Cerpen Dino Rawan Putra (Haluan, 05 Maret 2023)
DI BAWAH pohon yang rimbun, tak jauh dari tepi peladangan para petani desa, sekelompok babi melepas masa tengah harinya dengan berleha-leha seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah semenjak berjuta-juta generasi sebelumnya; dan jika sudah tiba masanya seperti itu, maka anak-anak babi yang masih muda akan duduk melingkar mengelilingi seekor babi yang paling uzur untuk mendengarkan dua ratus kata petuah suci darinya tentang kehidupan sesudah mati dalam ajaran leluhur para babi.
Sedang tak jauh dari situ, dari tempat para babi muda tadi berkumpul, beberapa ekor babi dewasa masih terus saja sibuk mengendus-endus dan sesekali menggali tanah dengan moncongnya untuk mencari cacing atau apapun yang bisa mereka makan dari dalam tanah; dan beberapa dari mereka bahkan melakukan itu dengan tubuh tergolek sambil matanya setengah terpejam. Profesional sekali.
Dan beberapa ekor babi dewasa lainnya ada juga yang tengah berendam dalam sebuah kubangan yang tak begitu jauh dari tempat anak-anak babi tadi mendengarkan petuah; untuk menikmati betapa sejuknya lumpur nan membaluri tubuh mereka sambil tentu saja mulutnya terus berderik-derik mengunyah sesuatu yang terus dipompakan naik oleh perut mereka sendiri saat mereka beristirahat dan tak sedang dalam keadaan mencari makanan.
Lalu, di antara beberapa kelompok babi-babi tadi yang sudah disebutkan itu, masih terdapat tiga ekor babi lagi yang berusia tidak terlalu tua dan tidak bisa pula dikatakan muda yang memilih merebahkan tubuh mereka sedikit lebih jauh dari tempat kebanyakan kelompoknya tadi berkumpul; dan itu mereka lakukan oleh karena mereka bertiga itu kini tengah terlibat dalam satu pembicaraan yang serius sekaligus rahasia; sebuah pembicaraan yang ujung-ujungnya pasti tak pernah lepas dari nafsu purba yang tersembunyi dalam diri para babi.
Pembicaraan mereka kini itu adalah sebuah rapat tertutup yang hanya boleh didengar oleh mereka bertiga saja, yaitu tentang penyusunan rencana bagaimana tata cara penjarahan ladang para petani desa nanti.
Mereka bertiga adalah babi Ba, babi Bi, dan babi Bu. Dan yang paling akhir disebutkan tadi adalah babi yang paling cerdas di antara mereka bertiga, paling banyak akal dan paling pintar dalam merancang penjarahan.
Dan perbincangan mereka pun semakin lama juga semakin meruncing pada bagaimana cara yang paling aman bagi mereka bertiga untuk mengeksekusi ladang petani, dan juga mereka telah memutuskan bahwa malam nanti semuanya harus dilaksanakan; tak boleh tidak; tanpa boleh ada penundaan oleh sesuatu apapun, bahkan jika bumi ini kiamat sekalipun, tegas babi Bu kepada dua temannya itu.
“Semua isi ladang petani yang berada di ujung hutan itu harus segera secepatnya kita sikat. Tak boleh ada kata tunggu sebelum petani itu memanen ladangnya sendiri,” ucap babi Bu lagi pada kedua temannya itu dengan semangat yang berapi-api.
“Jadi, aku harap nanti malam, semua rencana kita kali ini mudah-mudahan semangkus dan sejitu rencana kita yang sebelum-sebelumnya, lalu kita pun bisa makan kenyang setiap hari, selama sebulan penuh, atau mungkin lebih,” tukas babi Ba kepada babi Bi sambil kepalanya mengangguk-angguk balam tanda mengerti. Berpaham sekali. Lalu mata keduanya pun berbinar-binar membayangkannya.
“Ya, mudah-mudahan rencana kita berhasil, tapi pastikan dulu teman kau itu bisa mengurus semuanya,” sela babi Bi kemudian sambil menatap penuh harap pada babi Bu.
