Cerpen, Febrie Hastiyanto, Suara Merdeka

Bapak Tentara dari Letung

Bapak Tentara dari Letung - Cerpen Febrie Hastiyanto

Bapak Tentara dari Letung ilustrasi Suara Merdeka

2
(3)

Cerpen Febrie Hastiyanto (Suara Merdeka, 02 Februari 2023)

: Untuk Erick

SORE itu saya sudah ditunggu teman-teman kos. Langit tahun 2002 itu berawan, bergumpal-gumpal. Saya juga sedang berbahagia. Sesiang tadi kami berdemonstrasi di Gladag. Cukup ramai, lebih dari 1.500 orang, kawan-kawan mahasiswa se-Jateng DIY. Saat itu saya mahasiswa semester empat. Saya gugup sekali demo tadi siang, karena dari mahasiswa Cabang Solo saya dipromosikan sebagai koordinator lapangan.

Sesungguhnya saya jeri. Saya khawatir betul aparat akan menyikat kami, karena kakak-kakak senior dari Cabang Jogja dan Purwokerto suka usil meledek aparat. Namun saya percaya dengan reputasi kakak-kakak mahasiswa tadi, pelaku sejarah gerakan mahasiswa 1998. Keren juga mereka. Blokir jalan sukses selama 10 menit, setelahnya kami bubar sesuai kesepakatan negosiasi. Saya masih perlu banyak belajar lagi, batin saya, sementara bibir saya menyiul-nyiulkan plesetan yang heroik sekali saya dengar tadi. Lafal-lafalnya antara lain “Tentara….” kemudian kawan-kawan bergema dengan lafal “…lebih baik diganti….” Masih ada reffrain “suka memukuliii… mahasiswaaa….” Demo kami kemarin soal refleksi Reformasi Total, yang di dalamnya tentu saja ada tema dwifungsi.

“Huaa… Satryo pahlawan reformasi sudah pulang tuh,” teriak Hari dari atas balkon.

Asep, Dani, dan Hima bersuit-suit. Kang Abub, Mas Yogi, dan Bang Am juga ikut tersenyum.

“Ha-ha-ha,” saya tertawa.

Mereka juga. Saya ceritakan jalannya demonstrasi kepada mereka. Sambil mengudap kacang mereka asyik mendapat gambaran pandangan mata demonstrasi, satu dunia yang tak pernah mereka bayangkan untuk mereka masuki. Mereka memang memilih untuk fokus kuliah saja.

“Jadi kalau pas demo, aparat takut ya?” Dani anak Mesin menyimpulkan cerita saya.

“Bisa jadi. Demo kan kumpulan massa. Orang menjadi anonim dalam crowd. Sepanjang tidak nyata-nyata mengganggu, sepertinya aparat memberikan kesempatan demonstran untuk melanggar-melanggar sedikit aturan,” saya sekaligus memberi kuliah Sosiologi Perilaku Sosial kepada kawan-kawan, meskipun sesungguhnya agak-agak menyesatkan. Karena saya mahasiswa FISIP, kawan-kawan percaya saja. Dan kagum, karena kami bisa memblokir jalan, naik sepeda motor tanpa helm dan tidak ditilang. Malah salam-salaman sama aparat. Bagi imaji mahasiswa hal-hal seperti itu dulu bagi kami rasanya cakep.

“Kamu merasa tidak, kalau Bang Am kemarin pas kita ketawa-ketawa kamu kibulin soal demo, dia masuk ke kamar. Mukanya sepertinya merah begitu.” Dani membuka obrolan saat kami sama-sama jalan kaki menyusuri Jalan Mendung 2, jalan pintas yang mengantarkan masuk kampus melalui gerbang Teknik.

“Apa iya? Kalian ketawa-ketawa kan pas saya cerita kemarin. Saya tahu Bang Am ke kamar. Tapi saya memang nggak perhatikan kalau mukanya merah. Terus, kenapa marah? Bang Am marah apa?” Sungguh saking antusiasnya saya kemarin, saya tak memperhatikan Bang Am.

Baca juga  Tenung

Sambil menekuri aspal yang banyak mengelupas sisa musin hujan kemarin, saya jadi melamunkan Bang Am. Bang Am. Amrizon lengkapnya. Dia kakak tingkat saya satu tahun dan kamar kosnya persis di sebelah kamar saya. Saat pertama datang ke kos, Bang Am orang yang pertama kali saya temui. Kami segera menjadi akrab meskipun saya asli Banjarnegara dan Bang Am dari Riau. Bang Am orang yang menyenangkan, meskipun saat saya minta dia cerita soal Riau, saya tak dapat mengikuti benar jalan ceritanya: bahwa dia dari Kepulauan Riau, bukan dari Riau daratan. Dia mukim di Tanjung Pinang, yang berbeda dari Pangkal Pinang di Bangka Belitung. Dia juga memberi saya kuliah Antropologi soal tata hidup orang Melayu, meskipun Bang Am memiliki marga Batak. Soal-soal yang bagi saya bureng. Jelajah imaji saya memang hanya Jawa, seluas Jawa, bahkan hanya Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur saja yang relatif saya akrabi.

Selanjutnya Bang Am menjadi mentor saya: belanja bulanan ke Toko Asia Baru di samping Pasar Gede yang harganya miring atau jogging minggu pagi ke Jurug yang diakhiri dengan mengudap bengkoang yang dijual kaki lima. Banyak event itu kami lalui berdua saja. Saya dengar dari ceritanya, dia sedang mengincar mahasiswi Sastra Inggris, temannya di Persekutuan Mahasiswa Kristen. Saya yang aktif di organisasi mahasiswa Islam mendoakan Bang Am berjodoh dengan mahasiswi itu. “Serasi,” kata saya. Bang Am hanya tertawa.

“Kamu kan tahu, bapaknya Bang Am tentara. Lha, kamu kemarin happy sekali nyanyi-nyanyi plesetan demo?!” Dani mengingatkan saya.

“Saya kan tidak bicara bapaknya Bang Am, atau bapak-bapak tentara sebagai pribadi. Ini bicara tentara sebagai satu sistem dan lembaga yang perlu direformasi….” kata saya sambil menyingkirkan kerikil besar ke tepi.

“Itu kan kata kamu,” potong Dani.

“Lho, kalau misalnya kamu, atau Bang Am mengkritik profesi PNS yang suka korup, atau hobby main catur, saya juga tidak tersinggung. Karena bapak saya yang PNS saya yakin tidak seperti itu. Kritik itu saya pahami kritik kepada sistem yang perlu direformasi….” saya tak kalah dari Dani.

“Aaahh, yang perlu direformasi itu bisa jadi klen-klen ini. Demo-demo itu yang konstruktif kek, gimana gitu.” Kami melewatkan Jalan Mendung 2 dengan mengobrol tentang reformasi total, pecel di Bu Benk yang mantap, dan Lisa anak Ekonomi yang katanya masih kosong.

Omongan Dani meskipun menyebalkan, sepertinya ada benarnya. Karena tidak merasa ada apa-apa, saya berlaku seperti biasa dengan Bang Am. Seperti kemarin saya ajak dia makan pecel lele di Itak Ituk, Bang Am beringsut dan mengambil buku Makro Ekonomika. “Ada tugas, Ryo, besok dikumpulkan,” jawabnya pendek.

Baca juga  Kisah Tiga Ayah yang Dituduh Gila

Saya paham, Bang Am mahasiswa yang menjaga garis IPK di atas 3,5. Targetnya pula 3,5 tahun selesai. Segera balik kampung, menjadi cagar bagi keluarganya. Bang Am anak tertua dari lima adik-adiknya. “Itu mahasiswi Sastra mau diapain?” goda saya waktu Bang Am masih hangat. Bang Am lagi-lagi hanya tertawa.

Tetapi gestur kali ini Bang Am memang berbeda. Ekspresinya merajuk, dan tak betah berlama-lama dengan saya. Karena ingat cerita dengan Dani kemarin, saya mencoba rujuk dengan Bang Am.

“Bang Am. Saya minta maaf ya. Saya merasa terlalu berlebihan kemarin. Soal demo itu,” satu malam selepas nonton Metro Sports di loteng Wisma Kos saya menyambangi kamarnya.

Bang Am terlihat terganggu dengan kedatangan saya. Saya mencoba menebak apa yang dipikirkannya. Jelas dia ngambek. Tapi dia juga kesulitan untuk menjawab pertanyaan saya atau memang tidak ingin mengobrol dengan saya. Tidak ingin menjelaskan sesuatu. Saya mencoba mengalisis perspektif backstage Bang Am dalam konsep Dramaturgi Erving Goffman. Dasar anak FISIP, begitu Dani biasa menggoda saya kalau sudah berbusa-busa keluar teori.

“Ah, biasalah, Ryo. Tak ada apa-apa. Aku lagi fokus mau ujian kompre. Mau cepet-cepet cari pembimbing. Sorry kalau belum sempat ngobrol banyak sama kau,” kata Bang Am. Dingin dan bergegas. Tak ingin banyak bicara tampaknya dia.

