Akhmad Idris, Cerpen, Kedaulatan Rakyat

Andai Aku Menjadi Kucing

Andai Aku Menjadi Kucing - Cerpen Akhmad Idris

Andai Aku Menjadi Kucing ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

4.8
(4)

Cerpen Akhmad Idris (Kedaulatan Rakyat, 24 Februari 2023)

MATAKU masih sulit kubuka dengan sempurna, sementara Lupus dengan tanpa dosa terus-menerus menjilati hidungku. Biasanya yang membangunkanku adalah alarm HP, namun pagi ini Lupus lebih dulu bangun daripada alarmku. Rasa lapar mendorongnya untuk mengeong berkali-kali, seolah maksudnya ingin berkata, “Bangun, aku lapar.”

Karena jilatan dan bunyi meong yang tak henti-henti, akhirnya aku bangun, kemudian duduk, mengerjap-ngerjapkan mata. Aku baru saja patah hati tadi malam, sehingga kembali bangun menghadapi kenyataan terasa sangat berat bagiku.

Aku bergumam sendiri di dalam hati, sepertinya lebih enak menjadi Lupus daripada manusia. Tak pernah merasakan patah hati, tidak perlu susah mencari makan, dan sisanya hanya bermain serta tidur.

Kemudian aku turun dari ranjang untuk menyiapkan makanan Lupus, lalu kembali tidur lagi. Andai aku menjadi Lupus.

***

Aku terbangun untuk yang kedua kali saat kurasa ada seorang laki-laki tampan mengelus lembut kepalaku. Kubuka mataku secara perlahan dan meeoonggg! Aku ingin beristighfar, tapi yang bisa kuucapkan hanya meeeooonngg dan erangan. Selanjutnya kuamati seluruh tubuhku yang dipenuhi bulu-bulu panjang nan tebal. Aku tak lagi memiliki tangan, sebab yang kumiliki hanya kaki yang berjumlah empat. Aku geleng-gelengkan kepalaku, takut bahwa ini hanya mimpi. Tak ada yang berubah sedikit pun. Aku hanya bisa membatin di dalam hati, ternyata keinginanku dikabulkan Tuhan. Baiklah, hari-hariku setelah ini akan sangat menyenangkan. Aku yakin itu.

Lelaki tampan yang mengelus rambutku tadi kini menggendongku dengan penuh kasih sayang. Ia menyodorkanku sekotak makanan beserta sekotak air yang sangat segar. Aku tahu makanan itu, makanan kucing dengan harga yang paling mahal. Dulu aku sangat penasaran dengan rasanya, tapi tidak mungkin aku mencicipinya. Kini aku akan mengonsumsinya setiap hari.

Baca juga  Punggung

Setelah puas dengan rasa kenyang, aku bebas mencari tempat tidur yang kumau. Baik di kasur yang biasa kutempati, maupun di tempat-tempat lain yang lebih tersembunyi. Bebas dari perintah-perintah Ibu maupun Ayah. Aku juga tak perlu pusing-pusing cebok atau kebingungan gara-gara kehabisan air, sebab saat aku ingin buang air besar maupun air kecil, aku hanya tinggal menuju kotak pasir. Semuanya aku keluarkan di kotak tersebut. Jika sudah selesai, aku tinggal langsung pergi begitu saja. Itu bukan urusanku, sebab itu urusan lelaki tampan yang memelihara aku.

Aku kini menyadari bahwa yang dikatakan oleh banyak orang ternyata benar. Kucing peliharaan akan menjadi majikan, sementara orang yang memeliharanya justru akan menjadi babu.

Hingga pada suatu waktu, aku melihat lelaki tampan mengemasi beberapa baju di sebuah koper besar. Aku ingin bertanya dengan kalimat engkau hendak ke mana, namun yang keluar dari mulutku tetap saja hanya bunyi meong. Entah karena ia paham atau hanya berbicara sekenanya, tiba-tiba ia mengatakan bahwa akan pergi ke luar kota selama seminggu. Untuk pertama kalinya aku mulai bingung sejak aku menjadi Lupus. Lalu nasibku bagaimana? Siapa yang akan memberiku makan? Siapa yang akan mengurusi tahi dan kencingku?

Kali ini ia tidak berkata apa-apa. Ia lebih sibuk dengan urusan kepergiannya selama seminggu. Aku mulai gelisah sepanjang waktu. Aku hanya mondar-mandir dan mengeong berharap ia membatalkan kepergiannya. Setelah selesai berkemas, ia mengelus lembut kepalaku sambil berpamitan.

Kali ini aku merasa menyesal menjadi Lupus. Aku ditinggal sendirian!

***

Dulu saat aku sendirian di rumah, aku akan bermain ke rumah teman-temanku. Kini aku hanya bisa terdiam di rumah lelaki tampan. Ternyata menjadi kucing rumahan tak selalu menyenangkan. Aku tetap diberi makan oleh perempuan setengah tua yang dia mintai tolong, tetapi hanya sekadarnya. Cukup pagi dan sore, sebab hanya untuk memastikan aku tidak mati kelaparan maupun kehausan. Berbeda dengan biasanya, aku hanya tinggal mengeong dan menggesek-gesekkan tubuhku ke kaki lelaki tampan, maka aku akan diberi makan. Kapan pun aku menghendakinya.

Baca juga  Hatarakibachi

Kerjaanku selama seminggu ini hanya tidur dan makan saat perempuan setengah tua itu tiba. Kamar lelaki tampan yang biasa kutempati untuk tidur dikunci oleh perempuan setengah tua tersebut sehingga aku tidak bisa tidur di kasur empuknya. Kini aku tidur kadang di lantai, di kursi, bahkan pernah di depan kamar mandi. Rasanya sangat tidak nyaman. Aku berkali-kali digigiti oleh semut-semut merah gegara tumpahan makananku yang berserakan di lantai. Dengan kondisi empat kaki yang tidak memungkinkan menangkap semut, aku hanya bisa mengandalkan jilatan saat merasa ada banyak semut yang menggerayangi tubuhku.

Aaaaahhh, ini sangat menyiksa! Aku tak bisa tidur nyenyak sedikit pun. Andai aku punya sepuluh jari seperti sebelumnya, pasti sudah kuhabisi seluruh semut-semut jahat ini.

Puncak kekesalanku terjadi saat menginjak hari kedelapan sejak kepergian lelaki tampan, sebab ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Aku sudah tidak kuat lagi menanggung rasa sakit digigiti semut-semut merah. Tubuhku terasa semakin gatal semua akibat sering tidur di depan kamar mandi. Mungkin karena banyak bakteri atau kumannya.

Aku semakin tak berdaya menghadapi ini semua. Aku juga mulai merasakan sakit sekaligus perih di area perutku. Ternyata aku mulai terserang jamur. Aaaaahhh, sial! Ternyata seekor kucing pun bisa merasakan penderitaan. Aku terkulai lemas, lalu pingsan. Tuhan, aku ingin kembali menjadi manusia.

***

Aku kembali terbangun seperti dari tidur yang teramat panjang. Samar-samar masih kuingat kejadian sebelum aku tak sadarkan diri. Kupegangi area perutku, ternyata aku tak lagi dipenuhi bulu. Alhamdulillah, ternyata tak ada yang lebih baik dan lebih beruntung dari aku di dunia ini. Menjadi manusia dan menerima segala apa yang ada. ***

Baca juga  Anu, Mas!

.

.

Surabaya, 19 Juni 2022

*) Akhmad Idris, lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya.

.
Andai Aku Menjadi Kucing. Andai Aku Menjadi Kucing. Andai Aku Menjadi Kucing.

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!