Cerpen, Puspa Seruni, Solopos

Bersekutu dengan Hantu

Bersekutu dengan Hantu - Cerpen Puspa Seruni

Bersekutu dengan Hantu ilustrasi Hengki Irawan/Solopos

3.8
(5)

Cerpen Puspa Seruni (Solopos, 11-12 Maret 2023)

TEPAT setelah anggukan pelan, lelaki berbadan besar dan menjulang itu memajukan wajahnya kepada perempuan di hadapannya yang memandangnya dengan sorot ketakutan.

Kumis lebat dan hitam di atas bibir lelaki berikat kepala itu menyentuh sudut bibir perempuan bermata rembulan itu. Tadinya dia mengira itu adalah kecupan biasa, sebagaimana banyak lelaki juga kerap melakukan itu setelah memberinya sejumlah uang. Akan tetapi, ada rasa panas membakar yang ditinggalkan yang kemudian menjalar ke seluruh badan.

Bahkan terdengar gelegar dan riuh angin menggoyang dahan-dahan. Saat dia sibuk mengamati langit yang tiba-tiba saja berubah gelap, lelaki di hadapannya sudah menghilang. Seketika hatinya dilanda cemas dan ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar.

Dia bergegas meninggalkan tempat yang menurut banyak orang adalah tempat perkawinan hantu-hantu malam.

***

Seperti semut yang kocar-kacir di atas tanah, orang-orang itu berlarian ke sana ke mari tidak tentu arah. Terlihat beberapa orang saling menubruk, yang lainnya terpental karena menghantam pepohonan atau pagar-pagar rumah. Kedua tangan mereka sibuk menutupi wajah dan mata.

Debu halus dan berwarna abu-abu menyiram langit desa membuat rambut, kulit, hingga daun-daun berubah warna menjadi kelabu. Suara guntur dan kilat membelah angkasa, membuat langit sesekali terang. Pohon-pohon tumbang. Tanah mengeluarkan suara berderak seolah akan terbelah. Jerit tangis ketakutan menggema di udara.

Bencana itu datang tiba-tiba, saat hampir seluruh warga desa masih lelap seusai berpesta. Gelaran tari tayub yang baru usai dini hari itu membuat mata mereka digelayuti kantuk yang luar biasa.

Warga desa tidak menyadari, tepat saat gamelan berhenti ditabuh dan para penyawer kembali ke tempat duduk mereka lalu selendang penari berhenti dikibaskan, sepoi angin dingin dengan gemanya yang lirih mulai merayapi desa. Angin yang membawa gigil juga sebuah penyakit yang membuat mata perih dan dada sesak.

Pesta yang diselenggarakan sebagai tanda syukur atas perginya Rukmi dari desa digelar begitu meriah. Warga bahu-membahu menyiapkan makanan dan minuman. Para juragan bahkan perlu mengundang rombongan tayub terbaik di seluruh kademangan. Mereka menikmati hari di mana desa tidak lagi dihuni seorang perempuan yang dianggap pembawa sial.

Mulanya Rukmi adalah seorang dara desa jelita yang hidupnya lurus-lurus saja. Dia anak buruh tani yang terangkat derajatnya saat dinikahi seorang pedagang dari kota.

Dari gadis kampung, Rukmi berubah menjadi istri saudagar yang hidupnya berkecukupan. Warga desa yang merasa anak gadisnya lebih jelita daripadanya merasa curiga. Meraka menduga-duga ada tangan-tangan gaib yang bekerja.

Baca juga  Lelaki Itu Ingin Salat Id di Kampung Kelahiran

Kehidupan Rukmi yang dimanja dengan banyak kemewahan dan kehangatan sikap sang suami membuat para orang tua—yang merasa iri karena anak gadisnya tidak mendapat keberuntungan serupa—mulai menggunjing di belakang, mulai menyebarkan buah pikiran mereka yang liar, yang berisi praduga dan imajinasi, bahwa si perempuan bermata rembulan itu menggunakan guna-guna.

Rukmi dan orang tuanya dituduh bersekutu dengan hantu atau dengan roh-roh dari masa lalu. Bisikan-bisikan itu berubah menjadi desas-desus yang berkembang menjadi gunjingan lalu menjadi cemoohan dan tidak lama kemudian berubah menjadi fitnahan.

Kecurigaan warga semakin menjadi saat beberapa bulan sesudah Rukmi menikah, kedua orang tuanya tewas karena sebuah musibah. Keduanya ditemukan mati tersambar petir di tengah ladang.

Ditambah beberapa bulan sesudahnya, suami Rukmi, juga ikut meregang nyawa. Laki-laki gagah yang terlihat bugar itu hanya mengeluh sakit kepala dan pamit untuk tidur, tetapi kemudian tidak pernah bangun lagi.

Dalam tempo hanya tiga bulan, perempuan bermata rembulan itu didera kehilangan yang menyesakkan dada. Rumahnya menjadi sedemikian sunyi.

Warga yang merasa dugaan mereka terbukti nyata melontarkan sebutan kepada Rukmi sebagai perempuan pembawa sial.

Setelah melewati masa idah, datang seorang pemuda yang menaruh kasihan kepadanya dan berniat melamarnya. Pernikahan kedua pun terjadi. Pemuda tinggi tegap itu—yang memiliki otot-otot yang kuat—adalah seorang abdi di kademangan.

Meski hidupnya tidak semewah sebelumnya, Rukmi tetap merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu lagi-lagi terusik fitnah warga yang terus menuduhnya bersekutu dengan hantu dan roh-roh masa lalu untuk menjerat suaminya yang baru. Perempuan bermata rembulan itu menutup telinga, mengabaikan gunjingan tentang dirinya.

Akan tetapi sayangnya lelaki abdi demang itu pun akhirnya meninggal dunia. Takdir seolah bersekutu dengan warga dan turut menegaskan bahwa Rukmi memang perempuan pembawa sial.

Lelaki yang baru menikahinya enam bulan itu awalnya hanya menderita bintik-bintik kecil, merah, dan gatal di sekitar leher belakang kemudian menyebar hingga punggung juga dada. Ruam-ruam itu membuat tubuh abdi demang itu mengalami demam bermalam-malam hingga akhirnya meninggal.

Rukmi kembali menjadi cemoohan. Warga tak lagi sembunyi-sembunyi menjulukinya perempuan pembawa sial. Kehilangan orang-orang terdekat dalam waktu singkat membuat tuduhan itu seolah benar.

Perempuan bermata rembulan itu dikucilkan, keberadaannya dihindari, ketiadaannya digunjingkan. Rukmi sendirian tanpa pekerjaan apalagi warisan. Dia mengurung diri di dalam rumah dan hanya makan dari sisa simpanan beras dari lumbungnya. Saat persediaan makanannya habis, mau tidak mau dia harus ke luar rumah untuk bekerja.

Baca juga  Sesudah Tubuh Terpisah

“Pergi, jangan bawa sial di sini,” ucap seorang perempuan tua pemilik warung yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

“Aduh, perempuan seperti kamu bisa kerja apa di ladang,” sahut seorang tuan tanah yang sawahnya berhektare-hektare.

Rukmi ditolak di mana-mana. Perutnya berbunyi, memberi tanda bahwa sudah sejak kemarin belum terisi. Dia mengerutkan kening, memutar otak agar bisa makan.

Pikiran buntunya telah memberinya ide untuk membuka gubuk kecil di pinggir hutan di luar desa di dekat jembatan yang menghubungkan desa-desa di kademangan. Warung itu hanya menjual kopi dan pisang goreng dan lebih sering terlihat sepi tanpa pembeli.

Hanya ada satu-dua orang yang lewat singgah untuk melepas lelah. Setelah itu, ada banyak macam makanan yang dijual, termasuk juga dirinya. Terobosan itu membuat warung Rukmi menjadi ramai.

Warga desa yang mengetahui kegiatan bisnis Rukmi kembali tidak terima. Apalagi saat gubuk-gubuk baru ikut muncul di kanan-kirinya. Rukmi tidak bekerja sendirian lagi, dia mengajak gadis-gadis lain—yang mengaku juga dibuang oleh keluarga atau terusir dari desanya—untuk ikut bersamanya. Rukmi sudah menjadi seorang juragan.

Merasa desa akan tercemar ulah Rukmi, warga mengerahkan segala daya untuk membongkar paksa gubuk-gubuk itu dan mengusir pelakunya. Mereka tidak peduli pada kemarahan perempuan pembawa sial yang berganti julukan menjadi perempuan sundal itu.

