Cerpen Hash Mimi (Koran Tempo, 12 Maret 2023)
SEMUANYA tampak biasa saja sore itu. Seperti hari-hari sebelumnya. Gulnaz akan menghabiskan waktu senja hari dengan menikmati teh susu, biskuit, dan menonton drama favoritnya di saluran PTV (Pakistan Television) di lantai atas rumah. Dia duduk di sofa di samping jendela. Drama TV dalam durasi setengah jam itu telah usai dengan menyisakan rasa yang hangat sekaligus pahit; hangat, melihat tokoh utama dan pasangannya berakhir bahagia, menua bersama; pahit karena dalam kehidupan nyatanya, dia tidak dapat hidup bersama hingga akhir hayat dengan suami tercinta.
Matanya memindai sudut ruangan. Tampak di sana foto mendiang suaminya yang gagah dalam balutan seragam militer. Sudah tujuh tahun berlalu sejak dia gugur dalam tugas. Tidak mudah baginya memupus kenangan. Dia, pria pertama dan terakhir dalam hidupnya. Kehilangannya seperti kehilangan napas kehidupan. Bukan berarti tidak ada baginya kesempatan kedua; bukan pula karena melekatnya status janda yang masih menjadi anggapan miring di masyarakat. Dia menolak beberapa proposal dari kerabat dan kolega suami, hanya karena dia ingin menyimpan kesetiaan itu hingga akhir hayat. Bagaimanapun juga, roda kehidupan masih terus berputar. Seperti pepatah Persia yang selalu diingatnya, īn nīz bogzarad, hal ini juga pasti akan berlalu. Dengan mengandalkan uang pensiun suami dan pekerjaan sebagai guru privat bahasa Inggris untuk persiapan ujian O level Cambridge, dia dapat menopang kehidupan dirinya dan anak semata wayangnya, Gul Sher.
Jam di dinding berdetak menuju angka enam. Matahari di ufuk barat sudah mulai beranjak pergi. Burung-burung yang menghiasi langit senja beterbangan mencari jalan pulang. Sayup-sayup terdengar suara azan magrib dari masjid di ujung jalan. Sebentar lagi, Gul Sher akan datang.
Tiba-tiba muncul siaran “breaking news”, mengambil alih iklan komersial yang sedang tayang.
“Assalamu’alaikum. Telah terjadi penyerangan terhadap Victory College di Peshawar oleh pasukan bersenjata hari ini. Sekelompok orang tak dikenal diduga memasuki wilayah kampus melalui tembok belakang. Mereka telah menyandera dan melukai puluhan mahasiswa. Saat ini pasukan anti-teroris telah berhasil masuk dan melumpuhkan mereka….”
Remote yang berada di tangan Gulnaz terjatuh. Dia duduk mematung, mencoba mencerna kembali apa yang diucapkan oleh penyiar berita itu. Victory College. Diserang. Mahasiswa.
Tiba-tiba dari arah pintu rumah terdengar suara orang menggedor-gedor.
“Gulnaz, Gulnaz, buka pintunya!”
Bagai tersadar dari lamunan, Gulnaz beranjak menuju pintu. Tampak kakaknya, Zaheed, dan istrinya, Bushra. Raut wajah mereka menyiratkan kekhawatiran.
“Kamu sudah lihat berita ‘kan?” tanya Zaheed.
Bibir Gulnaz bergetar, tanpa sepatah suara keluar. Tampak jelas wajah tirus itu memucat dan tegang. Bushra memeluknya erat dan menangis.
“Sudah, jangan menangis. Saat ini lebih baik kita segera ke sana,” perintah Zaheed.
Bushra dengan sigap membantu mengenakan burkak ke seluruh tubuh Gulnaz, lalu menuntunnya ke luar. Namun, tepat di depan pintu tiba-tiba Gulnaz berhenti.
“Gulnaz?” tanya Zaheed dan Bushra hampir bersamaan.
Gulnaz menatap mereka berdua, “Tu-tu-tunggu, aku belum salat magrib.”
