Cerpen Bella Sapitri (Kaltim Post, 05 Maret 2023)
MARIANA terbangun dengan mata berair. Ia baru saja bermimpi tentang taman mawar biru. Tersesat di antara sekumpulan mawar berduri yang menyayat kulitnya. Entah kenapa perasaannya menjadi sedih, seperti ada sesuatu yang baru saja terenggut darinya.
“Mawar biru yang indah ‘kan? Tapi sayang durinya akan menyayat jiwamu.”
Mariana tertegun menatap sosok pemuda yang duduk di sebelahnya. Entah kenapa perkataannya barusan seperti menjelaskan isi mimpinya tadi. “Maaf, maksudnya?” Mariana menatap bingung ke arah pemuda asing itu.
Pemuda itu tersenyum penuh arti. “Kamu tahu gak kalau setiap pemikiran manusia itu selalu memiliki sejarahnya sendiri dan biasanya selalu terikat dengan pola kebudayaan yang melingkupinya.”
Mariana dibuat terheran-heran, ia tidak mengerti kenapa pemuda itu tiba-tiba membicarakan hal tak jelas kepadanya. Mariana sendiri bahkan tidak mengenal siapa pemuda itu.
“Kamu pernah membaca novel karya Jostein Gaarder? Dunia Anna adalah salah satu novel kesukaanku. Jujur saja aku salut dengan pemikiran Anna yang saat itu baru berusia 16 tahun.”
Mariana langsung mengerutkan keningnya. Entah kenapa ia jadi sedikit tertarik dengan cerita pemuda itu.
“Memang apa yang dia pikirkan?” tanya Mariana penasaran.
Pemuda itu kembali tersenyum. “Apa yang kamu pikirkan saat usiamu 16 tahun?” pemuda itu malah balik bertanya.
“Saat usiaku 16 tahun aku hanya berpikir tentang cara bersenang-senang,” jawab Mariana seadanya. Pemuda itu justru menertawakannya. “Apanya yang lucu?” Mariana meninggikan nada suaranya.
“Itulah pemikiran kolot remaja zaman sekarang. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kesenangan duniawi,” pemuda itu menjeda kalimatnya. “Lantas bagaimana dengan bumi?” lanjutnya.
“Bumi?” Mariana mengulang perkataan pemuda itu dengan satu alis yang tertaut. Pemuda itu kemudian menatap Mariana dengan intens, membuatnya jadi tak nyaman. “Bumi kita ini sudah tua, apa yang akan terjadi di masa depan bergantung pada kita semua. Itulah yang Anna pikirkan. Novel itu membahas tentang isu-isu lingkungan. Jadi aku sarankan untuk membacanya,” pemuda itu kemudian berdiri dari kursinya.
“Sastra Aditya itu namaku dan kalau kita bertemu lagi untuk kedua kalinya, maka aku anggap itu sebagai takdir,” pemuda itu tersenyum tipis sebelum benar-benar pergi meninggalkan Mariana sendirian di dalam gereja tua.
Setelah kepergian pemuda itu, Mariana jadi terdiam. Ia menatap langit-langit gereja cukup lama. Sesekali menghela napas panjang.
“Nama gadis di dalam novel itu adalah Anna, bukan? Dan aku juga bernama Anna. Tapi pemikiran kami jauh berbeda dan usiaku sekarang 18 tahun. Apa yang akan terjadi di masa depan? Ck, aku tidak peduli.”
Mariana mengambil tasnya kemudian beranjak pergi menuju pintu. Setibanya di sana ia tanpa sengaja menemukan setangkai mawar putih yang sebagian kelopaknya terkena cat biru sehingga membuatnya hampir terlihat seperti mawar biru. Mariana lantas menunduk untuk mengambil bunga tersebut, tapi durinya sudah lebih dulu melukainya. “Auh!” ringisnya.
“Rasanya pasti sakit ‘kan?”
Mariana mendongak untuk melihat siapa yang berbicara.
“Pernah dengar filosofi duri mawar?” gadis ramping berkulit putih itu tersenyum sinis ke arahnya.
“Duri mawar bukan untuk melukai, tetapi untuk melindungi, tapi kurasa hal itu tidak berlaku untukmu,” ujar si gadis seolah-olah sengaja mengejek Mariana.
