Cerpen, Dennis Halka, Haluan

Sumpah Serapah Dennis Halka

Sumpah Serapah Dennis Halka - Cerpen Dennis Halka

Sumpah Serapah Dennis Halka ilustrasi Haluan

1
(1)

Cerpen Dennis Halka (Haluan, 26 Februari 2023)

AKU melirik arlojiku untuk yang ke-23 kalinya. Pukul setengah tujuh. Kereta api wisata jurusan Pariaman-Padang yang seharusnya tiba setengah jam yang lalu belum juga menunjukkan ujung lokomotifnya. Aku mengisap rokokku, entah untuk yang keberapa kalinya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling peron stasiun. Peron dipenuhi oleh para penumpang yang datang dengan kereta api reguler yang tiba satu jam yang lalu. Satu-satunya alasan kenapa mereka masih tertahan di stasiun adalah karena hujan lebat disertai guntur yang menyalak tanpa henti, yang melanda Kota Padang sedari siang tadi.

Peron yang kecil itu hanya menyediakan beberapa baris kursi besi, sehingga sebagian besar penumpang yang tertahan harus puas berdiri sembari menanti hujan reda. Beberapa orang tampak berkerumun di sekitar pintu keluar. Sebagian tengah mencoba bernegosiasi dengan tukang ojek yang terlihat setengah memaksa, sedang sebagian lainnya hanya menatap bosan pelataran parkir stasiun, berharap kerabat atau teman mereka segera datang menjemput.

Aku tidak melihat Khaira di antara orang-orang itu, yang berarti ia tidak datang dengan kereta api reguler. Melihat banyaknya penumpang yang turun dari kereta api reguler, aku dapat menyimpulkan bahwa Khaira mungkin tidak kebagian tiket reguler dan terpaksa harus berangkat dengan kereta api wisata. Aku bisa membayangkan wanita itu membeli tiket kereta api wisata sambil mengumpat-umpat. Ia memang pelit setengah mati.

Seorang ibu muda yang duduk di sebelahku sambil memangku anak perempuan yang tak henti-hentinya merengek sesekali mendelik ke arahku. Matanya berpindah-pindah dari wajahku ke sebatang rokok yang terselip di antara jemariku. Oh, persetan! Kalau kau sebegitu terganggunya dengan asap rokokku, katakan terus terang! Jangan memandangiku seolah aku bermaksud membunuh anakmu! Aku ingin sekali mengatakan hal itu, tapi kuurungkan niatku.

Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan ponsel yang dipenuhi goresan karena sering terjatuh. Aku mencoba menghubungi Khaira, tapi lagi-lagi nomornya tidak aktif. Aku berdecak kesal. Kalau saja aku tidak tahu orang seperti apa Khaira, maka aku sudah pulang sejak sejam yang lalu. Toh bagaimanapun ia hanya mengabariku bahwa ia akan pulang dengan kereta api reguler, jadi tak ada yang bisa menjamin bahwa ia akan pulang dengan kereta api wisata. Akan tetapi, Khaira pasti akan langsung mengamuk begitu mendapati bahwa aku tidak datang untuk menjemputnya. Kemudian ia akan mulai melempariku dengan piring, gelas, panci, sepatu, atau apapun yang berada dalam jangkauannya. Aku bahkan tidak akan terkejut kalau seandainya ia melempariku dengan kulkas. Selama benda itu masih berada dalam jarak jangkaunya. Bukannya aku takut pada Khaira. Hanya saja, aku sudah tidak punya uang lagi untuk membeli piring maupun gelas baru.

Baca juga  Tarian Sufi

Aku membuang puntung rokokku, lalu mulai menggerak-gerakkan kakiku. Ibu muda di sebelahku kembali mendelik ke arahku. Sepertinya apapun yang aku lakukan selalu terlihat seperti gangguan baginya. Dan tentu saja anak perempuannya masih merengek. Dan entah kenapa ia sepertinya jauh lebih terganggu dengan keberadaanku ketimbang rengekan anaknya yang tak kunjung berhenti itu.

Lantaran bosan, aku menghentikan kegiatan yang tak berguna itu dan mulai menyulut rokok baru. Aku melihat para penumpang yang tertahan di peron telah berkurang setengahnya. Beberapa sepertinya telah dijemput oleh kerabat atau temannya. Sedang yang lainnya terpaksa harus mengalah dengan tarif mencekik para tukang ojek bermantel hujan. Yang tertinggal hanya mereka yang tak punya kerabat atau teman yang datang menjemput, mereka yang tak punya uang lebih, dan mereka yang tak punya keberanian untuk menerjang hujan dan menendang pantat jeleknya.

