Cerpen AS Laksana (Koran Tempo, 01 Juni 2008)
FAKTA pertama, gadis itu cantik dan itu membuat Alit kikuk dan itu membuatnya tiba-tiba menyadari betapa pentingnya bakat. Fakta berikutnya, para penjual motivasi selalu mengatakan kepadamu bahwa untuk menjadi ini dan itu kau tidak memerlukan bakat. Alit pernah meyakininya ketika ia memutuskan belajar sulap, tetapi belakangan ia tidak terlalu percaya pada bujukan itu. Ia kembali yakin pada bakat. “Jika bakatmu adalah pawang kera,” katanya, “kau pasti akan lebih beruntung menjadi pawang kera ketimbang memaksakan diri menjadi penulis atau menjadi tukang ketik. Dan jika kau mengembangkan diri menurut bakatmu, suatu saat kau bahkan bisa meningkatkan diri menjadi pawang gorila.”
Gadis itu sedikit kusam, mungkin karena pakaian yang dikenakannya sudah lapuk dan warnanya pudar, mungkin karena rambutnya awut-awutan belum dikeramas, atau mungkin ia memang tidak terlalu peduli pada penampilan—usianya baru tiga belas. Alit merasa tak ada masalah dengan penampilan gadis itu dan ia yakin bahwa matanya masih awas untuk membedakan antara cantik dan tidak. Seorang gadis cantik akan tetap membuat matamu terpaku sekalipun pada waktu itu ia mengenakan pakaian yang belum dicuci tiga hari atau ia belum mengeramas rambutnya dalam sebulan terakhir. Dan jika kau merasa kikuk tanpa sebab pada pertemuan pertama, itulah barangkali yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama. Alit berusia 24 tahun dan sebenarnya sudah beberapa kali kikuk.
Kecantikan gadis itu bertahan di pelupuk mata Alit hingga bertahun-tahun kemudian dan Alit yakin bahwa kecantikan, seperti halnya bakat, adalah anugerah Tuhan. Berkat kehadiran gadis itu, Alit mulai sadar bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki bakat menjadi tukang sulap. Alasannya sepele, seorang tukang sulap berbakat mestinya tidak akan bertingkah kikuk ketika menyadari ada gadis cantik sedikit kusam di tengah orang-orang yang menonton atraksinya.
Ternyata ia lebih berbakat menjadi pawang hujan dan ia baru tahu itu setelah enam tahun menyulap dan berkali-kali gagal menghibur anak-anak dengan permainan sulapnya. Di antara enam tahun menyulap, ia pernah membadut dan mendapati siksaan paling menggiriskan ketika membanyol di markas tentara. Selama pertunjukan, yang berlangsung satu jam namun terasa seperti bertahun-tahun, para prajurit terus memasang tampang kaku seperti ketika mereka sedang berbaris. Kurasa Alit akan sangat berterima kasih seandainya saat itu ada tentara yang mendadak gila dan menembaknya tepat di jantung. Namun itu tak terjadi dan ia harus terus membadut, melewati menit-menit terberat dalam hidupnya, tanpa ditertawai. Di puncak kesengsaraan, ketika ia membungkukkan badan mengakhiri badutannya, sang komandan bertepuk tangan dan setelah itu barulah para prajurit berpangkat rendah ikut bertepuk tangan.
Demikianlah, tanpa bakat yang memadai ia kembali menyulap, sampai ia disadarkan oleh kehadiran gadis kusam yang membuatnya kikuk. Seminggu sesudah kejadian itu ia berhenti menyulap dan pada hari kedelapan ia merasa terdorong menjadi pawang hujan. Dorongan itu mula-mula muncul ketika ia menyaksikan seorang pawang hujan bekerja pada pesta pernikahan tetangganya dan keesokan harinya ia merasakan dorongan itu menguat.
“Aku ingin belajar mengusir hujan padamu,” kata Alit ketika ia datang menemui pawang itu di rumahnya.