Gadis itu kemudian berjalan dengan angkuhnya memasuki gereja sementara Mariana berjalan ke arah yang sebaliknya.
***
Seorang pemuda memasuki ruangan dokter Marissa. Pemuda itu adalah Sastra Aditya. “Hai Sastra, bagaimana kabarmu?” tanya dokter.
“Seperti yang Anda lihat, aku sangat baik,” Sastra duduk di kursi.
“Jadi bagaimana? Apa masih memimpikan hal yang sama,” tanya dokter Marissa lagi.
“Hmm, ya begitulah. Aku masih memimpikan hal itu. Berada di antara mawar biru, tapi tidak sendirian,” Sastra menggigit bibir bawahnya.
“Gadis itu masih tetap muncul di mimpiku dan masih dengan kejadian yang sama,” Sastra menatap dokter Marissa lekat dan berkata, “gadis itu masih terjebak di antara duri mawar.”
“Lalu apa kau masih mencoba menyelamatkannya?” tanya dokter Marissa pelan.
“Iya, tapi sangat sulit karena sebelum aku berhasil meraihnya, aku sudah lebih dulu terbangun, dan seperti yang dokter ketahui, mimpi itu masih datang sampai saat ini,” mendadak ekspresi wajah Sastra berubah.
“Ada apa? Apa ada yang mengganjal di hatimu? Ayo ceritakan padaku,” pinta dokter Marissa.
“Dokter percaya dengan kebetulan?” tanya Sastra ragu.
Dokter Marissa mengangguk. “Ya, aku percaya, memang kenapa?”
“Aku pernah mendengar kutipan dari seorang penulis dan musisi romantis bernama Fiersa Besari. Ia berkata, “Hidup adalah serangkaian kebetulan dan kebetulan adalah takdir yang menyamar. Dan kurasa dia memang benar.”
Dokter Marissa hanya diam dan terus mendengarkan.
“Gadis yang ada di dalam mimpiku nyata dan aku bertemu dengannya di gereja tadi,” jelas Sastra.
Dokter Marissa mencatat apa yang Sastra katakan. Ia kemudian menyuruh Sastra rileks dan menuntun pemuda itu menuju alam bawah sadarnya.
***
Mariana mengempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menatap bunga mawar yang tadi ia temukan di pintu masuk gereja. Ia merasa sangat mengantuk, tapi tidak ingin tertidur karena takut akan bermimpi hal yang sama lagi. Namun lambat laun matanya mulai terpejam dan ia akhirnya terlelap.
Ketika membuka mata, Mariana sudah berada di antara mawar-mawar biru. “Auh,” ia kembali merasakan sakit saat tusukan duri mawar yang tajam menggores kulitnya.
Mariana kemudian berlari mencoba mencari jalan keluar. Namun, duri-duri mawar itu terus saja menyayat tubuhnya, membuatnya terluka hampir di semua bagian.
“Siapa pun tolong!” Mariana berteriak.
Ia masih terus berlari dengan langkah tergopoh-gopoh. Di saat ia mulai kehabisan napas, seseorang muncul dan menariknya keluar. Mariana terkejut melihat Sastra di depannya. Pemuda itu tersenyum kepadanya kemudian memeluknya. “Aku berhasil, akhirnya aku bisa menyelesaikan misiku,” ujarnya.
Seketika Mariana langsung terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang bergetar hebat. “Tadi itu apa? Kenapa Sastra bisa muncul di mimpiku.”
Mariana memegangi dadanya, ia tak paham dengan apa yang barusan terjadi, tapi yang pasti ia senang bisa keluar dari mimpi mencekam. Sementara di tempat berbeda Sastra juga ikut terbangun dengan senyum merekah yang terpancar di wajahnya.
“Aku berhasil,” ujarnya pada dokter Marissa yang disambut dengan senyuman hangat dari sang dokter. ***
.
.
Bella Sapitri. Lahir di Bontang, 13 April. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Mulawarman. Sangat suka menulis semenjak SMA dan telah menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan melalui platform kepenulisan online.
.
Takdir yang Menyamar. Takdir yang Menyamar.
YUSRON ARDYANSYAH
Saya suka dengan lompatan lompatan waktu. Juga dengan karakter masing masing rentetan peristiwa begitu real mengalir saja. Keren
Widya Amanda
Mantap