Cerpen, Kompas, Kurnia JR

Lima Menit Biola di Kelas Matematika

Lima Menit Biola di Kelas Matematika - Cerpen Kurnia JR

Lima Menit Biola di Kelas Matematika ilustrasi Hari Budiono/Kompas

3.8
(12)

Cerpen Kurnia JR (Kompas, 26 Februari 2023)

KADANG-KADANG, untuk mengobati kejenuhan kelas di tengah jam pelajaran, sejenak kukeluarkan dan kumainkan biola. Kugesek tak lebih dari lima menit untuk para siswaku. Ketika pertama kali aku beraksi, mereka terheran-heran, mau apa guru baru ini? Ia bukan guru musik, apa mau bikin onar di kelas? Tampak pada wajah para remaja itu seakan-akan mereka kasak-kusuk demikian. Kumainkan lagu kanak-kanak yang tenang, Layang-layang. Mereka menyimak permainanku dan lambat-laun ketegangan pada wajah mereka tampak mengendur. Pelajaran geometri dilanjutkan.

Tak lebih dari lima menit. Biola kusimpan kembali dan berkata, “Oke, kita lanjut belajar.” Ada yang tersenyum lega, sebagian setengah berteriak minta satu lagu lagi, ada yang bertepuk tangan. Setelah itu kelas hening kembali. Hanya suaraku yang terdengar atau siswa yang bertanya dan menjawab pertanyaanku.

Lama-kelamaan kebiasaanku menjadi lazim di kelasku. Mereka mengerti kenapa aku memainkan biola di tengah-tengah jam pelajaran. Ada yang iseng minta lagu tertentu, dan itu biasanya lagu pop percintaan, tapi tak pernah kupenuhi. Selalu hanya kupilih lagu kanak-kanak yang mengalun tenang. Lagu kanak-kanak masa kecilku yang bersenandung tentang desa, sawah, bukit, gunung, laut, petani, pedati, kereta api, dan dunia bermain yang tenteram. Lagu-lagu yang tidak diajarkan oleh guru-guru sekolah dasar masa kini.

Pernah Kepala Sekolah memanggil aku ke ruangannya. Ia mempersoalkan aksiku. “Saya dengar Anda memainkan biola pada jam pelajaran. Itu melanggar disiplin. Kenapa Anda lakukan itu?”

Aku tak lekas menjawab. Aku tak ingin hal ini berkepanjangan dan jadi bahasan yang tak efektif. Setelah berpikir sejenak seraya menatap jendela di sisi kanan sang kepala sekolah, kujelaskan dengan datar bahwa aku hanya ingin mengendurkan ketegangan ketika rumus-rumus matematika mulai membuat mental siswa penat lalu apatis.

“Hm, baiklah, tapi saya harap tak sampai bikin kegaduhan yang tidak semestinya.”

“Saya jamin tidak, Pak.”

Tentu saja, aku memainkan biola dengan hati-hati agar suaranya tidak mencelat ke luar kelas atau memancing keriuhan yang tidak diinginkan. Cukup satu lagu, tak lebih. Sambil menggesek biola kusinggahi satu demi satu wajah para siswa dengan tatapan mata menyapa. Tanpa kukehendaki hatiku jatuh pada seorang siswi paling pendiam di kelas, yang terus-menerus menatap aku namun tak pernah menunjukkan sikap aktif dalam kegiatan belajar. Tatkala aku menerangkan pelajaran di muka papan tulis, ia mendongak dan menunduk untuk mencatat, sama sekali tidak bicara atau bertanya. Wajahnya bulat telur, dagunya belah. Matanya seperti menyembunyikan duka. Anak rambut di keningnya, entah kenapa, membuat aku berpikir tentang sapuan kuas terakhir di dalam lukisan tinta cina yang menyempurnakan keindahannya. Parasnya seakan-akan perpaduan darah Melayu dan oriental.

Baca juga  Kota Ini adalah Sumur

Aku tidak pernah bicara tentang musik di kelasku. Juga, tidak pernah dengan gegabah membuka percakapan dengan, misalnya, bertanya: “Siapa bisa memainkan biola atau gitar?” Dengan penuh kesadaran tetap kujaga disiplin kelas sebagai guru matematika.