“Tidak sulit jika kau punya bakat,” kata orang tua itu, suaranya menyusup dari celah gusi-gusi yang sudah gundul.
“Aku tak tahu bakatku,” kata Alit.
Lelaki itu menatap anak muda di depannya, seperti memeriksa susunan tulang belulang rangkanya.
“Tampaknya kau punya bakat,” katanya.
Alit percaya pada kata-katanya: ia pawang sakti dan, kau tahu, tampangnya seperti setan.
.
BAHKAN sebelum orang itu menurunkan ilmunya, Alit sudah membayangkan dirinya mengendalikan awan-awan di langit, memanggil atau mengusirnya atau menjadikannya payung yang melindunginya dari panas matahari. Saat memikirkan itu, tiba-tiba ia merasa sayang untuk melepaskan keahliannya sebagai tukang sulap sekalipun ia nanti sudah mewarisi ilmu si pawang hujan. Ia merasa bahwa atraksi mengendalikan awan-awan di langit akan menjadi pertunjukan luar ruang yang ampuh. Ia akan membuat awan-awan saling cakar seperti anak-anak kucing atau melenggok selucu banci. Dan mestinya tak sulit-sulit amat bagi pesulap ampuh untuk memikat gadis cantik berpenampilan kusam.
Namun, seperti mampu memergoki pikiran Alit, si pawang mengingatkan bahwa seorang pawang hujan pantang mempermainkan awan, apalagi untuk tujuan-tujuan atraksi. Peringatan itu membuat Alit memperbaiki silanya dan menunduk. “Aku hanya ingin sesekali dipayungi awan,” katanya.
“Kalau begitu kau pulang saja,” kata si pawang.
Alit tetap menunduk dan tidak pulang. Si tua meninggalkannya, menoleh ke arah Alit ketika ia berada di pintu kamarnya. “Hanya nabi yang berjalan dipayungi awan,” katanya. “Jika kau melakukan hal itu, orang-orang akan menganggapmu nabi palsu.”
Ia masuk kamar dan tak keluar-keluar.
Keesokan harinya Alit datang lagi ke rumah orang itu dan mengatakan bahwa ia siap melupakan atraksi sulapnya. Mungkin susah menduga apakah Alit berbohong atau tidak dengan pernyataannya. Tetapi pawang tua itu menerimanya dan tujuh bulan kemudian, ketika si tua sekarat di tempat tidurnya, Alit untuk pertama kalinya bekerja mengusir hujan.
Penampilan pertamanya berjalan sempurna meski ia masih tersendat-sendat merapalkan mantra. Beberapa minggu kemudian ia lebih tersendat-sendat karena matanya menemukan lagi si cantik yang awut-awutan di antara orang-orang yang mengerumuninya. Ia hampir merasa tidak berbakat lagi, tetapi pada penampilan ketiga dan seterusnya ia lancar sekali merapalkan mantra dan menunjukkan bakat cemerlangnya mengusir hujan. Si tua benar tentang bakat Alit dan ia mati seminggu setelah muridnya melakukan pekerjaan keempat. Maka penampilan kelima Alit adalah bertarung menghadapi awan-awan yang datang menyesaki pemakaman gurunya. Kau tahu, mereka seperti kaum usiran yang kembali untuk merayakan kematian orang yang selama hidup telah mencampakkan mereka. Pertarungan berlangsung alot dan Alit akhirnya mampu mengusir barisan awan yang datang untuk membenamkan jenazah si pawang tua.
Mewarisi ilmu si tua, Alit menapaki tujuh tahun perjalanan cemerlangnya sebagai pawang hujan. Lalu gadis kusam itu, yang kini sudah matang, kembali membuatnya payah. Alit sudah hampir 32 saat itu dan pada hari Sabtu sore ia melihat si gadis, usianya sudah hampir 21, tampak seperti bidadari yang dijatuhi kutukan. Kau tahu, gadis itu menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak pantas untuk dibilang jodohnya, seorang duda tua, dan Alit diminta mengusir hujan pada pesta pernikahan mereka. Alit merapalkan mantra dengan rahang kaku dan tenggorokan panas—mungkin saat itu ia tampak sangat memalukan.