“Ah, kau ini. Kalau masalah itu percayakan saja padaku,” jawab babi Bu lalu sambil membusungkan dadanya dan tersenyum pongah. “Zaman sekarang mana ada anjing yang patuh hanya kepada tuannya. Kau tahu sendiri kalau soal itu bukan? Zaman sekarang apa pun jenis anjingnya, yang loreng mau pun yang berwarna coklat tua itu, mereka hanya akan patuh pada ini!” tukas babi Bu sambil mengeluarkan sekerat tulang dari semak di sampingnya, lalu bibirnya pun kemudian tersenyum bengkok; hanya naik sebelah, sedang sebelah lainnya hanya datar seperti biasa, dan itu adalah senyum khas para babi saat mereka merasa bangga dengan diri mereka sendiri.
Lalu setelah itu babi Ba pun berdesir panjang sambil menunjuk-nunjuk dengan moncongnya ke arah sesepuh babi yang masih saja dikelilingi oleh anak-anak dari golongan mereka itu. Lalu kedua temannya babi Bu dan babi Bi pun menoleh kepada apa yang dimaksud oleh babi Ba tersebut, dan kemudian tiba-tiba saja suasana menjadi hening selama satu sampai dua detik. Lalu setelah itu, pecahlah tawa ketiganya keras-keras.
Dan setelah ketiganya merasa puas tertawa. Suasana sekali lagi menjadi hening sejenak, dan kemudian babi Bu pun berkata kepada kedua temannya itu.
“Si uzur itu!? Mana mengerti dia masalah seperti ini! Paling benar kurasa dia cuma tau mengoceh dan menasihati kita dengan segala kemampuan berbualnya yang pas-pasan itu agar kita jangan pernah mencuri sesuatu yang bukan hak kita dengan selalu bilang bahwa kita ini adalah ‘hewan naik’, hewan mulia, dan itu pun aku rasa paling benar hanya karena di umurnya yang sekarang tak lagi memungkinkan untuknya bisa mencuri, lalu, sekarang ia berceramah panjang lebar pada kita tentang kehidupan sesudah mati, tentang azab Tuhan dan neraka, dan lihatlah bagaimana ia selalu bilang pada kita bahwa bagi siapa yang dosanya melimpah, maka kelak saat mati nanti arwahnya tidak akan diterima di sisi Tuhan, dan kemudian akan dibuang dari sisi-Nya dan dikembalikan lagi ke bumi dengan bentuk sebagai manusia. Ah, laknat betul kebohongan si uzur itu!” rutuk babi Bu, lalu kemudian diiringi tawa keras-keras oleh kedua temannya.
Lalu, tanpa menunggu tawa kedua temannya mereda, babi Bu kemudian kembali melanjutkan lagi rutuknya yang penuh kekesalan itu.
“Jadi manusia. Heh. Yang benar saja! Lagian, siapa pula yang bakal percaya bahwa babi yang suka mencuri itu jika mati nanti bakal dilahirkan lagi jadi manusia. Mana mungkin kan!” ucapnya lagi sambil membetulkan posisi bola-bola di tengah selangkangannya yang terus dijangkau oleh seekor kumbang yang kebetulan lewat dari belakang pantatnya.
“Si uzur itu memang benar-benar parah! Terlalu mengada-ada! Mana mungkin kita para babi yang penuh dengan kemuliaan ini setelah mati nanti akan terlahir lagi menjadi manusia lemah yang penuh dengan kehinaan itu. Sumpah, benar-benar tak kan sudi aku jika nanti jadi mereka, jadi makhluk malang tapi sok paling kuasa itu; makhluk yang paling lemah di antara sekalian makhluk yang ada dalam semesta ini. Makhluk yang dengan kebodohan mereka sendiri kemudian merasa bangga setengah mati telah mendirikan negara lalu membayar tentara untuk menjaganya, membabat lahan kita hanya untuk menghasilkan uang, dan juga menemukan listrik hanya untuk membuat kulkas. Lalu setelah itu mereka kemudian bergantung bulat-bulat pada apa-apa yang telah mereka ciptakan tersebut. Benar-benar bodoh betul bukan? Dan satu lagi, si uzur itu, apakah setelah dia mati nanti akan jadi malaikat, heh? Lagian, anggaplah jika pun nanti dia memang benar, lalu kemudian kita menjadi manusia, aku rasa mungkin kita akan bisa sedikit bersenang-senang dengan gaya hidup manusia yang aneh itu. Dan yang pasti, jika nanti itu benar, barangkali nanti aku juga bakal membuat partai politik sebagaimana mereka, dengan lambang babi dengan taring putih mencuat keluar dari moncongnya, dan tentu saja nanti kau akan kucalonkan jadi presidennya,” kata babi Bu masih tersengal-sengal karena kehabisan nafas sebab mengucapkan kata-kata yang sedikit lebih panjang dari biasanya—sambil kemudian menunjuk pada moncong babi Ba.
