Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 12 Maret 2023)
AKU merasakan sengatan ringan, ketika telapak tanganku menyentuh tangan perempuan tua itu. Sejenak ruangan ini mampat oleh energi yang aneh. Seperti sebuah energi yang berasal dari dunia lain. Udara di sekelilingku seperti diremas-remas oleh energi itu. Perempuan tua itu menatap mataku dengan sepasang matanya yang terlihat kelabu, namun entah kenapa tatapan matanya mengandung tusukan sebilah pisau.
“Apa yang membawamu ke sini? Cepat katakan. Aku tidak punya banyak waktu,” serak dan tajam suara perempuan tua itu, membuat nyaliku ciut.
“A… aku Reswara, Nek,” kataku dengan suara selirih mungkin. “Salah satu dari pendekar Elang Kembar.”
“Ohh… Pendekar Elang Kembar. Pendekar nomor satu dunia saat ini. Kenapa kau kelihatan sebagai cecurut yang ketakutan seperti itu?”
Aku tersenyum kecut mendengarnya. “Aku bukan siapa-siapa tanpa Gentala. Saat ini dia terluka parah. Aku memerlukan bantuanmu. Untuk meracikkan Ramuan Pahit untuknya.”
“Ha-ha-ha….” Perempuan tua itu terkekeh-kekeh sambil memperlihatkan giginya yang runcing dan hitam. “Aku tidak peduli dengan Pendekar Elang Kembar. Aku lebih suka kalian mati daripada menyelamatkan kalian.”
“Dalam sepekan kami harus bertarung di Bukit Tepian. Kalau kami tidak hadir, seluruh penduduk Desa Tepian akan terancam jiwanya.”
“Aku juga tidak peduli dengan itu. Heh-heh-heh….”
“Bukankah kau juga suka menonton pertandingan tingkat tinggi. Kalau kami tidak datang, dan tidak bertarung, kau akan kehilangan tontonan menarik.”
Perempuan tua itu terdiam. Ia menatapku dengan wajah sebal. Ia menarik secarik kain dari lipatan bajunya, menuliskan sesuatu di sana, dan menyerahkannya kepadaku dengan muka masam.
“Kau temui laki-laki ini. Dia menjual minuman hijau di setiap arena pertarungan para pendekar.”
“Jadi dia orangnya. Aku pikir ia hanya penjual minuman hijau biasa.”
“Kau tahu, setiap dia menyerahkan minuman hijau kepada para pembeli, ia menyuling rasa pahit yang mengambang di udara, dan orang yang meminum ramuan hijaunya, akan seketika merasa gembira oleh sebab-sebab yang mereka tidak ketahui.”
Aku takjub mendengar penjelasan itu.
“Itukah alasan, pembeli minuman hijau berasa pahit itu mengalir tak habis-habis bahkan sampai pertarungan selesai?”
“Heh-heh-heh… Jangan menganggap remeh orang yang kelihatan biasa.”
“Lalu bagaimana caraku meminta ramuan itu kepadanya?”
“Tunjukkan saja sobekan kain itu. Dia tahu sobekan kain itu dariku. Dia sudah paham. Ini pertama kalinya aku membocorkan rahasia ini kepada seorang pendekar. Itu karena aku suka melihat kalian bertarung. Jangan kalah lawan si Golok Mata Tiga. Tawa tiga pendekar itu membuatku sebal.”
Aku cepat-cepat memasukkan sobekan kain itu, sebelum perempuan tua di hadapanku berubah pikiran. Sangat sulit menebak ia akan membuat keputusan apa karena ia hanya mengikuti suasana hatinya. Aku dapat mengingat dengan baik laki-laki penjual minuman hijau itu. Ikat kepalanya yang dekil menjadi ciri khasnya. Kalau mendekat, bau ikat kepala laki-laki itu selalu membuat kepalaku pusing. Mungkin ikat kepala itu sudah bertahun-tahun tidak pernah dicuci. Gentala terkekeh bercanda mengenai ikat kepala itu sebagai ikat kepala yang sakti itu. “Kalau ikat kepalanya tidak bau, mungkin ramuannya tidak laku.”