Ia ingin sekali mendatangkan hujan deras semalaman untuk menggagalkan pesta pernikahan gadis itu. Tentu saja ia tidak melakukannya; itu akan menyalahi sumpahnya sebagai pawang hujan dan itu bukan tindakan terpuji. Tetapi apa ada gunanya mempertahankan sumpah dan tindakan terpuji jika gadis itu jatuh ke tangan duda tua?
.
UNTUK pertama kali selama menjalani kepawangan, ia merasa Tuhan telah memberinya bakat yang keliru, atau bakat yang tak ada gunanya. Dengan bakat cemerlangnya menghalau awan-awan, ia toh tidak mampu memikat gadis yang membuatnya kikuk sejak pandangan pertama. Padahal, ia merasa sudah begitu dekat dengan gadis itu.
Dalam empat tahun terakhir mereka memang selalu bersama dan gadis itu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepadanya. Tiga tahun setelah Alit berhenti menyulap, kau tahu, gadis itulah yang kemudian naik panggung; ia mengubah dirinya saat itu juga menjadi bidadari yang luwes memainkan pelbagai tipuan sulap. O, ia benar-benar pandai menipu dan ia selalu mengenakan pakaian yang tampaknya kekecilan. Para lelaki menyukai tipuannya dan tertantang oleh pakaian yang dikenakannya. Dan Alit, dengan penuh kasih kepada si gadis, mengusir hujan setiap kali gadis itu naik panggung. “Terima kasih, ya,” kata gadis itu suatu kali ketika ia selesai manggung. Alit menjawab, “Sama-sama,” dan memantapkan tekadnya untuk selalu menjaga panggung gadis itu dari serbuan hujan.
“Dulu aku terpukau pada permainanmu,” kata gadis itu.
“Aku tidak berbakat,” kata Alit.
“Kau pesulap yang hebat,” kata gadis itu. “Aku merasa kehilangan ketika kau menjadi pawang hujan. Karena itu aku lantas berlatih; aku harus memainkannya sendiri sebab tak mungkin lagi melihat sulapmu.”
Lihatlah, gadis itu memiliki segala kualitas terbaik sebagai perempuan: ia cantik, ia santun, dan ia tahu cara berbohong yang baik. Alit tidak terlalu percaya pada apa yang diucapkannya, tetapi ia senang mendengarnya.
“Kau lebih berbakat menyulap dan aku lebih cocok seperti sekarang,” kata Alit. “Aku senang jika bisa melindungi panggungmu dari guyuran hujan.”
Alit pernah diam-diam mengutuk dirinya sendiri karena panggung gadis itu ambruk pada penampilan pertamanya. Penampilan itu sekaligus menjadi pengalaman paling menyedihkan yang pernah dialami oleh gadis itu di atas panggung. Hujan turun begitu deras dan anginnya kencang dan Alit berjarak seratus kilometer lebih dari panggung itu. Sebatang pohon besar roboh menimpa panggung. Gadis itu meloncat dan jatuh dan tak bisa menyulap beberapa waktu karena tangannya terkilir.
“Maafkan aku tidak mendampingimu,” katanya dalam hati ketika ia melihat gadis itu melintas di kejauhan beberapa hari setelah kejadian. “Lain kali aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
Dan Alit menepati ucapannya. Bahkan pada hari-hari kalutnya ketika ia melihat gadis itu mulai sering didekati oleh si duda tua, Alit tak pernah meninggalkannya. Ia tidak menyukai lelaki itu—orang-orang mengatakan bahwa dia seorang politisi, menurut Alit dia hanyalah bandot. Dan keduanya, baik politisi maupun bandot, sangatlah mudah jatuh cinta, namun Alit tidak percaya bahwa bidadarinya akan jatuh cinta pada bandot tua yang mendekatinya. Ia terus mempercayai gadis itu sampai kepercayaan itu akhirnya berubah menjadi rasa tegang di tengkuk ketika gadis itu mulai makin sering jalan dengan si duda.
