Cerpen

Seorang Perempuan di Benteng Hollandia

Seorang Perempuan di Benteng Hollandia - Cerpen Angga T Sanjaya

Seorang Perempuan di Benteng Hollandia ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

4.6
(5)

Cerpen Angga T Sanjaya (Koran Tempo, 25 April 2021)

KAU meletakkan tubuh di kursi, menarik gulungan surat dari Gubernur Jenderal, kemudian membukanya.

“Heren van de Compagnie [1],” gumammu. “Jenderal akan mengirim perempuan kulit putih ke Batavia.”

Selepas membaca, kau melemparkan surat itu begitu saja di meja, menarikku ke pangkuanmu. Berbisik. “Seperti Benteng Hollandia yang indah dan memukau, bukankah tak perlu hiasan macam-macam untuk perempuan yang terlanjur menawan?” Tanganmu menjepit ujung hidungku.

“Aku menyukaimu dan tak butuh mereka.” Senyummu melayang diliputi kecemasan, jika sewaktu-waktu mereka tahu keberadaanku. “Tak perlu sungkan. Aku akan menemanimu, Kapten,” sahutku padamu.

Di tengah pembicaraan kita, tiba-tiba seseorang mengetuk loji. Aku bergegas memasuki kamar yang masih satu bidang dengan ruanganmu. Suaramu masih kuat terdengar, tampak keberadaanmu tercetak pada sela pintu.

“Masuk,” katamu.

Seseorang melangkah. Letnan Hendrik Maatsland, pemimpin gudang peluru di benteng, muncul dari balik pintu. Ia memasuki loji bersama seorang pribumi mengekor di belakangnya.

“Terima kasih, Kapten,” ujar letnan sembari memberi hormat. Diikuti pula orang itu membungkukkan badan kepadamu.

“Angkat kepala Tuan,” katamu padanya.

“Duduklah Tuan-tuan.” Letnan duduk di hadapanmu. Diikuti pesuruh itu di sampingnya.

“Apa mau Tuan?”

“Saya Wargasa, utusan Tumenggung Tegal, Kapten.”

Sembari melihat letnan di hadapanmu, ia menatapmu kemudian menyerahkan sebuah pesan dalam gulungan surat. Diikuti pemberian sekotak peti tanda penghormatan.

Kau membuka gulungan itu. Sebuah catatan yang berisi keinginan perdamaian sedang kau baca dengan sedikit suara. Sebuah permintaan maaf diikuti permintaan raja agar kau membuka jalur perdagangan di Batavia.

Kau diam. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Kau lalu menatapnya beberapa saat.

“Baiklah. Jika demikian sampaikan kepada Sultan. Kawula dalem raja Mataram diperbolehkan berdagang secara bebas di Batavia.”

Tampak raut wajah Letnan Maatsland seolah tak percaya. Sebaliknya, lelaki Jawa itu terlihat tersenyum, mengucapkan kalimat sanjungan kemudian berpamitan. “Atas kebaikan Kapten, saya mengucapkan terima kasih.”

Ia lantas membungkukkan badan kemudian keluar. Langkahnya lenyap di balik pintu bersama Letnan Maatsland yang sepertinya hendak memastikan keberadaannya dalam kuasa para penjaga.

Tak lama kemudian letnan membuka pintu loji kembali. Duduk. Kemudian dengan wajah kaku, ia melemparkan beberapa kalimat. “Apa yang Kapten pikirkan? Memberi mereka kemudahan berdagang bukankah sama halnya menyiapkan bom waktu!”

Suara Letnan Maatsland meninggi. Suasana kian tegang.

“Tidakkah Kapten ingat penyerangan pertama Tumenggung Baureksa setahun lalu. Cara mereka hampir sama. Datang dengan eskader secara bertahap. Kemudian mencoba mengelabui pos penjaga de Stad en voorsteden.”

Ia menajamkan tatapannya, menandakan pembicaraan kalian tidak baik-baik saja. Tapi sikapnya yang demikian telah lama kau ketahui. “Mereka menaiki benteng, membunuh belasan penjaga yang kehabisan peluru. Jika bukan karena kesigapan komandan Jacques Lefebre saat itu, bukankah Batavia hampir ditaklukkan?”

Ketika kemarahannya kian memuncak, kau menghentikannya. Tanganmu menggebrak meja kayu di hadapan kalian. Praktis ia tercekat seketika. Beberapa cerutumu di atas meja terlempar ke udara dan jatuh ke lantai.

“Jangan menilaiku sebodoh itu, Letnan!” bentakmu. Kau diam sesaat sembari menatapnya dengan tajam.

