Cerpen, Farizal Sikumbang, Suara Merdeka

Rumah Sunyi

Rumah Sunyi - Cerpen Farizal Sikumbang

Rumah Sunyi ilustrasi Suara Merdeka

3
(7)

Cerpen Farizal Sikumbang (Suara Merdeka, 23 Februari 2023)

SATU bulan setelah rumah besar itu selesai dibangun, satu keluarga mulai tinggal di sana. Satu keluarga dengan dua anak perempuan dan satu orang laki-laki yang ketiganya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah mereka bekerja di sebuah perusaahan pemerintah. Dan ibunya, hanya seorang pekerja di rumah.

Rumah itu berlantai dua. Dengan halaman lumayan luas. Dindingnya bercat putih dengan atap seng menyerupai genteng warna merah hati. Rumah itu sangat mewah dibandingkan dengan beberapa rumah di sekitarnya.

Setiap sore aku melihat anak-anak pemilik rumah itu bermain di halaman. Dan sering pula ibunya tampak membawa sepiring makanan untuk mereka. Aku mengenal perempuan itu bernama Halimah. Demikian ia memperkenalkan diri kepadaku pada suatu siang dalam bulan pertama setelah kepindahannya. Ketika itu ia menjumpaiku untuk mengurus surat-surat kepindahannya. Kebetulan pula aku sebagai kepala lorong di kampungku.

“Maaf jika kami sedikit terlambat mengurus surat kepindahan kemari,” katanya.

“Tidak apa-apa, mungkin Ibu dan Bapak masih sibuk mengurus barang-barang di rumah,” jawabku pula.

Sejak itu kami menjadi tetangga yang baik. Istriku sering pula berkunjung ke rumahnya. Tidak lain karena ia tidak sanggup melihat anak-anak pemilik rumah yang menggemaskan hatinya itu. Aku memaklumi kelakuan istriku. Ia sudah bertahun-tahun menginginkan seorang anak dariku.

“Anak yang lucu-lucu,” kata istriku suatu malam saat ia berada di meja makan. “Ingin sekali aku mengasuh mereka,” tambah istriku lagi.

Setelah itu ia lalu beranjak ke tempat tidur. Aku tahu ia kecewa. Aku dan ia sudah beberapa kali pergi ke dokter kandungan. Dari empat dokter kandungan yang pernah kami kunjungi, mereka selalu memberikan kabar bahwa kami baik-baik saja.

Baca juga  Lukisan Wulan

***

Ketika anak-anak pemilik rumah itu besar dan sudah duduk di bangku kuliah, istriku masih saja belum mampu melahirkan seorang anak pun dari rahimnya. Dan beruntungnya pula, selama itu anak-anak pemilik rumah sangat dekat dengan istriku. Bertahun-tahun lamanya pula kami pun seperti keluarga dekat. Bukan, tetapi seperti saudara. Sebab, suatu hari ayah mereka, Pak Burhan namanya, meminta agar aku menganggapnya sebagai saudara.

“Anggaplah anak-anakku sebagai anak-anakmu juga ya,” katanya.

Aku sangat senang pada permintaannya itu. Mungkin ia mengerti pada kesepianku karena tidak memiliki anak. Mungkin demikian juga perasaan istrinya pada istriku sehingga ia senang melihat istriku berkunjung ke rumahnya.

Bertahun-tahun kami jalani hidup dengan penuh kerukunan. Tak ada perselisihan di antara kami. Bahkan kalau diingat, tak terbilang pula jumlahnya bantuan yang pernah diberikan Pak Burhan kepadaku. Maklum, pekerjaanku sebagai buruh bangunan terkadang tidak menentu.

Tapi ketika anak-anak pemilik rumah itu satu demi satu menyelesaikan bangku kuliahnya, istriku mulai bersedih hingga mengalami puncak kesepian yang sepertinya sulit aku ceritakan.

Bermula dari Nabila, anak sulung pemilik rumah itu yang ditugaskan ke Lampung karena lulus sebagai dokter pemerintah dan ditempatkan di sana. Aku tahu Nabila adalah yang paling dekat dengan istriku. Sejak kecil, ibunya sering meminta istriku untuk menjemput dan mengantarnya ke sekolah. Jadi ketika istriku menangis dan meraung-raung di saat keberangkatan Nabila ke Lampung, aku begitu memahami kesedihannya.

Berhari-hari pula istriku dibuatnya kehilangan selera makan. Hampir tiap malam ia menangis sebelum tidur. Dan tentu kepalaku pusing dibuatnya.