Perlawanan yang dilakukan Rukmi dan gadis-gadisnya sia-sia. Gubuk-gubuk itu dihanguskan dan hanya menyisakan bara berwarna merah. Rukmi dan gadis-gadis itu lari tunggang langgang terus masuk hutan, bersembunyi dari kejaran warga.

Kaki-kaki mereka terus berlari, masuk ke tengah hutan yang rimbun dan gelap. Saat mereka kelelahan, mereka duduk bersandar di sebuah pohon tinggi dan rindang. Mereka menangis bersama-sama, terutama Rukmi yang sudah merasa lelah selalu menjadi bulan-bulanan warga.

Saat berkalang dengan keputusasaan, seorang lelaki berikat kepala warna hitam dengan kumis tebal melintang tiba-tiba datang dan berdiri di hadapannya. Lelaki berkulit gelap itu menyeringai seram disertai desiran angin yang dingin hingga membuat kuduk meremang. Diselimuti ketakutan, para gadis sontak berlarian meninggalkan Rukmi yang masih terduduk sambil mengusap air matanya.

Lelaki itu kemudian bertanya mengapa seorang perempuan masuk jauh hingga ke tengah hutan. Rukmi awalnya tak menggubris, dia sudah lelah mengingat pilinan takdir yang sering tak berpihak kepadanya.

Akan tetapi, bujukan lelaki bertubuh menjulang yang terlihat menyeramkan itu, membuat Rukmi akhirnya mau saja bercerita. “Jangan khawatir, aku akan menolongmu,” ucapnya lembut sambil berjongkok di hadapan Rukmi.

Baca juga  Mayat Itu Cantik Sekali

Rukmi mengernyit heran dan menatap lelaki itu dengan pandangan menyelidik. Kedua mata lelaki itu seperti lumpur hidup yang mengisap Rukmi dengan kuat. Perempuan bermata rembulan itu kemudian tersenyum.

“Benarkah?” tanyanya heran. Setelah banyaknya penolakan dan pengusiran, ada juga seseorang yang sudi menolongnya.

“Iya, tentu saja. Warga harus mendapat balasan karena sudah memfitnahmu bersekutu dengan hantu. Rasa iri di dalam dada mereka sudah berubah menjadi kedengkian.”

“Mengapa kamu mau menolongku. Apa imbalannya?” Rukmi tidak begitu saja percaya.

Lelaki yang masih berjongkok itu tampak berpikir sebentar kemudian tersenyum lebar.

“Pulanglah ke desamu setelah ini. Ambil jalan memutari bukit di sana untuk mengulur waktu. Kemudian menikahlah.”

“Tidak ada yang mau menikah dengan perempuan sepertiku,” jawab Rukmi lirih.

“Ada, tunggu saja. Dia akan datang ke desamu dua purnama lagi. Anak pertama yang lahir dari pernikahan itu berikan padaku. Itu imbalannya. Bagaimana?”

Lelaki berikat kepala hitam itu tersenyum memperlihatkan geliginya yang kekuningan. Meski terkejut, Rukmi mengangguk tanpa sadar. Mata lelaki itu telah membuat perempuan bermata rembulan itu memenuhi kemauannya.

Saat dia masih terkejut mendengar imbalan yang diminta, lelaki berikat kepala itu memajukan wajah dan mencium perempuan di hadapannya. Angin tiba-tiba saja datang berembus kencang, menandai permulaan persekutuan itu. Seluruh tubuh Rukmi menggigil kedinginan. Saat laki-laki itu menghilang, Rukmi semakin gemetar.

“Apakah aku sudah bersekutu dengan hantu-hantu penunggu hutan?” gumamnya ketakutan. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, mengamati dahan-dahan yang berliuk-liuk tersapu angin. Rukmi merasa menyesal telah setuju.

Dia segera beranjak, berlari menuju bukit yang ditunjuk oleh lelaki berikat kepala hitam. Rukmi heran larinya terasa ringan. Sepasang sayap mulai tumbuh di kedua bahunya. Sayap-sayap itu membuat tubuhnya seperti melayang.

“Bukan salahku… bukan salahku. Bukankah mereka yang sejak dulu menginginkan aku bersekutu dengan hantu? Aku hanya mewujudkan apa yang mereka tuduhkan supaya mereka tahu bagaimana rasanya berhadapan dengan perempuan yang bersekutu dengan hantu,” gumam Rukmi. ***

.

.

Puspa Seruni, penulis kelahiran Situbondo-Jawa Timur yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.

.
.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!