***
Selama perjalanan, Gulnaz sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia berusaha keras untuk tidak menangis. Tidak untuk saat ini. Dia percaya putranya akan baik-baik saja. Pandangannya beralih ke arah jendela. Dia tahu persis saat ini berada di jalan Dalazak. Putranya sering mengantarnya berbelanja di sini, terutama di bawah jembatan layang. Dia selalu sabar mengantarnya ke mana saja sejak dia memperoleh SIM sepeda motornya setahun yang lalu. Namun, saat ini, jalan yang biasanya ramai dipenuhi deretan toko, para pedagang, dan pengguna ruas jalan itu seakan-akan mati. Lengang. Tidak terlihat orang-orang berjalan, tidak tampak mobil ramai lalu-lalang. Seakan-akan jalan ini, kota ini, turut meratapi tragedi kemanusiaan yang baru saja terjadi.
Mendekati lokasi Victory College, terlihat aparat militer berpatroli di hampir setiap sudut jalan. Akses jalan menuju Victory College ditutup. Jika saja mereka bukan pihak keluarga, tentulah Zaheed tidak akan bisa membawa mobilnya ke sana. Namun, beberapa meter dari depan gerbang Victory College, aparat militer menghentikan mereka. Di sana banyak mobil dari pihak keluarga korban yang juga menunggu dengan perasaan penuh cemas, berbaur dengan pasukan elite berseragam hitam—Anti Terrorist Squad.
Raungan tangis menggema bersama dengan suara ambulans yang sigap menjemput tubuh korban-korban yang tewas dan terluka. Gulnaz berjalan mendekati ambulans. Matanya mencari-cari putra tercintanya. Dia memegang dadanya, berusaha menenangkan degup jantung yang jauh lebih kencang dari biasanya. Langkah kakinya tak mantap, tetapi dia tak ingin putus harapan. Dia berkeras untuk menemukan putranya.
“Gulnaz!” teriak Zaheed.
“Aku tidak menemukannya! Dia tidak ada, Bhai,” ucap Gulnaz dengan nada hampir putus asa.
“Sabar. Barusan pihak militer meminta semua keluarga korban pergi ke rumah sakit dan mencari anggota keluarganya di sana. Ayo, kita pergi!”
***
Setibanya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang gawat darurat. Zaheed menuliskan nama keponakannya di hadapan petugas. Lalu, petugas itu meminta mereka duduk menunggu informasi. Suasana rumah sakit sangat gaduh oleh teriakan dan tangisan para keluarga korban.
Gulnaz duduk dengan gelisah. Cobaan ini seperti air sungai yang dalam dan tenang dari pegunungan, mulai mengalir deras setiap kali menghadapi batu-batu cadas di permukaan, dan semakin keras dengan terpaan angin yang terus-menerus menggoyahkan keyakinan. Pertahanannya pun luruh, dirinya terhanyut. Gulnaz tak tahan lagi untuk menumpahkan segala rasa yang ada.
Dia tak habis pikir kenapa musibah serupa menimpanya lagi. Rasanya seperti baru kemarin suaminya meninggal ketika memimpin operasi penumpasan para pemberontak yang bersembunyi di balik pegunungan di wilayah utara Pakistan. Butuh bertahun-tahun dia mencoba bertahan melawan kesendirian dan berjuang menghidupi diri dan anaknya.
Saat ini, Gulnaz hanya mampu berucap, in niz bogzarad, hal ini juga akan berlalu, hal ini pasti akan berlalu. Setiap takdir baik dan takdir buruk tidak digariskan untuk selamanya. Berkali-kali diucapkan, seperti mantra yang membantunya menghadapi realitas, menerima nasib yang telah ditentukan Tuhan.
Sedangkan Zaheed berjalan mondar-mandir dengan gelisah, lalu terduduk lemas di bangku, dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya berguncang. Gul Sher sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Para penyerang itu menganggap tindakannya sebagai bentuk aksi balas dendam atas operasi militer yang ternyata telah turut menghabisi nyawa anak-anak mereka. Lalu, kapan rantai dendam ini akan berakhir?
Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari petugas rumah sakit. “Pihak keluarga Gul Sher, adakah?”
“Saya… saya.” Zaheed segera beranjak dari duduknya dan setengah berlari menghampiri petugas itu.
“Sahab (Tuan), silakan ke ruangan nomor dua.”
Zaheed mengisyaratkan Bushra dan Gulnaz mengikutinya ke ruangan itu. Di sana seorang dokter mendekati Zaheed dan menepuk pundaknya.
