Cerpen Dahlia Faruty (Media Indonesia, 26 Februari 2023)
LIMA tahun lalu, suamiku membawa pulang karet kebo untuk menghias ruang tamu kami. Kehadiran tanaman hias dengan daun-daunnya lebar dan hijau mengilap serta-merta menyegarkan ruangan, memberi kesan gagah, sekaligus keteduhan.
Dalam hitungan tahun, karet kebo yang semula hanya setinggi lututku kini menjulang. Akarnya menjalar ke mana-mana. Daun-daunnya merimbun, tidak lagi beraturan. Tidak cocok lagi ia berdiri menyambut tamu di samping pintu rumahku yang mungil. Terpaksa ia tersingkir ke lantai atas, ke sudut yang biasa kupakai untuk tempat jemuran, sekaligus tempat favoritku melamun.
Malam ini, kutatap lekat si karet kebo sambil berusaha mencari letak indahnya yang dulu kukagumi. Daun hijau yang dulu segar, sekarang kusam dilapisi debu. Batang-batangnya meliuk tidak tentu arah. Pot tanah liat yang besar itu pun sepertinya sudah tak mampu lagi menampungnya. Sungguh membosankan melihatnya, tetapi untuk menyingkirkannya pun rasanya terlampau melelahkan.
Nasib tuan si karet kebo tidak jauh berbeda. Sulit kucari indahnya. Bukan kali pertama ini ia kehilangan pekerjaan. Bapak dari tiga bocah lelakiku itu sudah setahun lebih tidak lagi berpenghasilan. Ia juga tak cukup sigap mengantisipasi kejatuhannya. Dana darurat? Apa itu?
Suamiku mulai menua, 45 tahun sudah usianya. Akan sulit bagi dia mendapatkan pekerjaan baru sehebat kemarin. Namun, tampaknya ia juga tak ingin mencari pekerjaan baru. Sejumlah lowongan kerja yang kudapat sebagai hasil mengais-ngais info dari kawan-kawanku, ditanggapinya dingin. Aku pun sudah menawarkannya untuk berwirausaha atau bahkan menjadi rekanan aplikasi transportasi daring. Namun, ia lebih memilih menjadi tukang ojek pribadi untuk anak-anaknya. Anak-anak yang menjadi sahabat-sahabat terbaiknya setahun terakhir, yang tidak akan bertanya, “Kerja di mana lo sekarang?”
Setahun tanpa penghasilan, syukurnya ia masih mampu membayar uang pangkal sekolah si bontot kami masuk taman kanak-kanak. Ia pun tak pernah telat membayar iuran bulanan sekolah anak-anaknya yang dua karena yang satu ialah jatahku membiayainya.
Suamiku masih berdiri tegak setahun ini. Jika aku menjadi dia, mungkin sudah strok. Ia terjatuh dari ketinggian, bagai atraksi terjun tanpa payung demi sebuah kesetiaan pada kawan. Kawan yang mengajaknya menikmati pekerjaan prestise selama dua tahun kemudian mendadak pergi jauh sekali tanpa memedulikan nasib suamiku, nasib kami. Mobil yang sempat dicicil suamiku selagi bekerja terpaksa ia jual agar tetap menyandang sebutan tulang punggung keluarga. Namun, uang hasil penjualannya sekarang semakin tiris. Akulah yang menopang sebagian besar kebutuhan rumah tangga kami, meski dengan ketar-ketir lantaran aku hanya pekerja kontrak yang kapan saja bisa didepak.
Aku bertekad tak akan membiarkan anak-anakku merasakan sakitnya jatuh. Namun, kami sekarang bagaikan berada di tepi jurang. Jurang yang mau tidak mau harus dilalui sama-sama. Sebab, pernikahan sejatinya ialah mengawini segala keadaan dalam ada maupun tiada, toh?
Lamunanku terputus oleh sapaan Rina, tetangga belakang rumah, yang memanggilku dari jalan. Seperti biasa, ia hendak meminta beberapa lembar daun karet kebo tua. Untuk direbus sebagai obat strok ibunya, sekaligus untuk mengencerkan darah, katanya. Ah, mengingat itu aku jadi merasa beruntung masih mempertahankan si karet kebo. Ternyata ia bisa berguna meskipun tidak lagi indah dipandang mata.
Mungkin Tuhan juga sedang menyiapkan sesuatu untukku hingga aku pun masih dapat bertahan dengan tingkah laku suamiku. Padahal, kesabaranku rasanya selalu diuji. Bukan hanya saat dia jatuh seperti sekarang. Saat dia masih bekerja, aku bahkan tidak pernah tahu berapa atau dari mana saja penghasilannya. Dia bisa sesukanya membeli berbagai barang mahal tanpa mengajakku bicara, seperti ketika ia membeli satu ponsel lagi sebulan sebelum kehilangan pekerjaan.
Jika aku bukan orang yang disibukkan pekerjaan dan punya terlalu banyak waktu berpikir, barangkali aku sudah menuduh suamiku selingkuh lewat ponsel barunya itu. Atau mungkin dia punya anak lagi sampai tega menyembunyikan penghasilannya dariku, entahlah.
Malam ini benakku terasa pampat. Kontrak kerjaku habis setelah delapan tahun harus bolak-balik menandatangani pembaruan kontrak di setiap pengujung tahun. Kali ini pilihannya hanya dua, mengundurkan diri atau ikut serangkaian ujian untuk menjadi karyawan tetap.