Sesaat kau menarik napas. Dengan nada yang lebih rendah kau sampaikan padanya. “Keputusan ini, perihal kemungkinan untuk orang Mataram di Batavia sudah pernah saya bicarakan dengan Gubernur Jenderal sebelum ia sakit. Ia tak keberatan.”

Baca juga  Dilema

Ia lantas kau persilakan meninggalkan loji. Letnan Maatsland mengangkat posisi duduknya. Kemudian pergi meninggalkan ruanganmu.

Ketika suasana sepi, kau memanggilku. Kau katakan padaku mengenai kedatangan pesuruh dari Mataram itu. Kau menyadari sesuatu, mengizinkan mereka membuka perdagangan seperti halnya merawat anjing peliharaan. Di dalam kandang, mungkin saja kau dapat mengendalikannya. Namun, jika lengah atau semacam lupa mengunci pintu kandangnya, ia tak segan menggigit tuannya. “Untuk sebuah kota semacam ini, Batavia adalah kandang terbaik bagi siapa pun. Indah dan strategis.” Ucapanmu merayap seperti asap cerutu.

Kau bergumam, mengingat lagi bagaimana rencana ambisius Gubernur Jenderal Coen, membangun Jayakarta menyerupai kota-kota di Netherland dengan kanal-kanal yang membelah kota dan pohon-pohon rindang di samping kanan dan kirinya. Hal pertama yang ia lakukan tentu saja dengan memilih Jayakarta sebagai kantor pusat VOC. Di sana ada sebuah gudang dan Loji VOC yang sejak tahun 1610 sudah berdiri. Lalu diikuti monopoli perdagangan rempah-rempah, membuat Batavia menjadi bagian penting perdagangan di Jawa.

Sangat pantas jika kemudian Sultan ingin Benteng Hollandia runtuh meski sebelumnya, semenjak Jayakarta direbut jenderal, ia tak lagi menyentuhnya. Namun kiranya ia harus berpikir berkali-kali sebab betapa kokohnya Hollandia ini. Sebuah benteng yang dibangun menggunakan batu tebal dan di setiap sudutnya dibangun empat bastion, dinding pertahanan, yang dilengkapi dengan meriam yang menjorok keluar. Di sekeliling tembok yang melindungi kota, bagian luarnya juga dibuat sebuah parit.

Jalan satu-satunya bagi Sultan memasuki Batavia hanya dengan siasat. Ya, siasat jalur dagang! Perutusan seorang Jawa bernama Wargasa kian menunjukkan gelagat itu

***

Dua minggu kemudian, kabar pergerakan pedagang Mataram di Batavia kian santer berembus. Beberapa hari lalu, Raja Cirebon, baik raja sepuh maupun raja muda, mengirimkan keterangan-keterangan secara rahasia ke lojimu. Kau pun bermaksud menggali ini lebih jauh. Setelah menemui perantara komandan Jacques Lefebre di pelabuhan, mendapatkan selembar informasi, kau menuju de Stad en Voorsteden, daerah kota dan kota pelabuhan, mengundang Sersan Serbald Wonderaer di Lojimu. Loji kita?

Terbayang olehku, jalanmu cepat-cepat kala itu. Menyusuri Batavia yang cantik jelita. Selepas Tijgergracht, menyusuri Ommelanden. Menuju waterpoort, gerbang bagian utara. Memasuki lorong Benteng Hollandia. Menuju loji dalam. Pintu kantor itu dengan cepat kubuka. Sebelum aku segera menyambutmu.

Kau duduk di kursi kerjamu. Menyalakan cerutu. Asap melayang ke udara. Memenuhi loji, menyerupai kehadiranku yang samar dan pudar.

Barangkali tak ada yang mengira, kau menyembunyikan perempuan rendah sepertiku. Membawaku dengan cara apa pun. Menyingkirkan siapa pun yang berusaha menahanku.

Sedangkan Gubernur Jenderal, seperti dalam suratnya padamu, justru tak pernah menyukai perempuan pribumi, yang baginya kotor, tidak terhormat, dan yang paling utama, dapat mengancam kemakmuran kalian. Ia ingin perempuan kulit putih untuk kalian.

Namun sayang sekali, selama di Batavia, mereka yang dianggap jauh bermartabat justru teramat liar dan suka berfoya-foya. Sedangkan aku, bagi kalian begitu lugu sekaligus bodoh, dan karena itulah mungkin kau tak perlu khawatir untuk berkeluh kesah padaku, membagi masalah-masalahmu. Jadi begitulah kenapa keberadaanku menyerupai asap cerutu di dalam loji ini.