Suatu hari Rien absen. Bangkunya kosong. Saat itulah aku sadar bahwa ada harapan tersembunyi di hatiku untuk selalu melihat kehadirannya, terutama ketika aku menggesek biola seraya melihat gerumbul semak berbunga ungu di luar jendela kelas—ia duduk dekat jendela itu. Kutemui dunia kanak-kanakku di sana. Ada yang terkenang di sekolah dasar. Seakan-akan sosoknya adalah Rien yang datang lebih awal sekian tahun dengan rambut yang senantiasa dikepang dua; kerap tertawa kecil manakala sedang bermain pada jam istirahat. Sebelum tahun kelulusan ia mendadak pindah ke provinsi yang jauh. Kala itu, untuk pertama kalinya aku mengecap rasa hampa.

Surat keterangan dokter itu ada di meja. Hanya disebutkan kesehatannya terganggu. Untunglah, hanya satu hari. Esoknya Rien sudah bersekolah lagi, namun hari itu tak ada mata pelajaranku di kelasnya. Aku lihat sekilas ia dari kelas tempat aku mengajar, sedang berjalan di koridor gedung. Dengan malu kusadari ada senyuman kecil di dalam diriku.

Pada suatu hari kepala sekolah memanggil aku dan mempersoalkan lagi kebiasaanku menggesek biola di kelas matematika.

“Sebaiknya Anda hentikan kegiatan apa pun yang tidak berhubungan dengan tugas pokok Anda di kelas. Saya tidak mau dengar lagi keluhan yang tak perlu. Jagalah tata tertib sekolah ini.”

Tampaknya ada masalah baru, namun aku tak mengerti persoalannya.

“Maaf, Pak, kegiatan apa yang Anda maksud?”

“Anda mengajar apa di sini?”

“Matematika.”

“Nah, fokuslah pada pelajaran itu. Kami ada guru musik khusus bagi mata pelajaran pilihan.”

“Jadi, maksud Anda….”

“Ya. Berhentilah bermain biola di kelas. Itu melanggar disiplin kelas. Saya tak ingin ada keluhan lagi. Paham?”

Ia tak mengungkap siapa yang mengadukan keluhan. Hanya disebutkan bahwa para siswa justru sukar berkonsentrasi dengan “intermezzo yang tidak pada tempatnya”. Maka, aku pun tidak lagi membawa biola ke sekolah. Pada suatu sore, dalam perjalanan pulang sepeda motorku dihadang beberapa anak lelaki berseragam pelajar, namun tak satu pun yang aku kenal di antara mereka.

Baca juga  Wayang Kardus

“Ini orangnya?”

“Betul, dia orangnya!”

Sebelum aku menanyakan apa masalahnya, mereka sudah menyerang dengan brutal. Seseorang yang membawa pipa besi menghancurkan knalpot dan lampu-lampu sepeda motorku. Lenganku juga kena hajar pipa itu saat kugunakan melindungi pelipis. Untuk sesaat rasanya seperti lumpuh dengan sensasi kebas yang sakit sekali.

“Mana biolanya?”

Anak kerempeng tinggi dengan beringas mengaduk-aduk isi tasku.

“Tidak ada, Bro! Sial!”

“Kurang ajar! Pukul lagi!”

Daguku disepak seperti bola. Seketika mataku gelap. Saat itulah serentak mereka tiba-tiba bubar dan kudengar suara bariton dan keras beberapa orang datang menghardik. Anak-anak tanggung bergajulan itu lintang-pukang ke segala arah. Penglihatanku merah-kuning dan buram. Aku lihat seorang polisi. Aku dibawa ke rumah sakit dan harus diopname dua hari. Setelah aku menelepon pihak sekolah guna memohon izin cuti sakit, rekan-rekan pengajar membesuk. Tampak Vindia bersama mereka. Ketika semuanya bertanya seputar insiden, ia diam saja, memperhatikan satu demi satu luka pada tubuhku.

Aku bicara dengan susah payah, sedapat mungkin menuturkan kronologi kejadian. Hanya saja, tidak kuceritakan bahwa mereka mengincar biolaku. Aku sendiri tak tahu kenapa kusembunyikan hal motif ini dari mereka dan juga dari polisi yang menginterogasi. Mereka mengangguk-angguk dan saling mencetuskan analisis masing-masing tentang motif para pelaku. Sementara itu, Vindia hanya memandang wajahku, dan manakala tatapanku terarah ke wajahnya, dia membalas dengan senyum. Begitu terus sampai para guru, termasuk kepala sekolah, tampak puas karena merasa sudah mengetahui secara lengkap kejadian perkara dan dengan bebas merangkai motifnya.

