Cerpen Darman Moenir (Republika, 06 April 1997)
DARI M kami melarikan diri ke PB, kota yang sesungguhnya tak aneh bagiku. Celaka! Di sana aku jumpa orang kedua di sebuah kantor wilayah departemen. Laki-laki itu pernah jadi tokoh dan sekaligus idolaku dalam bercinta. Laki-laki itu bersungguh-sungguh. Ia pernah melamarku. Lamaran itu bukan ditolak orangtuaku, tetapi ditangguhkan.
Ya, ketika itu aku baru duduk di kelas dua SMP. Aku diminta menyelesaikan sekolah. Rupanya laki-laki itu tak sanggup menunggu. Andai ayah-ibuku menerima pinangannya?
Suatu hari, dulu ketika aku dalam perjalanan dari rumah Kepala Desa, seseorang memanggilku. Aku menoleh dan menunggu. Rupanya ia insinyur pertanian. Pada liburan semester ia pulang ke desa. Aku bertemu dengannya dalam statusnya sebagai penyuluh pertanian. Jelas, aku senang dan tertarik kepadanya. Kejadian ini diketahui ibuku. Ibu marah-marah. Kata ibu, belum masanya aku berkeluarga. Aku tak mengerti.
Namun, dibanding dengan yang kudapatkan sekarang? Aku kawin dengan suami yang sekarang, ketika aku baru tamat SPG.
***
Ibuku lugu, polos dan jujur. Namun, ia tak lupa tauhid. Menggoreng ikan di kuali ia mulai dengan basmalah. Sebelum tidur ia berzikir dan membaca ayat-ayat pendek.
Pahaku pernah dicubit ibu, membiru. Soalnya aku terlanjur pamer paha. Kata ibu, itu tak baik. Paha perempuan, katanya, mengundang nafsu birahi laki-laki normal. Siapa pun laki-laki itu! Aku pernah pula asyik pacaran. Melihat keintiman kami, ibuku merasa resah. Ibu khawatir kalau terjadi hal yang tak diingini. Untung kekhawatiran ibu hanya tinggal kekhawatiran.
Ayahku penjudi. Penghasilannya yang sedikit ia pertaruhkan di meja judi. Ia tak bisa berubah namun sikap terpuji ada padanya. Ia berupaya membiayai sekolah kami sehingga aku dan kakakku jadi pegawai negeri sipil golongan rendah.
Kemudian kami hidup terpisah. Bersama ayah, ibuku pergi ke provinsi R dan aku tetap di dusun kecil PP di provinsi SB.
Pada suatu malam aku bermimpi. Dalam mimpi itu ibuku hanyut dan terdampar di sebuah pulau. Susah bagiku memaknai mimpi itu. Tiba-tiba aku merindukan ibu. Aku tak mampu membendung air mataku. Tetapi kami saling berjauhan. Dan, pada detik itu pula sesungguhnya ibuku sakratulmaut.
***
Nasib mengantarkanku ke dunia lain. Eska-ku jadi guru keluar. Aku ditempatkan di dusun kecil—sunyi dan sepi, jauh dari gemerlap zaman. Kini eska itu di bank, digadaikan suamiku.
Tiga kali aku melahirkan anak. Dalam ramalan, aku akan melahirkan tiga anak lagi. Insya Allah. Bertarung menjalani proses kelahiran bayi-bayi itu, aku selalu ingat Yang Satu dan berdoa untu ibu. Hebatnya, mungkin karena itu, setiap melahirkan aku tak merasakan sakit luar biasa.
Melahirkan anak pertama, sekitar pukul delapan malam, seperti ada yang membelai keningku. Hatiku mengatakan, itu belaian tangan ibuku. Begitu pula anak kedua. Aku pendarahan ringan. Tak berbahaya, mungkin, tapi aku dibawa ke rumah sakit di kota. Di ruang bersalin, kemudian, pintu tertutup. Tapi seolah ada yang mendadak masuk. Manifestasi roh ibu? Seolah ada yang mengurut-urut pinggangku. Aku kesakitan, bayiku nongol. Demikian pula anak ke tiga. Ketika berada di ambang susah bagaikan ada kekuatan yang menarik bayiku untuk keluar dari rahimku.
Aku bisa dianggap berdusta, karena aku tak punya bukti dan saksi untuk kenyataan yang kualami. Namun secara personal demikianlah aku merasakan dan memaknai ibuku. Aku tak ingin membakar kuburnya dengan dosa-dosaku.
***
Pesta pernikahanku terlaksana mengikuti tradisi dengan menjalankan apa yang disebut uang hilang. Ini tuntutan adat, tak bisa dihindari. Uangku hilang cukup tinggi, senilai satu buah honda, uang kontan enam ratus ribu rupiah dan tiga puluh gram emas.