Hanya selang satu tahun kepergian Nabila. Anak kedua mereka yang bernama Siti menikah. Pada acara pernikahan itu semua orang berbahagia. Termasuk istriku. Pesta pernikahan sangat meriah. Para tamu yang datang seperti orang berkelas. Berbagai merek mobil mewah terparkir di sepanjang jalan kampung. Belum pernah ada pesta pernikahan yang begitu ramai di kampungku selama ini selain pesta pernikahan Siti itu.

Baca juga  Belukar Pantai Sanur

Tapi dua hari setelah pesta pernikahan yang bahagia itu berubah jadi kesedihan buat istriku. Siti meski berangkat ke Binjai karena suaminya sebagai polisi berdinas di sana. Seperti pada keberangkatan Nabila, pada saat kepindahan Siti pun istriku meraung-raung sejadi-jadinya. Saat itu tidak seorang pun yang mampu menghentikan tangisannya.

Kepergian Nabila dan Siti membuat istriku lebih sering terlihat melamun. Sesekali pula ia menangis sendiri. Dan celakanya, entah mengapa, ia mulai bisa lupa memasak di rumah. Sejak saat itu aku mulai sangat khawatir dengan istriku. Aku sungguh takut, jika suatu hari, ia gila.

Maka aku pun, jika aku sedang tidak bekerja misalnya, akan aku ajak ia ke kota. Refreshing dan cari hiburan. Cuci mata atau mengajaknya makan.

Tapi aku sungguh tidak tahu apa buruk dari keluarga pemilik rumah itu. Atau apa dosa ayah dan ibunya sehingga satu demi satu anak-anaknya pergi meninggalkan mereka. Anak mereka yang bungsu, Salim namanya, pergi dengan cara yang tragis. Ia tewas pada sebuah kecelakaan sepeda motor.

Istriku, boleh kukatakan hampir benar-benar gila pada kematian Salim pada kecelakaan itu. Ia tiap hari pula menceracau. Terkadang menangis. Dan terkadang pula tertawa sendiri. Bahkan, ia mulai membuat ulah. Ia suka melempari orang dengan batu ketika lewat di depan rumahku.

Atas dorongan Pak Burhan, si pemilik rumah itu, ia menganjurkan agar aku membawa istriku ke rumah sakit jiwa. Aku menuruti keinginannya. Ia kubawa ke rumah sakit jiwa yang ada di kotaku. Dan kata dokter di sana, istriku meski rawat inap.

Sejak istriku tinggal di rumah sakit jiwa, aku semakin sadar bagaimana rasanya kehilangan. Betapa pedihnya di tinggalkan. Tapi sekuat tenaga aku upayakan bahwa aku tidak mau ikutan gila seperti istriku.

Baca juga  Hanya Dia yang Aku Punya

Sampai tiga bulan lamanya istriku tidak bisa kunjung kubawa pulang. Kata dokter di sana, ia masih butuh terapi penenang hati. Aku pun semakin mabuk dalam kesepian.

Kesepian? Ah, sungguh keadaan yang sangat celaka. Dan celaka itu, sungguh menghantam Bu Halimah pula. Dari kabar-kabar yang sebelumnya tak jelas sumbernya, menyebutkan bahwa Pak Burhan kawin lagi di Jakarta. Apakah Pak Burhan tidak tahan dengan kesepian setelah kepergian anak-anaknya? Lalu memutuskan menikah lagi? Entahlah.

Sejak Pak Burhan jarang di rumah itu, atau boleh kukatakan tidak tinggal di sana, maka rumah itu terlihat semakin sunyi. Apalagi ketika Bu Halimah memutuskan untuk tinggal bersama Nabila di Lampung, rumah itu benar-benar teramat sunyi. Sesunyi hatiku.

Dan jika kalian datang ke kampungku, lalu di antara rumah-rumah di sana kalian bertemu dengan sebuah rumah yang cukup mewah dan bertingkat dua, itulah rumah yang kumaksudkan dalam cerita ini. Dan jika kalian berhenti sejenak di depannya, lalu memandang rumah itu beberapa lama, pastilah kalian akan bergumam, “rumah yang besar. Kenapa begitu sunyi?” ***

.

.

Banda Aceh 2020

Farizal Sikumbang lahir di Padang. Perajin Sastra. Tinggal di Banda Aceh.

.
Rumah Sunyi. Rumah Sunyi.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: