Cerpen Prima Yuanita (Kaltim Post, 26 Februari 2023)
PADA mulanya lelaki tua itu hanya suka memakai seragam ke mana-mana. Setiap hari, dengan atribut lengkap yang melekat. Kecuali Minggu, ia akan berjalan-jalan di sekitar taman menikmati udara segar. Tetapi ia tetap mengenakan seragam. Seragam olahraga yang agak kedodoran.
Bagi dia, berseragam itu menyenangkan. Orang-orang menjadi hormat dan segan. Apalagi saat bertemu di jalan. Mereka akan tersenyum, membungkuk, membunyikan klakson, atau kadang-kadang mendahulukan lelaki tua agar berjalan di depan.
Kebiasaan memakai seragam telah melekat sedemikian kuat, bahkan membuat lelaki tua enggan melepasnya tatkala memasuki masa purnatugas.
Maka pada Senin awal Maret bertepatan dengan hari pertama purnatugasnya—seusai mandi dan sarapan—lelaki tua tetap memakai seragam dan menyemprotkan minyak wangi ke pakaiannya yang sudah licin. Bahkan, ia masih datang ke kantor selaiknya pegawai.
“Bukankah Kaik sudah pensiun?” tanya seorang pegawai perempuan.
“Masih ada yang harus kuurus di TU,” jawab lelaki tua sambil membuka-buka koran yang tergeletak di meja beranda. Dan pegawai perempuan, yang tak sedikit pun menaruh curiga, manggut-manggut. Padahal lelaki tua hanya mengeluarkan omong kosong.
Setiap ada orang yang lewat di beranda, lelaki tua menyapa mereka dengan semringah seolah ia lupa telah beranjak tua. Ia juga mengajak tukang kebun—yang sebenarnya pendiam dan hanya sering duduk di depan gudang—bergosip. Mereka berbicara apa saja mulai dari keruwetan di jalan raya hingga kecerewetan istrinya. Lalu mereka terbahak bersama-sama.
“Dasar kurang kerjaan!” celetuk salah satu pegawai lelaki berambut keriting dari dalam ruangan. Di samping pegawai itu bertumpuk dokumen yang mendekati deadline.
“Berisik sekali!” seorang pegawai berkacamata melongok ke jendela. Kemudian yang lain berdecak dan menggeleng.
Dan begitulah lelaki tua tak tahu diri datang lagi untuk keesokan hari. Ia duduk di kursi panjang di beranda dan menyapa orang yang lewat. Ada yang membalas senyumnya, namun lebih banyak yang melengoskan muka.
“Pegawai muda zaman sekarang sok pintar. Sombongnya minta ampun,” gumam lelaki tua.
Sementara dari dalam ruang TU, yang dibanjiri pegawai perempuan, salah satu dari mereka mulai membicarakan lelaki tua.
“Seharusnya Kaik di rumah saja momong cucu!”
“Ngapain ngurusin dia sih!” sahut pegawai lain.
“Iya, cuekin aja! Paling sebentar lagi ia bosan,” timpal yang lain lagi.
Pada akhirnya mereka sibuk memikirkan diri sendiri.
Namun ternyata lelaki tua tak juga jengah datang. Orang-orang pun mulai risih. Sedangkan kepala kantor mereka tampak tak acuh. Semula lelaki tua hanya bercengkerama dengan tukang kebun, lambat laun pegawai laki-laki yang setahun lagi pensiun ikut nimbrung. Dan suara mereka mengusik ketenangan pegawai lain saat bekerja. Bahkan kadang mereka ngobrol sambil menyalakan televisi dengan volume nyaring.
Para pegawai mengeluh dengan sikap lelaki yang semakin tua semakin jadi itu. Maka siang itu ketika rapat bulanan—yang tanpa dihadiri lelaki tua—diadakan, satu per satu dari mereka mengutarakan kekesalannya.
“Pak Bos harus bertindak supaya Kaik kapok.”