.
SUNGGUH Tuhan telah memberinya bakat yang tidak berguna, bakat yang tak mampu menarik hati gadis pujaannya, bakat yang tak mampu menyelamatkan gadis itu dari pesona si bandot. Sungguh Tuhan telah membuat keputusan yang keliru karena menjodohkan gadis pujaannya dengan bandot itu. Maka, tak ada jalan lain, Tuhan dan keputusan-Nya yang keliru harus dilawan.
Tuhan telah menyakitinya dalam urusan perjodohan, maka Alit memutuskan bertarung dengan Tuhan di wilayah lain yang Dia merasa paling berkuasa—soal kematian. Ia bersumpah tak akan pernah membiarkan kematiannya menjadi urusan Tuhan; ia hanya mau mati karena ia sendiri yang menghendaki kematiannya. Karena itu pada suatu malam ia terjun dari jembatan, menenggelamkan diri di sungai keruh. Dan ia tidak mati.
Pasti ada yang tak beres dalam pertarungan ini. Alit yakin bahwa ia mestinya sudah mati malam itu—artinya ia yang menang—tetapi Tuhan telah bertindak curang dengan cara mengirimkan malaikat berupa pengemis untuk menggagalkan upayanya. Pertarungan berakhir remis. Ia tidak mati oleh kehendaknya sendiri dan Tuhan pun tidak mengambil nyawanya setelah menggagalkan upayanya membunuh diri sendiri.
Setelah pertarungan yang remis itu, Alit tidak pernah lagi berniat mencabut nyawa sendiri. Dua hari ia dirawat oleh si pengemis. Pada hari ketiga ia meninggalkan sang utusan itu dan berjalan sepanjang sungai ke arah hulu dan di sebuah dataran tinggi ia merencanakan lagi pertarungan berikutnya.
Dulu Tuhan pernah menurunkan hujan 40 hari dan mengirimkan banjir yang menenggelamkan pucuk gunung. Ia yakin bisa menumbangkan rekor itu dengan menurunkan hujan 41 hari, tetapi ia tidak ingin melakukan itu. Cukup baginya menurunkan hujan lebat dua hari di hulu sungai dan banjir akan menyapu kolong jembatan dan menyeret pengemis utusan Tuhan ke lautan. Cukup pula baginya jika banjir itu menghajar bandot tua dan gadis pesulap yang sedang berbulan madu. Keduanya memang bukan utusan Tuhan, tetapi pernikahan mereka adalah kekeliruan. Dan, menurutnya, keputusan yang keliru tak pantas dibiarkan.
Maka ia memilih tengah malam untuk merapalkan mantranya. Tetapi ia tertidur sebelum tengah malam dan pagi harinya aku hanya menemukan diriku sendiri di hulu sungai. Padahal aku sangat menyetujui rencananya, dan kurasa tak akan sulit baginya untuk menghidangkan mayat tiga orang itu kepada ikan-ikan kecil dan mengirimkan nyawa mereka kepada Tuhan.
“Biar Tuhan dan ikan-ikan tahu bahwa aku tidak menyukai keputusan yang keliru dan pertarungan yang curang,” katanya sebelum tidur.
Aku turun dari hulu sungai pada siang hari dan tak pernah menemukan Alit hingga sekarang. Aku sendiri, kau tahu, hanyalah tukang sulap yang tidak berbakat dan tak menguasai tipuan untuk menurunkan hujan. Kini aku masih menunggu kedatangannya. Bagaimanapun, aku tetap ingin melihat ia menghanyutkan pengemis utusan Tuhan dan politisi bandot maupun gadis pesulap yang bukan utusan Tuhan. ***
.
.
AS Laksana tinggal di Jakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bidadari yang Mengembara (2004).
.
Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis. Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis. Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis. Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis. Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis.
Leave a Reply