Mendengar itu, kedua temannya pun tertawa terpingkal-pingkal sekali lagi. Lalu setelah itu, babi Bu yang masih tersengal kemudian menghadap ke babi Bi.
“Dan kau, kupastikan menjadi wakilnya!” ungkap babi Bu sambil menunjuk tepat di kening babi Bi dengan mimik wajah yang dibuat-buat seolah serius dan meyakinkan.
Kemudian, sekali lagi, tawa mereka bertiga pecah berderai-derai di antara semak-semak. Sedang pohon cemara seperti sedang bersiul-siul dingin dihembus angin. Tak mau tahu.
***
Malamnya, lewat jam tiga dini hari, tiga ekor babi mengendap-endap menuju arah ladang petani di tepi hutan. Saat itu, petani sudah terlelap dalam lelahnya sehabis seharian bekerja sekuat tenaga membanting tulang yang delapan kerat untuk mengolah ladang.
Ketiga babi itu bergerak dengan lamban sekali, namun tetap terseok-seok meski sesungguhnya semangat dalam hati mereka tengah membara. Mereka bertiga kini hanya tampak seperti sebuah siluet di tengah keremangan malam, merangkak tenang, terus merangkak, dan tak berisik sama sekali. Dan sinar bulan yang redup tanggung seolah turut membantu penyamaran mereka—untuk terlihat seperti layaknya para ninja dari Negeri Sakura nun jauh di timur matahari sana. Sedang, di masing-masing punggung mereka terdapat sekotak tulang; tulang-tulang itu mereka bawa sesuai perjanjian yang telah babi Bu buat dengan temannya si penjaga ladang; guna sebagai tombol kendali terhadap pengamanan operasi; atau bisalah dikatakan dengan semacam upah tutup mulut buat teman babi Bu.
Sesampainya di tempat perjanjian, dari balik semak muncul teman babi Bu. Seekor anjing berbulu coklat, tinggi, dan bermuka garang, seolah siap menerkam apapun yang ada di hadapannya.
Melihat tampang teman babi Bu yang demikian, babi Ba menggigil ketakutan. Sedang babi Bi terlihat sekali hanya berpura-pura menyembunyikan ketakutannya dengan berusaha untuk terlihat sedikit lebih tenang—mirip sekali dengan gaya Don Vito Corleone sewaktu menghadapi rekan bisnisnya; untuk membicarakan bagaimana potensi harga bunga kecubung dalam pusaran dunia narkotika masa depan; atau membicarakan bagaimana air perasan gadung dapat menggantikan fungsi air rendaman pembalut wanita dalam budaya mabuk generasi berikutnya.
Sadar dengan ketakutan kedua temannya, lalu babi Bu tersenyum cemooh.
“Tenang saja, Kawan, ini temanku Aan yang sering kuceritakan, sedang satu ini tangan kanannya yang bernama Jiang,” kata babi Bu kepada dua temannya itu.
Sementara kedua anjing penjaga itu hanya menggerak-gerakkan kedua ekornya tanda setuju dan juga sangat senang dengan kedatangan babi Bu dan kedua temannya. (bersambung)
.
Nasihat Suci Para Babi. Nasihat Suci Para Babi. Nasihat Suci Para Babi. Nasihat Suci Para Babi.
Leave a Reply