Maka semenjak Gubernur Jenderal menderita sakit dan terbaring lemah di suatu tempat dalam bangunan ini, kau kian leluasa membawaku ke loji. Menemanimu, mendengarkan ceritamu. “Apakah aku perempuan kotor dan berbahaya?” Sering kali kalimatku terlontar, kutatap wajahmu lekat-lekat.

Baca juga  Keroncong Pembunuhan

Ingatanku sesaat buyar, tanganmu bergerak lurus di atas meja, menarik gulungan catatan dari komandan Jacques Lefebre yang kau terima tadi di pelabuhan. Kau membacanya dengan teliti. Sepenggal dari catatan itu tertulis demikian:

“… Semenjak peluang dagang dibuka bagi orang Mataram, gerak-gerik orang Jawa kian menunjukkan maksud lain di luar berdagang. Dua kapal yang saya kirim untuk pengintaian di Tegal, melihat pengangkutan beras dalam jumlah besar melalui pantai dan menimbunnya. Lebih dari 100 kapal dengan muatan padi telah datang di sana.”

Kau melepaskan tatapanmu dari catatan itu. Beberapa saat pandangannu terlempar ke atap. Kau ingat kedatangan Sersan Serbald ke lojimu tiga hari lalu. Kemudian membagi gelisah itu kepadaku. Ia mengabarkan seorang bendaharawan, Cornelis van Maseyck, bertemu seorang ponang Jawa di kapal. Orang Jawa ini beberapa tahun tinggal di pedalaman sebagai tawanan, dan ia mengatakan bahwa raja Mataram telah mempersiapkan segala sesuatu untuk perang. Kesaksian ini cukup penting untuk menentukan sikap terhadap raja Mataram.

Lantas tiba-tiba seseorang mengetuk pintu loji. Kau matikan cerutu vorstenland milikmu. Aku bergegas ke bilik kamar, masih dengan celah pintu yang sedikit terbuka. Kau persilakan ia masuk. Tampak Sersan Serbald membuka pintu, kemudian memasuki loji. Ia lantas memberi hormat.

“Selamat pagi, Kapten. Maaf membuat Anda menunggu.”

Kau mengangguk dan mempersilakan ia duduk.

“Tadi pagi aku mendapatkan catatan ini dari komandan Jacques Lefebre. Inilah alasan kenapa Sersan perlu datang ke loji ini.” Sambil kau serahkan gulungan surat itu kepada Sersan Serbald.

Ia menerima dan membuka catatan itu. Beberapa waktu ketika ia mulai membaca, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Kau memberi tanda kepada Sersan Serbald. Ia paham dan menggulung kembali catatan itu.

“Selamat siang, Kapten.” Pintu terbuka, Letnan Maatsland memasuki ruangan diikuti Wargasa dan Sersan Serbald. Kali ini tangan Letnan Maatsland mencengkeram kuat leher Wargasa dan melemparkannya tepat di hadapanmu. Wargasa tersungkur di lantai dengan kedua tangan terikat ke belakang.

“Sesuai perintah, Kapten.”

“Terima kasih, Letnan.”

Kau telah memerintahkan letnan itu untuk menahan Wargasa jika sewaktu-waktu ia diutus kembali oleh raja Mataram. Mendengar informasi Cornelis van Maseyck, tidak ada lagi alasan untuk membiarkannya datang dan pergi dengan leluasa. Saat ini, mungkin saja bagimu ia sangat berguna.

Kau berdiri. Mendekati Wargasa. Kau turunkan kaki kananmu hingga lututmu menapak lantai loji.

“Katakan apa rencana raja Mataram?” ucapmu.

Ia diam, tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Letnan Maatsland tampak menuju keluar ruang.

Segera kau raih rambutnya, menariknya kuat-kuat. Wajah Wargasa menyeringai, menahan kesakitan. “Katakan!” bentakmu padanya.

Letnan Maatsland kembali ke loji dengan sebuah cambuk di tangannya. Kau sedikit menjauh. Ia kemudian melesatkan cambuk itu berkali-kali ke badan Wargasa. Lelaki Jawa itu berteriak memohon ampun.

“Katakan Wargasa, apa rencana raja?” kali ini pertanyaan itu dilontarkan Letnan Maatsland.

Sambil meringis Wargasa berkata terbata-bata. “Pasukan Mataram bergerak sejak akhir Mei. Ketika itu artileri berikut amunisinya meninggalkan kota istana.”

