Cerpen Fahrul Rozi (Kedaulatan Rakyat, 03 Maret 2023)
TUJUH ratus dua puluh hari kesepian. Nasib membawaku pada hari-hari menyedihkan; panas; bermandi peluh; perih; menggigil; dan muntah adalah hal lumrah dalam dua tahun ini. Kapsul, antibiotik, dan jarum infus layaknya makanan sehari-hari. Rumah peninggalan orang tua menjadi tempat istirahat—terakhir—yang nyaman karena berada di bawah gunung. Berbaring sepanjang hari di atas ranjang ditemani Doni, anjing kesayanganku dan seorang suster yang sabar merawatku di rumah merupakan pengalih kesepian. Dua tahun lewat begitu saja seperti musim yang silih berganti. Tidak ada tanda-tanda musim semi akan datang.
Musik jazz tidak semerdu gemerisik pohon bambu dan kicau burung perkutut. Perasaan membara telah mati di musim kemarau. Dan di tengah padang pasir dalam diriku, suster datang dengan embun di matanya. Membawa kehidupan yang hangat.
Suster mengetuk pintu, ia masuk. Aku meminta bantuan suster untuk membuka jendela dan mengambilkan buku. “Mau saya buatkan teh herbal?”
Ah, ia perhatian sekali. Aku mengiyakan tawarannya. Ia pergi. Kamar berukuran 4 meter x 3 meter disergap sepi. Angin berembus mengayunkan gorden jendela. Lembut nan hangat. Jika angin itu berembus sedikit kencang, sudah pasti aku dibawa ke Kerajaan Langit. Lenyap.
Suster datang membawa teko kaca serta cangkir dengan nampan kayu berkilat. Ia menaruh nampan di atas meja dorong. Langkahnya tidak bersuara. Ia menuangkan teh herbal ke cangkir. “Silakan diminum selagi hangat, Pak.”
Sebenarnya aku ingin minum kopi susu, tapi aku yakin suster tidak mengizinkan hal itu. Aku menyeruputnya. Sungguh membuat tenang. Rasanya tidak buruk juga.
Aku membuka buku di atas pangkuanku. Suster duduk di samping ranjang. Memperhatikanku. Ia sudah menemaniku selama satu tahun di rumah. Tak ada seorang yang bertahan menemaniku selama itu. Aku bahagia. Aku senang.
Jika mengingat awal masuk rumah sakit, hanya teman dan kerabat yang datang menjenguk, menguatkan diriku, dan setelah itu mereka pergi. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal. Aku membayangkan mereka sedih di Kerajaan Langit. Aku tinggal sendiri di rumah sakit dan dipaksa melakukan terapi ini dan itu. Tubuhku seperti ditinju berkali-kali sampai bonyok. Aku tetap berdiri dan menghadapi semua itu dengan sabar. Namun, di satu malam aku mengingat pertanyaan mereka, “Apakah kamu bisa menghadapi kesepian panjang?”
Jujur aku seperti tempurung kosong. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan milik seorang. Aku tidak memiliki arti. Hampa. Itulah kebebasan. Dan di hari 360 kesepian datanglah seorang dokter ke kamarku dan menawarkan rawat jalan. Dia bersama suster yang kini merawatku di rumah. “Terima kasih, dokter.”
Aku tahu jika pihak rumah sakit kekurangan kamar dan mereka meminta pasien rawat jangka panjang untuk dipindahkan ke rumah. Aku justru senang bisa keluar dari rumah sakit. Aku bisa melihat Doni kembali. Aku bisa menghirup udara segar.
Aku berhenti membaca buku. Suster segera mengembalikan buku itu ke rak. Ia menuangkan teh herbal ke cangkir, membantuku untuk meminumnya. “Bapak mau istirahat sekarang?”
Aku menggeleng, “Suster, tolong lanjutkan ceritamu kemarin.”
Suster menggeser meja dorong ke pojok kamar lalu ia menarik kursi ke dekatku. Suster memulai ceritanya. Mendengar ceritanya membawaku masuk ke dalam rumah beratap genteng tua dengan sekat kayu mahoni. Di situ seorang perempuan menunggu kepulangan anak laki-lakinya dari sekolah. Namun, sampai kegelapan tiba dia tidak kunjung datang. Hal ini membuatnya cemas dan perasaannya bercampur aduk. Pikiran jahat berdatangan seperti gerimis abadi, menghilangkan akal sehat dan ia mulai berlari-lari.
Suami si perempuan yang melihat tingkahnya bertanya. Si perempuan bercerita dari A sampai Z dan membuat suaminya ikut berlari ke sana-sini. Jam makan malam sudah lewat. Mereka pergi ke rumah tetangga dan menanyakan apakah melihat anakya, tapi mereka tidak menemukan jawaban yang diinginkan.
Suster berhenti. Nafas hangatnya menyentuh kulitku.
“Bapak baik-baik saja?”
“Kepalaku sakit lagi, suster.”
“Mau saya buatkan cokelat hangat?”
“Maaf, aku selalu merepotkanmu.”
“Ini sudah jadi tugas saya, Pak.” Senyum hangat suster mengembang.
Aku berusaha bangkit dari ranjang. Memandang ke luar jendela. Bau kemarau tercium. Bercampur dengan desir lembut daun pohon bambu yang beradu, terdengar gonggong Doni lebih keras dari sebelumnya. Aku mengerti gonggongan Doni. Itu merupakan sinyal bahaya. Aku memanggil suster, tidak ada jawaban. Aku mengulaginya sampai suaraku menghilang. Benar-benar hilang.
Doni berlari ke kamarku. Ia menggonggong kembali. Aku tahu, tapi aku sudah kehabisan energi. Doni menggigit celanaku, menariknya dan aku terkulai di lantai. Ah, sakitnya. Mengapa dia begitu keras kepala menarikku. Aku menerka tingkat bahaya yang menanti di luar. Hal yang membuat Doni takut tentu bukan manusia tapi binatang buas.
Aku menyaksikan Doni berlari di depanku. Angin bertiup melalui jendela. Aku membayangkan ia menarik-narik ujung celana suster lalu mereka pergi, lebih tepatnya lari dari ancaman. Udara panas meruak di dalam kamar, keringat menetes tiada henti. Aku takut sekaligus bahagia. Kesepian akan sirna dan tidak ada yang perlu dicemaskan. ***
.
.
*) Fahrul Rozi, lahir pada 10 Agustus 2001. Penulis lepas dan buruh tata letak buku. Saat ini tinggal di Yogya.
.
720 Hari Kesepian. 720 Hari Kesepian. 720 Hari Kesepian.
Leave a Reply