Saya menjadi percaya dengan Dani. Soal tentara? Masih banyak hal rupanya yang belum saya pahami dari Bang Am. Katanya saya orang yang kenal baik Bang Am. Nyatanya Bang Am semakin tidak terjangkau oleh saya. Dulu dia tak aktif betul di Persekutuan. Kini hari-harinya dihabiskan di kampus, perpus, dan Persekutuan. Saya juga kemudian larut dengan gelombang-gelombang advokasi bersama sahabat-sahabat mahasiswa di tingkat cabang, juga dengan jaringan intra BEM Seluruh Indonesia. Asyik. Dan tak terasa oleh saya, tahu-tahu Bang Am sudah diwisuda.

Saya melihatnya dari lini masa Facebook Dani kemarin sore. Pusara yang masih basah. Tanda salib melintang. Di tengahnya tertulis nama Bapak Bang Am. Lengkap dengan pangkatnya. Saya terkesiap. Sejak Bang Am lulus, saya sudah putus kontak dengannya. Saya juga baru tahu kalau Dani baru saja dimutasi di Kanwil Tanjung Pinang oleh kantornya. Dengan itu Dani bisa kontak dengan Bang Am. Bahkan menghadiri pemakaman Bapak Bang Am.

Setelah Dani banyak cerita melalui chat dengan saya kemarin, berbekal kontak WA dari Dani saya menghubungi Bang Am. Kata saya: saya sungguh turut berduka cita. Sekaligus saya minta maaf atas kesilapan saya yang lampau-lampau. Saat mengetik chat di WA itu ingatan saya sudah ke mana-mana. Pada bapak Bang Am.

Baca juga  Mbah Mar

Saat-saat rindu kampung halaman, Bang Am dulu suka bercerita. Tentang Letung, kecamatan pulau tempat tugas bapak Bang Am. Selepas Sekolah Calon Perwira di Bandung, bapak Bang Am mendapat promosi menjadi Dan Ramil. Bang Am dan ibunya, Persit tulen saya kira, pasang badan ikut bapak Bang Am ke tempat tugas.

Dari cerita Bang Am, saya dapat membayangkan asin angin Letung. Tanpa instalasi listrik. Diisolasi dunia luar oleh perjalanan menempuh gelombang selama 24 jam. Saya seperti hadir menyaksikan bapak Bang Am yang sedang memperbaiki rumah panggung mereka. Tangannya yang cekatan menggergaji, memalu reng dan usuk rumah yang perlu diganti. Secara amatiran tentu saja. Darinya saya sudah langsung menduga bahwa bapak Bang Am sedang berhemat karena tunjangan lauk-pauk yang terbatas.

Ada foto Bang Am tersenyum sehabis menangkap udang di pantai. Tak banyak yang mereka dapat. Tetapi kebahagiaan itu tak dapat ditutupi oleh bercak-bercak di foto sephia yang disimpan terus Bang Am di buku diary-nya. Saya tersenyum sendiri membayangkan mereka berenang di laut kapan saja. Garis pantai yang maju-mundur. Halaman rumah yang becek saat musim hujan.

Tak sampai dua menit pesan saya dibalas Bang Am: “Terima kasih, Ryo. Terima kasih. Apa kabar? Dah lama tak kontak ya? Minta doa semoga beliau almarhum mendapat tempat sebaik-baiknya di sisi-Nya ya. Tak ada yang perlu kau risaukan, Ryo. You are one of my best friend….” Sampai di sini saya sudah berhenti bernapas.

“Kalau soal dulu-dulu itu, aku bisa paham konsep reformasi total yang kau kibarkan sama kawan-kawan. Saat itu aku jadi ingat Bapak. Sangat ingat. Bapak. Bapak yang….” Bang Am menulis banyak kenangan tentang bapaknya. Sangat intim.

Layar gawai saya tahu-tahu sudah mengembun. Oleh mata yang berkaca-kaca. Dan air mata yang belum sempat menetes. ***

.

.

Febrie Hastiyanto, menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan media nasional dan lokal. Puisinya “Sajak Seorang Pejoang yang Dikhianati Senapannya” menjadi finalis Krakatau Award 2009. Bukunya “Kota dalam Ranselku” (2011). Bergiat dalam kelompok Studi IdeA. Kini tinggal di Slawi, Tegal.

.
Bapak Tentara dari Letung. Bapak Tentara dari Letung. Bapak Tentara dari Letung. Bapak Tentara dari Letung.

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!