“Silakan masuk, dia sudah menunggu kalian di dalam,” ujar dokter itu dengan tatapan penuh iba sebelum berlalu meninggalkan mereka. Pasien-pasien lain telah menunggu.
Gulnaz masih terpaku di depan pintu ruangan. Dalam pandangannya dia melihat tubuh suaminya yang terbaring di sana, penuh luka-luka. Di sudut ruangan tampak sosok dirinya waktu berusia tujuh tahun, menangis kencang setelah kehilangan boneka kesayangan, boneka terakhir pemberian ibunya sebelum meninggal.
***
Tiga hari setelah pemakaman, Gulnaz akhirnya berkesempatan mengunjungi makam Gul Sher. Dia memanjatkan doa ke atas langit dengan khusyuk, menaburi bunga, dan menyiramkan air ke atas gundukan tanah yang masih merah. Tiba-tiba kenangan saat anaknya berusia sepuluh tahun membacakan puisi di atas panggung sekolah muncul dalam benak. Dengan lirih Gulnaz membacakan potongan bait-bait terakhir puisi “Maa Ka Khawab” (“Mimpi Seorang Ibu”) karya pujangga Iqbal itu. *)
.
Kaha Mein Ne Pehchan Ker, Meri Jaan! / Mujhe Chor Ker Aa Gye Tum Kahan?
Judai Mein Rehti Hun Main Be-Qarar / Paroti Hun Her Rouz Ashkon Ke Haar
Na perwa Humari Zara Tum Ne Ki! / Gyer Chor, Achi wafa tum ne Ki!
Jo bache ne dekha mera peach O Taab / Diya Uss Ne Munh Phair Ker yun Jawab
Rulati Hai Tujh Ko Juddai Meri / Nahin Uss Mein Kuch Bhi Bhalai Meri
Yeh Ker Ker Vo Kuch Dair Tak Chup Raha / Diya Phir Dikha Ker Ye Kehne Laga
Samajhti Hai Tu Ho Gaya Kya Issay? / Tere Aanasuon Ne Bhujaya Issay!
.
(Wahai sayangku, kenapa kau meninggalkanku di sana? / Karena berpisah, aku merana. Mengenalinya aku berucap, “Oh, Sayangku!” / Mengapa kau meninggalkanku di sana? / Perpisahan denganmu membuatku merana / Kumenangis setiap hari, selamanya / Kau tetap tak peduli, sedikit pun / Kesetiaan macam apa ini, kau meninggalkanku / Kala anak itu melihatku bersedih, dia berbalik arah dan menjawab, “Perpisahan denganku membuatmu menangis, tiada guna bagiku sedikit pun / Setelah berkata dia terdiam sesaat / Menunjuk pelita lalu berkata / “Mengertikah kau apa yang terjadi dengan ini? / Air matamu memadamkan pelita ini!”)
Gul Naz berjanji dalam hati untuk tidak larut meratapi kepergiannya. Suka atau tidak suka, roda kehidupan akan terus berjalan. Īn nīz bogzarad. Hal ini juga akan berlalu, saatnya membuka lembaran kehidupan yang baru. ***
.
.
24/2/2023
.
Keterangan:
– Īn nīz bogzarad: ( این نیز بگذرد ) Hal ini juga akan berlalu, adalah pepatah bahasa Persia yang dulunya digunakan para penyair Persia abad pertengahan. Secara umum, kalimat itu untuk memaknai setiap peristiwa, nasib kehidupan anak manusia—baik ataupun buruk—tidak bertahan untuk selamanya. Selama roda kehidupan terus berputar, takdir manusia pun terus berjalan, silih berganti.
– “Mimpi Seorang Ibu” = berjudul asli “Maa Ka Khawab”, salah satu puisi dalam kumpulan puisi Bang-e-Dara (Lonceng Karavan, dipublikasikan pada tahun 1924) karya pujangga asal Pakistan, Allama Iqbal (1877-1938). Puisi ini diadaptasi dari puisi yang berjudul For My Children—William Cowper, pujangga Inggris.
.
.
Hash Mimi, hanya seorang ibu rumah tangga yang ingin menjelajahi dunia melalui buku yang dibaca dan kisah yang ditulisnya.
.
Īn Nīz Bogzarad.
303 total views, 37 views today
Leave a Reply