Dari semula aku mengatakan pada calon suamiku, permintaannya tak mungkin terkabulkan. Padahal eska itulah satu-satunya warisan ayah-ibuku. Kuambil uang di bank dan kuserahkan padanya, biarlah aku belum jadi istrinya.
Uang hilang harus tersedia. Atas bantuan seseorang aku membeli honda secara cicilan melalui bank di kota lain, tak jauh dari kota kecilku. Sedangkan pesta pernikahan dan uang enam ratus ribu serta emas itu ditanggung ayah, pamanku dan kaum kerabat. Habis pesta aku dibawa tinggal di rumah orangtua suamiku. Mulanya aku mengelak. Bukan tradisi kulturku menumpang di rumah ayah-ibu mertua.
Kemudian, celaka, nyaris setiap hari suamiku ngomel. Aku dikatakan tak mencuci baju ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Padahal ketika itu aku mulai hamil. Kepalaku sering pusing dan aku muntah-muntah. Melihat keadaan itu, menyaksikan aku tidak suka makan nasi selama tiga bulan, suamiku bukannya merasa iba. Aku malah dibentak agar menyiapkan makanan untuk seisi rumah. Hanya airmataku jawabannya.
Lamat-lamat perhiasanku ludes. Mulai dari gelang sampai ke anting-anting. Gajiku sedikit, dipotong bank. Penghasilan suamiku tak pernah kulihat, konon habis untuk orangtua dan saudara-saudaranya. Suamiku mengidap penyakit sejak ia berumur enam bulan. Secara tradisional penyakit itu dinamakan kuman gajah, sulit disembuhkan. Obat habis, penyakitnya kambuh. Setiap penyakitnya kambuh, ia tak bisa jalan.
Apakah ia memang sudah ditakdirkan untuk menjadi suamiku?
***
Ibu-mertuaku marah. Gara-gara aku membeli honda kredit untuk uang hilang. Aneh bin ajaib. Bukankah uang hilang itu disepakati bisa berbentuk sebuah honda baru? Pada akhirnya pulanglah aku ke rumah nenekku, karena di kampung ayah-ibuku tak punya rumah. Seluruh familiku marah. Begitu juga paman yang tahu kebodohanku. Aku benar-benar habis oleh suami dan ibu mertua.
Sebaiknya aku pisah dengan suami? Pikiranku panjang, dan semua tak kuhiraukan. Dan aku hamil lagi.
Di kantor, suamiku punya masalah. Aku tak tahu apa. Ia stres tak lagi menerima tunjangan jabatan. Dan aku pun melahirkan anak kedua.
Karena suamiku begitu tertekan, ia minta diri untuk istirahat ke kota M di provinsi SU. Ini terjadi setelah dua minggu aku melahirkan. Tak berapa lama setelah itu aku menyusul ke M. Padahal bayiku baru berusia empat puluh hari. Di sana kami menginap di rumah saudara ayahnya, H. Roji.
Suatu malam aku dipanggil Bang Roji, yang selama enam tahun pernah di Mekah. Ia memberiku nasihat. Menurutnya, suamiku kalut. Gara-gara uang dan beberapa gram emas lalu suamiku tak berbaik-baik dengan ayah-ibunya. Aku diminta mengganti secepatnya.
***
Feri Jelati Empat memasuki Selat Air Hitam menjelang subuh. Di ujung selat ini dari kejauhan terlihat kelompok putih orang-orang. Itulah Selat Panjang, kota kecil yang bersebelahan dengan negara tetangga. Aku datang, Mak, bersama tiga cucu dan menantumu, kataku dalam hati setelah menginjakkan kaki di pelabuhan.
Selat Panjang tak asing bagiku. Kedatanganku diharapkan kakakku. Sudah lama kami tak bertemu. Setelah kuceritakan semua kisah, kakakku jatuh iba. Sangat iba!
Kenapa saling menyakiti? Mengapa saling bermusuhan? Kenapa saling menjelekkan? Kenapa kita saling menganiaya? Teraniaya oleh adat, tradisi perkawinan yang memakai uang hilang? Teraniaya oleh mertua yang mengira pegawai negeri sipil bergaji tinggi? Teraniaya oleh suami karena aku adalah bak pinang sebatang? Artinya, aku tak punya lagi orang yang pantas disegani?
Aku membatin di pusara ibu. ***
.
.
Padang, 12 Januari 1997
Terima kasih buat Ny K.
.
Belaian Ibu. Belaian Ibu. Belaian Ibu. Belaian Ibu.
Leave a Reply