Kemudian mereka berpamitan. Satu per satu menyalami aku, yang terakhir Vindia. Ia genggam tanganku dengan tatapan dalam. Senyumannya trenyuh. Guru sejarah ini memiliki paras laksana laut yang tenang dan teduh. Riak ombak yang ramah selalu tampak di matanya. Ia mungkin tidak “bening” menurut istilah kaum pemuja bintang pop Korea Selatan yang beranggapan kulit putih sempurna merupakan puncak kecantikan, namun kupikir inilah paras gadis Melayu yang nyaris sempurna dengan kulit sawo matang lembut mulus dan sepasang mata yang seolah-olah memiliki kilasan kebijaksanaan Dewi Prajnaparamita.

“Vin, ayo bareng aku lagi!” colek Ayu, guru akuntansi.

“Iya sebentar.”

“Aku tunggu di parkiran ya.”

“Ya.”

Lagi-lagi, ia tersenyum. Tanpa buang waktu dia bertanya lembut, “Biolanya bagaimana, Pak?”

Aku terkesima, namun terlalu lemah untuk bereaksi secara motoris. Sambil tersenyum kaku aku berkata, “Hanya Bu Vindia yang menanyakan biola itu, padahal orang-orang hanya menyesalkan sepeda motor yang hancur.”

“Hm, saya hanya penasaran—maksud saya, saya hanya berpikir tentang biola itu ketika mereka menghancurkan motor.”

Baca juga  Musim Kematian

“Biola itu aman sebab memang tidak saya bawa.”

“Oh, syukurlah. Biola itu pasti sangat berharga buat Bapak.”

“Panggil nama saja, Bu, saya belum pantas dipanggil Bapak.”

Sekejap matanya berkilat dengan air muka seperti merajuk. Pipinya merona merah, tetapi dengan luwes ia menutupi kegugupannya dengan tersenyum. Senyuman yang tampak bijak menegur aku sebab memantulkan protes serupa atas panggilan “Bu”. Mungkin pipinya panas saat mengangguk dengan kikuk, sebab aku merasakan hal yang sama. Aku hanya beruntung ada di posisi berbaring tak berdaya dan boleh memasrahkan seluruh kegugupan ke kasur rumah sakit yang keras.

“Oh, iya, hm, saya pamit dulu, ya—ditunggu Ayu.”

“Oh, iya, iya. Terima kasih.”

Ia pun berbalik tanpa sempat tersenyum lagi. Gerakannya canggung namun tetap luwes. Entah kenapa aku menangkap keindahan dalam momen serba salah ini. Tak ingin rasa indah itu pudar dengan lekas, beberapa menit sebelum perawat datang ingin kumainkan biola di ruang batinku. Lagu masa sekolah dasar tentang pelaut. Dalam lagu itu seakan-akan kupandang pantai berpasir putih dan kapal layar, dan seorang gadis kecil yang selalu dijemput ayahnya begitu bel berbunyi! Entah ke provinsi mana keluarga itu pindah. Kemudian kulihat kembang-kembang ungu di luar jendela dan Rien yang duduk tenang di kursinya, kadang memandang aku, kadang menunduk ke buku di meja. ***

.

.

31 Desember 2022

Kurnia JR, lahir di Tangerang, Banten, dan bekerja di bidang penerbitan buku. Banyak menulis cerpen, kritik novel, kritik puisi, sketsa, dan novel. Karyanya antara lain Grafiti di Tembok Istana, sebuah novel tentang Cina Benteng. Ia juga kerap mengisi rubrik “Bahasa” di harian Kompas.

Hari Budiono, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tahun 1985. Terlibat dalam pergerakan seni rupa di Yogyakarta tahun 1979 di Senisono bersama Kelompok Seni Kepribadian Apa (Pipa). Pernah menjadi wartawan majalah Jakarta-Jakarta di Jakarta dan Redaktur Foto Harian Bernas, Yogyakarta. Kini menjadi Redaktur Artistik Majalah Budaya Basis di Yogyakarta. Menjadi kurator Bentara Budaya, lembaga kebudayaan Kelompok Kompas-Gramedia, kurun antara 1982 dan 2020.

.
Lima Menit Biola di Kelas Matematika. Lima Menit Biola di Kelas Matematika. Lima Menit Biola di Kelas Matematika.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 12

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Haaaan

    Ngeri ini cerpen. Salam untuk penulis, sering2 ya nulis di Kompas.

Leave a Reply

error: Content is protected !!