***
Dari apakah rasa pahit terbuat? Tidak pernah jelas kuketahui. Yang jelas, hasil sulingan rasa pahit itu sudah menjelma sebotol ramuan hijau, yang memiliki kekuatan dahsyat menyembuhkan luka dalam yang diderita Gentala. Biasanya Gentala yang menyelamatkanku. Menyambar tubuhku yang sudah terkulai lemas oleh hantaman lawan, membopongku melewati pucuk-pucuk pohon, menaburkan bubuk penyamar, kemudian menghilang di semak-semak. Kita boleh kalah, tapi kita tidak perlu mati dalam pertarungan ini.
Gentala menggerak-gerakkan tubuhnya, untuk melatih beberapa kuda-kuda untuk pertarungan kami pada hari Ahad ini. Dari ratusan pertarungan kami, entah keberapa kalinya ia muntah darah. Entah keberapa kali ia hampir mati. Aku menghela napas panjang.
“Ada apa denganmu, Reswara. Kamu selalu banyak pikiran.”
“Sampai kapan kita akan terus bertarung?”
Gentala hanya terkekeh-kekeh. “Kita akan bertarung sampai napas kita putus.” Masih dengan suara yang terdengar tidak serius.
“Aku sudah lelah merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Dan melihatmu muntah darah berulang kali tentu bukan saat terbaikku.”
“Karena biasanya yang muntah darah kamu, kan?” kata Gentala dengan nada bercanda.
“Kenapa masih bisa bercanda tentang itu. Entah sudah berapa kali kita hampir mati.”
“Semua orang dalam keadaan hampir mati, Reswara. Hanya kematian yang menghentikan seseorang. Selama kita belum mati, kita tidak berhenti.” Tegas suara Gentala.
***
Seluruh desa gelap gulita. Penduduk desa Tepian sedang menunggu pertarungan pamungkas dari dua pendekar paling sakti di negeri ini. Pertarungan antara pendekar Elang Kembar dan Golok Mata Tiga. Sekilas pertandingan ini tidak terasa imbang. Dua orang pendekar berhadapan dengan tiga orang pendekar. Namun dalam kancah dunia persilatan, perpaduan jurus-jurus yang menjadi penting. Pendekar Elang Kembar, jika dipisahkan satu sama lain, tidak akan menjadi diri mereka yang sekarang. Reswara sendiri hanya pemuda lemah yang tidak berdaya tanpa Gentala. Demikian sebaliknya, tiga kakak beradik yang menjadi musuh mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa, tanpa dua orang yang menjadi pasangannya. Tiga orang paruh baya berbobot satu kwintal itu hanya tiga orang loyo yang tanpa kemampuan sama sekali.
Persiapan panjang telah dilakukan selama tujuh hari tujuh malam. Bukit Tepian dikosongkan sampai jarak lima kilo. Setiap memulai pertarungan akbar seperti ini, aku selalu bisa mencium aroma daunan-daunan melalui ramuan hijau yang aku minum sebelum pertandingan. Aku seperti berenang di telaga ramuan hijau yang rasanya amat pahit. Namun, hari ini, aroma itu tidak tercium sama sekali. Aku malah mencium aroma manis yang sangat menggiurkan. Bunga-bunga yang bermekaran seperti berebut untuk menguarkan aroma manis, aku menjadi tidak tahan untuk menyesapnya. Semalam aku juga mimpi indah sekali. Seluruh Bukit Tepian ditumbuhi bunga aneka rupa dan bentuk. Yang tercium adalah aroma manis yang tidak terhingga.
Gentala mendengus-dengus dengan wajah agak kesal. “Sejak kapan di Bukit Tepian ada kelelawar?” Gentala mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Kelelawar? Aku tidak mencium adanya bau tai kelelawar?”
“Coba tajamkan telingamu. Suara mencicit-cicit itu, mengganggu sekali.” Aku mencari suara mencicit yang dikatakan Gentala di tengah keheningan Gunung Tepian, namun tidak aku temukan sama sekali. Mulutku terbuka untuk menyampaikan bantahan, namun teriakan keras Golok Mata Tiga yang menyerupai petir, mengagetkan semua orang yang menonton pertandingan itu. Aku melihat kepala-kepala bersembulan di pucuk-pucuk pohon.