“Jangan boleh lagi ia datang ke kantor!”
Kepala kantor berusaha bijaksana menanggapi pendapat para pegawainya. Ia berjanji sepulang kerja nanti menyampaikan keluhan-keluhan mereka pada lelaki tua. Setelah menunggu waktu yang tepat, kepala kantor segera melakukan apa yang diminta para pegawai ketika rapat.
Sore itu, orang-orang sudah berkemas, termasuk lelaki tua. Ia menepuk-nepuk seragam kebanggaannya yang kusut karena berjam-jam duduk menonton acara berita.
“Pak Bos meminta Kaik menghadap sekarang,” ucap tukang kebun.
“Memang ada apa?” lelaki tua tampak terkejut.
“Saya kurang tahu, Kaik. Beliau sudah menunggu di ruangan.”
Lelaki tua memicing, “Ada apa gerangan sampai aku disuruh menghadap?” batinnya bingung.
Dengan langkah terbata-bata kemudian ia menapaki tangga menuju lantai dua. Ia mengetuk pintu yang menghadap ujung atas tangga. Senyuman dingin menyambut kedatangannya. Lelaki tua dipersilakan duduk di depan meja yang terdapat papan nama bertuliskan kepala kantor.
Tanpa berpanjang lebar, lelaki 44 tahun itu menyampaikan permintaan para pegawai agar lelaki tua tak lagi masuk kantor. Ia berusaha berbicara dengan nada lembut sebagai atasan namun lelaki tua itu tersinggung dan murka.
“Memangnya kalian siapa berani berkata demikian? Aku terlahir di kota ini. Kantor ini tumbuh bersamaku. Sementara kalian itu pendatang dan hanya menjadikan kantor ini sebagai batu loncatan. Pada akhirnya kalian mengajukan pindah dan pulang ke kampung halaman!” gertak lelaki tua. Suaranya yang serak menyembur, membuat kepala kantor mulai meradang.
“Saya datang ke sini karena mematuhi perintah, Kaik. Bukankah mematuhi perintah adalah kewajiban? Seharusnya Kaik sudah tahu itu. Lagi pula tidak ada yang salah jika di antara kita datang dan pergi silih berganti di kantor ini. Yang salah adalah jika kita tak mau taat pada aturan yang sudah ditetapkan,” tegas kepala kantor, “apabila Kaik merasa sebagai orang yang taat terhadap peraturan, tolong mulai besok tidak perlu datang lagi!”
Dada lelaki tua itu kembang kempis. Ia menggebrak meja kepala kantor dengan tatapan nanar.
“Oke! Saat ini kau mungkin bisa berbuat sesukamu. Tapi, aku mau lihat sampai kapan kau akan bertahan. Paling-paling bentar lagi kau akan kembali ke tempat anak istrimu di kota seberang.”
Lelaki tua meninggalkan ruang kepala kantor dengan perasaan menggondok. Sementara di sana sang kepala kantor tampak sedang termenung memikirkan apa yang diucapkan lelaki tua tadi.
Dan sampai di sinilah cerita tentang lelaki tua itu berakhir. Sebenarnya cerita ini tidak benar-benar terjadi di dunia nyata. Saya menulisnya lantaran bingung karena dua hari lagi saya akan memasuki masa purnatugas. Sementara saya masih sangat nyaman berseragam dan bekerja di kantor. Jadi tolong beri tahu pada saya, kira-kira kegiatan apa yang bisa saya lakukan supaya saya tidak mengikuti tindakan konyol lelaki dalam cerita tadi? ***
.
.
Prima Yuanita. Penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bertangga nada mayor. Bisa duhubungi melalui akun Facebook: Prima Yuanita dan Instagram: prima_yuanita.
.
Lelaki yang Selalu Berseragam. Lelaki yang Selalu Berseragam. Lelaki yang Selalu Berseragam.
Leave a Reply