***
Berhenti bekerja saat suamiku tanpa penghasilan ialah mimpi buruk yang tak pernah kubayangkan. Kehidupan sesak di kota akhirnya memaksaku mengambil keputusan untuk menjual rumah dan pindah ke kampung suamiku, desa kecil di ujung Pulau Jawa. Barangkali hanya ini yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan keluargaku, juga kewarasanku.
Jakarta begitu melelahkan, dipenuhi manusia yang berlomba-lomba meraih impian. Sebesar apa pun penghasilan, habis saja untuk membayar utang dan gaya hidup yang tak keruan. Sementara itu, waktu berganti begitu cepat, bagaikan copet yang merenggut kebersamaanku dengan anak-anak.
Mereka terus tumbuh tanpa sempat aku sentuh. Bertambah besar dan membuatku gusar, bertanya-tanya kenapa watak mereka menjadi seperti suamiku. Suami yang telah menjadi kawan sepermainan anak-anakku bermain bola, sepeda, atau sekadar berjoget koplo bersama.
Kami yang sebelumnya terbiasa dengan ritme cepat kini harus belajar menikmati berbagai kebiasaan baru di desa. Kehidupan yang minim tuntutan, tidak harus menyalakan alarm ponsel, tidak takut kemacetan. Namun, sebagai konsekuensinya, juga minim penghasilan.
Di desa yang penuh hamparan padi dan kerap terjadi pemadaman listrik itu, untuk mendapatkan uang sejuta sebulan saja rasanya susah sekali. Padahal, dalam gemerlap kehidupan kota, menjadi hal yang biasa menghabiskan sejuta untuk sekali makan malam saja.
Rasanya, aku sedang menuju fase kehidupan karet kebo. Indah saat muda, lalu tersudut saat menua. Daunku rontok, tetapi tidak berganti menjadi daun baru yang segar. Pilihan untuk pindah ke desa tempat kelahiran suamiku ini adalah pertaruhan masa depan. Dia pasti malu pada orangtua dan sanak keluarganya jika menelantarkan anak istri. Suamiku bisa menjadi lebih baik atau sebaliknya, kehidupan kami memburuk.
Saban sore, kami duduk berdua menghitung satu demi satu rupiah yang didapat dari usahanya dalam sehari. Tunas-tunas harapanku perlahan tumbuh. Sayur-mayur, ayam, dan telurnya menjadi salah satu sumber penghasilan kami. Olahragaku sekarang gratis, cukup lari pagi atau jalan santai di sekitaran sawah, tak seperti dulu yang harus menyisihkan sekian puluh ribu rupiah untuk senam diiringi musik berisik. Anak-anakku tak perlu naik kendaraan lagi ke sekolah, cukup jalan kaki saja beberapa puluh meter dari rumah. Lalu, mereka akan menghabiskan siang sampai sore untuk menemani ayahnya mengandangi kerbau, memetik cabai, terong, atau mengambil lele ke kolam belakang rumah untuk dimasak besok pagi.
Diam-diam, aku mulai mensyukuri keputusan ini meski harus kehilangan penghasilan dan prestise sebagai orang kota. Sudah lama aku mendambakan duduk dengan suamiku tanpa sekat angka yang membuatnya tersudut sekian lama karena gajiku selalu di atasnya. Tentang kepedihan kami setahun kemarin, biarlah menjadi catatan, bahwa ia pernah dengan sergap membuka dan menutup pintu garasi melepas istrinya pergi bekerja, sementara ia di rumah mengurus anak-anak.
Biarlah menjadi catatan, bahwa sedikit sekali sahabat sejati di dunia ini yang mau berjuang susah senang sama-sama. Kiranya suamiku menyadari bahwa akulah sahabatnya yang sejati. Dari karet kebo itu, aku belajar untuk menua tanpa menyusahkan, lalu menepi demi kehidupan yang belum tahu ke mana muaranya.
***
Waktu menunjukkan jelang tengah malam ketika ponsel suamiku berdering. Bukan nada dering yang kukenal. Kulirik suamiku yang beranjak mengambil ponsel dan keluar kamar.
“Oh, sudah pulang ke Jakarta? Kapan?” Lamat-lamat kudengar suamiku bertanya, yang kemudian disusul derai tawa. Hatiku entah kenapa mulai menciut.
Tidak berapa lama kemudian, pintu kamar terbuka. “Besok pagi aku ke Jakarta. Kamu di sini saja, yang betah sama anak-anak. Kita enggak perlu khawatirkan uang lagi,” ujarnya semringah sembari memelukku.
Kawan yang telah meninggalkan suamiku terpuruk ternyata telah kembali. Sekarang, ia mau mengajak suamiku pergi, bekerja entah di mana.
Kutatap tiga anakku yang telah lelap, sementara suamiku sibuk berbenah dengan riang. Entah kapan suamiku bisa bermain lagi dengan mereka. Kupeluk dan ciumi mereka satu-satu sambil membisikkan doa, semoga Tuhan menguatkan kami, menguatkan aku yang diuji lagi untuk kesekian kali. ***
.
Menjadi Karet Kebo. Menjadi Karet Kebo. Menjadi Karet Kebo. Menjadi Karet Kebo.
247 total views, 2 views today
Leave a Reply