“Ha-ha-ha-ha,” tawa ketiganya bergema dan memantul-memantul. Aku merasakan tanah agak bergetar. “Sudah siap mati kau Elang Kembar?”
“Kematianku bukan hari ini, Golok Mata Tiga. Mungkin besok.” Tipis senyum Gentala menanggapi gertakan Golok Mata Tiga. Ia berbisik ke telingaku. Sudah siap menghadapi tiga kwintal beras? Tak ayal aku tersenyum kecil menanggapi candaannya.
“Orang lain boleh kau takut-takuti dengan kesaktianmu, Elang Kembar. Kami sudah mengetahui rahasiamu. Bahwa kamu hanya dua manusia lembek. Ha-ha-ha…!” tawa Golok Mata Tiga saling bersahutan. Sepintas tawa itu terdengar menggelikan, karena ketiganya tertawa dengan nada yang berbeda-beda. Namun lama-lama suara tawa ketiganya terdengar makin nyaring.
***
Setetes air yang amat dingin membuatku terjaga. Pada saat itulah aku merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku mengerang kesakitan ketika perempuan tua itu menutup mulutku.
“Jangan berisik kau, Reswara.”
Aku mendapati diriku terjepit di antara dahan pohon di tempat yang tidak jauh dari arena pertarungan kami di Bukit Tepian. Seluruh tubuhku tersembunyi di dalam kerimbunan dedaunan. Apa yang terjadi?
Seluruh ingatanku buntu. Aku bahkan tidak ingat bagaimana pertarunganku dengan Golok Mata Tiga. Namun arena pertarungan sepertinya meninggalkan jejak-jejak yang amat jelas. Rerumputan rebah seperti sehabis diinjak ratusan gajah. Beberapa pohon terlihat gosong. Batu-batu besar hancur menjadi remahan debu. Aku menduga, salah satunya terhantam pukulan bola api yang menjadi salah satu jurus pamungkasku bersama Gentala.
“Aku terlambat menyelamatkannya, Reswara. Maafkan aku.”
Seseorang seperti menyiramku sampai padam. Sekarang semuanya terbayang dengan jelas. Ketika ratusan jarum beracun menancap di tubuh Gentala, dan ia masih menyunggingkan seulas senyum padaku. “Bukit ini bau tai kelelawar, Reswara. Kau harus percaya.” Saat ia menghembuskan napas terakhirnya di pelukanku. Golok Mata Tiga semakin menggila. Mengepungku dari segala penjuru. Melemparkan ribuan jarum beracun dengan kecepatannya yang melampaui kilat.
“Aku terlambat tahu. Golok Mata Tiga, adalah tiga pendekar yang ditakdirkan mengalahkan kalian. Seseorang yang dekat dengan kalian telah membocorkan ramalan itu kepada mereka bertiga.”
Aroma manis yang ganjil itu kembali menguar. Mengingatkanku pada sepasang mata Gentala yang menyerupai telaga. Di telaga warna manakah kau sedang berenang-renang Gentala? Aku akan menyimpanmu di lubuk hatiku. ***
.
.
Ni Komang Ariani lahir di Bali, 19 Mei 1978. Cerpen-cerpennya terdapat dalam antologi Lidah (2008), Senjakala (2010), Bukan Permaisuri (2012), Jas Putih (2014), dan Marigold (2019). Tahun 2008 menjadi pememang pertama Lomba Menulis Cerita Bersambung Femina lewat novelet “Nyanyi Sunyi Celah Tebing”. Karya-karyanya juga beberapa kali masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas. Kini dia menetap di Jakarta.
Wayan Kun Adnyana, guru besar sejarah seni (seni rupa), yang aktif berpameran di berbagai pergelaran seni rupa berpengaruh. Terakhir pameran tunggal Wastu Waktu di Agung Rai Museum of Arts, Ubud. Sejak Maret 2023 diberi amanah sebagai Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
.
Ramuan Pahit dan Pertarungan Pamungkas. Ramuan Pahit dan Pertarungan Pamungkas. Ramuan Pahit dan Pertarungan Pamungkas.
Leave a Reply