Aku ditempatkan di sel bersama dua kawan yang lain. Sejak “dijemput” dan selama di tempat itu, mataku terus dibebat kain. Aku mengenali kedua kawan itu dari suara mereka, dan aku tahu kalau aku ditempatkan di sel dari suara pintu besi dan gerendel besi.
Di tempat itu aku berulang kali disiksa. Aku diikat di selembar papan yang bisa diputar-putar, setengah telanjang. Petugas yang menginterogasi terus menanyakan Rafael. “Kamu kenal Rafael? Di mana dia sekarang?” Atau “Kamu kenal Rafael? Sejauh mana kamu kenal dia?” Atau pertanyaan “Di mana Rafael? Rafael yang membuat pamflet-pamflet itu?”
Ketika aku tak menjawab, atau mengatakan tidak tahu, pukulan-pukulan diarahkan ke perutku. Aku memang tidak tahu. Kami terakhir bertemu pada bulan Desember. Jadi tiga bulan sebelum aku ditangkap—diculik tepatnya. Itu pun kami hanya berpapasan di pekarangan rumah singgah itu. Tapi dari situ aku tahu, Rafael masih dicari. Atau setidaknya, sampai saat itu dia belum diculik atau tidak tertangkap. Dua kawan di sel juga dihujani pertanyaan yang sama.
Sampai kami dibebaskan, setelah rezim berganti, aku tidak bertemu Rafael.
/10/ Cerita Jaap de Vrij, kepala kantor berita
Hari itu Rafael menelepon. Kalau tidak salah, sekitar November tiga tahun yang lalu. Dia ingin bertemu. Hanya bertemu saja, katanya. Mengingat statusnya sebagai orang yang dicari-cari pemerintah, aku mengusulkan kami bertemu di kantor. Kantor berita ini dirasa lebih aman, karena banyak orang keluar-masuk.
Selama menjadi pelarian, beberapa kali Rafael mengirim tulisan—yang lalu diterjemahkan dan disiarkan di luar negeri.
Kami bertemu pada hari itu, dan beberapa kali sesudahnya. Kami membicarakan banyak hal. Aku tak ingat lagi satu per satu. Kami antara lain bertukar informasi tentang situasi di ibu kota, kekacauan di banyak daerah, perekonomian yang sedang runtuh, dan rezim yang tampaknya akan berkuasa lagi. Tak sekali pun dia menyinggung dirinya. Dia tampak tenang. Hanya tubuhnya lebih kurus dan hitam. Ketika aku bertanya, apakah dia merasa dikejar-kejar atau diancam seseorang, dia menjawab, “Aku baik-baik saja.”
Pertemuan terakhir kami adalah pada Januari dua tahun lalu. Setelah itu aku bahkan tak mendengar kabar apa pun tentang Rafael. Lalu, pada bulan Februari, dua bom meledak di ibu kota. Partai Independiente dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab, bahkan dilabeli teroris. Sejak itu banyak yang ditangkap. Bahkan para aktivis, yang tak punya kaitan dengan Partai Independiente, raib satu per satu. Baru belakangan aku tahu bahwa mereka diculik. Waktu itu aku mulai mengkhawatirkan Rafael. Aku sempat mencari tahu, namun dari sekian banyak orang yang kutanyai—juga kawan-kawan Partai yang masih bebas—tidak ada yang tahu keberadaannya.
Lalu, kita tahu, kerusuhan besar itu telah meruntuhkan rezim berkuasa. Presiden, yang baru menjabat dua bulan, mengundurkan diri. Wakil Presiden lalu menjabat Presiden, sambil menunggu pemilihan umum yang dipercepat. Banyak aktivis, yang sebelumnya raib, bermunculan. Tapi tetap tak ada kabar tentang Rafael. Sekali lagi aku bertanya pada kawan-kawan Partai. Mereka juga belum tahu, tapi seorang di antaranya berkata bisa jadi Rafael masih bersembunyi. Sejak banyak aktivis diculik, Komite Pimpinan cenderung merahasiakan keberadaan seorang anggota. Selain itu, Komite Pimpinan belum merasa aman, karena rezim waktu itu adalah perpanjangan tangan rezim terdahulu.
Satu setengah tahun berlalu sejak kerusuhan besar itu. Selama itu tak sekali pun aku mendapat kabar tentang Rafael. Dia juga tak menelepon, dan ini benar-benar di luar kebiasaannya. Apalagi jika diingat, semasa menjadi pelarian, dia masih menelepon dan menemuiku di kantor. Seharusnya tak ada yang perlu dikhawatirkan saat ini. Untuk kesekian kalinya, aku menanyakan pada kawan-kawan Partai. Mereka menjawab, Rafael pasti sudah pulang dan sekarang bersama keluarganya. Lalu aku menelepon Simone, istri Rafael. Dia menjawab, justru dia mengira Rafael masih bersembunyi di bawah perlindungan Partai.
Saat itulah aku sadar, sesuatu telah terjadi pada Rafael…. ***
.
.
Wendoko menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya, Gerimis di Kuta, terbit pada 2018.
.
Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib. Setelah Rafael Moreno Raib.
Leave a Reply