Aku menghela napas panjang, lantas menyumpahi Khaira dalam hati. Aku menyumpahinya karena telah membuatku bermotor menembus hujan. Aku menyumpahinya karena terlambat dan membuatku menunggu begini lama. Aku menyumpahinya karena membiarkan dirinya tidak bisa dihubungi. Aku menyumpahinya karena merasa ia pantas disumpahi.

Setelah puas menyumpahi Khaira, aku mulai berpikir untuk menyumpahi para pegawai kereta api. Toh terlambatnya kereta api wisata bukan sepenuhnya salah Khaira. Karena itu aku mulai dari menyumpahi mereka satu-persatu. Aku menyumpahi masinis yang lambat memacu keretanya. Aku menyumpahi kondektur kereta yang seringkali membiarkan penumpang tanpa tiket lolos begitu saja. Aku menyumpahi petugas penjaga loket yang tidak menyisakan tiket kereta api reguler untuk Khaira. Aku menyumpahi petugas penjaga pintu perlintasan yang kerjanya hanya duduk-duduk dan main kartu remi.

Aku mulai terbiasa dengan ini, batinku. Ya, aku sangat bersemangat. Hal ini membuatku ikut memasukkan para penumpang yang tertahan di ruang tunggu dalam daftar sumpah serapahku. Aku memulainya dari si ibu muda yang duduk di sebelahku. Aku menyumpahinya karena terus-menerus mendelik kepadaku. Aku menyumpahi anaknya yang tak pernah sedetik pun berhenti merengek. Aku menyumpahi sekelompok remaja yang terkikik-kikik di dekat salah satu tiang di tengah-tengah peron. Aku menyumpahi dua orang bocah laki-laki yang berlarian secara serampangan sambil berteriak-teriak. Aku menyumpahi seorang pria paruh baya yang sedari tadi mondar-mandir tepat di hadapanku sambil menempelkan ponsel di telinganya. Dan tentu saja aku tidak melupakan para tukang ojek dengan mantel hujannya yang berkibar-kibar seperti jubah Superman. Aku menyumpahi mereka karena… Karena apa ya? Ah, entahlah. Anggap saja bonus.

Baca juga  Bukan Persinggahan Sesaat

Setelah puas menyumpahi semua orang, aku berhenti sejenak lalu mengisap rokokku. Tepat beberapa detik sebelum aku mulai berpikir untuk menyumpahi Tuhan, aku mendengar peluit kereta api dari kejauhan. Tak selang berapa lama kereta api tersebut akhirnya merapat di stasiun. Aku melihat banyak sekali penumpang yang turun. Kemudian aku melihat Khaira di antara mereka. Ia berlari melintasi rel menuju peron seraya melindungi kepalanya dari hujan. Aku seketika bangkit untuk menyongsongnya. Sesaat sebelum bangkit aku sempat menoleh ke arah si ibu muda di sebelahku. Setelah dilihat-lihat, dia ternyata lumayan cantik. Anak perempuannya masih merengek tentu saja.

Saat akhirnya berhadap-hadapan dengan Khaira, aku bisa melihat beberapa bagian tubuhnya basah karena hujan. Ia menyandang tas kanvas di bahunya. Rambut pendeknya tampak berantakan, seolah-olah ia baru saja berlari bersama kereta api, bukan menaikinya. Aku sangat senang melihatnya. Senang karena aku akhirnya bisa melampiaskan kekesalanku. Senang karena aku akhirnya tak perlu lagi menyumpah dalam hati. Namun, ketika aku baru akan meluncurkan kata makian pertamaku, ia tiba-tiba tersenyum.

Senyuman yang begitu indah. Terasa begitu alami, seakan senyuman itu telah bertengger di bibir mungilnya semenjak ia lahir. Matanya, tidak, bahkan seluruh wajahnya juga ikut tersenyum. Senyuman itu senyuman yang sama yang membuatku tergila-gila padanya bertahun-tahun yang lalu. Senyuman yang sama yang membuatku membuang jauh-jauh masa lajangku. Senyuman yang tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. “Maaf,” ujar Khaira, masih tersenyum.

Aku kehilangan kata-kata. Selama semenit yang terasa begitu panjang, aku hanya bisa terpaku. Saat tersadar, aku mulai menyumpahi diriku sendiri. Menyumpahi diriku karena sekali lagi jatuh cinta kepadanya. ***

Baca juga  Dia yang telah Kubunuh

.

.

Dennis Halka senang melamun dan membaca. Terkadang hanya melamun, terkadang hanya membaca. Saat ini masih tertahan di Kota Padang, mengerjakan pekerjaan remeh-temeh di sebuah perusahaan media, sambil sesekali melamun dan membaca di kala senggang.

.
Sumpah Serapah Dennis Halka. Sumpah Serapah Dennis Halka. Sumpah Serapah Dennis Halka.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!