“Lalu?”

“Lanjutkan!!!”

“Saat ini mereka sudah berada di depan Batavia, Tuan. Dengan kata lain, mereka ada di area Ommelanden.”

“Bagaimana dengan jalur Ciliwung?” kalimatmu terlontar.

Baca juga  Debu Beterbangan

“Pelopor pertama sudah menyusur 3 sampai 4 mil Kali Ciliwung, Kapten.”

“Kapan?”

“Akhir Agustus, Kapten.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Berkemah di sebelah timur, selatan, dan barat kota.”

Kau menatap Letnan Maatsland dan Sersan Serbald. “Bukankah itu berada di luar jangkauan tembak meriam?” tanyamu kepada mereka.

“Benar, Kapten. Sepertinya mereka hendak menyerang di hari tertentu,” jawab Sersan Serbald.

“Apa yang kalian lakukan di Tegal? Katakan! Mengapa ada banyak sekali beras ditimbun di sana?” sahut Letnan Maatsland.

“Tegal akan dijadikan gudang padi, Tuan.”

Tanpa pikir panjang kau segera mengirim perintah untuk kedua rekanmu itu.

“Sersan Serbald, segera kirim tiga kapal kita ke Tegal. Hancurkan apa pun termasuk gudang padi di sana.”

Sersan Serbald beranjak keluar loji. Tubuhnya lenyap ditelan pintu.

“Letnan Maatsland.” Ia menoleh ke arahmu. “Kerahkan pasukan menuju parit-parit orang Mataram di sekitar Ommelanden.” Ia melemparkan cambuk ke lantai. Kemudian melangkah pergi.

Dari kejauhan terdengar suara meriam. Sebuah penyerangan sedang dilakukan pikirku. Kau melangkahkan kaki keluar loji. Aku melangkah maju, Wargasa tampak terkejut melihatku. Aku mendekat padanya. Mengatakan sesuatu padanya. Lantas kuimpitkan mataku pada pintu, mengintip, di luar tampak orang-orang bergerak keluar benteng. Suara ledakan kembali terdengar samar.

Aku melihatmu melangkah menuju loji gubernur jenderal. Setelah kau membuka pintu. Ia masih tertidur dengan penyakit kolera yang sudah beberapa pekan tidak juga sirna. Kau mendekat dan membangunkannya. Ketika hendak mengatakan serangan terhadap Mataram telah dimulai. Tiba-tiba sesuatu melesat cepat menusuk punggung dan perutmu dua kali.

“Sreeeet. Jrep. Jrep.”

Kau menoleh ke belakang sembari menangkis tangan seseorang yang hampir kembali menusukmu. Sebuah benda tajam terlempar. Kau meraba pistol bedil yang tergantung di pinggangmu. Tanganmu berhasil mengambilnya, ketika kau mulai mengarahkan ke depan. Mendadak tanganmu terhantam oleh cambuk yang tiba-tiba sudah terayun dari di tangannya.

Pistol bedil itu tersungkur. Ia meraih pistol itu kemudian menembak ke arah jenderal. Tanpa sempat menghindar, peluru itu menembus dadanya. Darah keluar membasahi ranjang.

Dua kali ledakan bedil kembali terdengar. “Bukan dari Wargasa?” bisikku pelan. Kulihat tubuh Wargasa sudah tersungkur di hadapanku. Aku meraba perutku. Darah merembes liar. Aku terjatuh.

Sesaat terlihat olehku, dua orang prajurit hendak mengangkatmu, samar-samar terdengar kau berkata sesuatu, “Jika aku mati, sampaikan kepada siapa pun, Gubernur Jenderal meninggal karena penyakit kolera. Bagaimanapun tak ada yang boleh merusak kemegahan Benteng Hollandia.”

Mataku mulai berat. Ingatanku melangkah pada seorang anak dan lelaki yang terbunuh sesaat sebelum aku dibawa ke loji. Pandanganku mulai padam perlahan-lahan. ***

.

.

Jejak Imaji, 2021.

Angga T Sanjaya, alumnus Universitas Ahmad Dahlan dan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Lahir di Wonosari, Gunungkidul, pada 7 Juni 1991. Kini tinggal di Yogyakarta dan sesekali pulang ke Membalong, Bangka Belitung. Bergiat di komunitas Jejak Imaji.

.
Seorang Perempuan di Benteng Hollandia. Seorang Perempuan di Benteng Hollandia. Seorang Perempuan di Benteng Hollandia. Seorang Perempuan di Benteng Hollandia. Seorang Perempuan di Benteng Hollandia.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d