Cerpen, Ranang Aji SP, Suara Merdeka

Bulu-Bulu Emas

Bulu-Bulu Emas - Cerpen Ranang Aji SP

Bulu-Bulu Emas ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

3
(2)

Cerpen Ranang Aji SP (Suara Merdeka, 26 Februari 2023)

PADA malam ketujuh, setelah Basiyo berpuasa mutih menuruti ajaran seorang dukun yang tinggal di kaki bukit, tubuhnya semakin terasa ringan, hingga dia membutuhkan pegangan ketika hendak berdiri. Dengan langkah gontai, kakinya yang gemetar menyeberangi sungai yang memisahkan gubuk tempatnya menyepi sejauh ini.

Malam itu, seperti syarat terakhir yang sudah dia terima untuk bisa menjadi kaya, Basiyo harus duduk sampai pagi di salah satu cabang pohon mojo yang berdiri di seberang sungai di samping makam keramat yang tak pernah dia ketahui namanya. Udara malam di perbukitan itu dingin, ditambah kakinya harus melewati air sungai sedalam dadanya. Setiap otot kakinya seolah disengat serangga saat telapak kakinya masuk ke dalam air. Pandangan matanya kabur karena nanar oleh lapar sepanjang sepekan. Dia berusaha tetap sadar untuk bisa sampai tujuannya yang tampak seperti bayangan seekor kera raksasa. Ketika berhasil menyeberang, raut mukanya semakin pucat, apalagi menyadari bayangan kera itu menyeringai nyata dengan mata menyala merah.

Merasa ketakutan oleh ancaman yang dilihatnya, Basiyo berusaha kembali menyeberangi sungai, namun tubuhnya yang lemas membuatnya rubuh, dan air sungai menyeret tubuhnya sejauh mungkin, hingga Sani, seorang pria yang tengah membuang hajat pada pagi hari, terperanjat menemukan tubuhnya mengambang di antara daun dan kotorannya. Setelah mengatasi rasa kejutnya, pria itu turun ke dalam air dengan mengabaikan rasa takutnya. Dengan kedua tangannya dia mendorong tubuh Basiyo ke pinggir dan mengangkatnya ke daratan. Setelah memeriksa keadaannya, Sani merasa lega karena pria yang ditemukannya masih bernapas.

Istri Sani memandang setengah jijik tubuh Basiyo yang terbaring basah dan kotor di atas kursi buluk dalam ruang tamunya. Sementara, anak gadisnya yang berusia sebelas tahun berdiri memegang lengannya. Selama beberapa waktu, Sani tak mampu membuat keputusan apa pun karena mulut Basiyo tak juga terbuka untuk bicara, meskipun Sani sudah mencoba bertanya, dan matanya sudah terbuka.

“Dia mungkin jatuh dari tebing dan hilang ingatan,” kata Sani pada istrinya, “mungkin juga orang jahat mendorongnya ke sungai.”

“Mau kita apakan dia?” lanjut istrinya.

“Biarkan saja dulu sampai dia bisa bicara,” jawab Sani.

Menjelang petang, ketika keluarga itu keluar, Basiyo bangkit dari kursinya dan bergerak seperti kera yang kelaparan, tapi matanya tak melihat sepotong makanan pun di ruangan sempit itu. Mulutnya bergerak-gerak, tapi suaranya tak mampu keluar. Seperti putus asa oleh keadaannya, Basiyo pasrah dan kembali berbaring sambil menyilangkan kedua tangannya untuk mencegah sinar matahari menyorot matanya. Satu jam kemudian, Sani datang bersama beberapa tetangganya. Istri Sani dan anak gadisnya juga muncul bersama beberapa temannya yang menonton seperti melihat makhluk asing yang aneh. Sani memberinya makanan yang segera dilahap Basiyo tanpa mempedulikan orang-orang yang datang memperbincangkannya secara terang-terangan. Salah seorang pria dengan mata juling menyarankan agar Sani melaporkan pada polisi. Tapi usulan itu ditangguhkan atas saran perempuan yang datang saat Basiyo hampir menyelesaikan makannya.

Baca juga  Apologia

“Biar saja,” katanya,”kita tunggu sampai dia bisa memberi keterangan.”

Saran perempuan itu disetujui kepala dukuh yang sejak tadi hanya berdiri diam di samping pintu. Ia mengatakan bahwa memang sebaiknya ditunggu saja, karena melihat kesehatan Basiyo yang tampak baik. Setelah mengatakan itu, ia mencoba berkomunikasi dengan Basiyo. Semula ia bicara secara normal, namun ketika Basiyo tak memberikan reaksi yang diinginkan, kepala dukuh itu mencoba bicara dengan bahasa isyarat yang sama sekali juga tak bisa dipahami. Karena putus asa, kepala dukuh kemudian berkata pada Sani agar merawatnya sembari menunggu informasinya lebih lanjut.

Pada hari berikutnya, Basiyo tampak semakin segar, meskipun belum mampu bicara dan mengingat apa-apa. Tubuhnya secara perlahan mengalami perubahan. Semula tangannya mulai tumbuh bulu-bulu halus berwarna keemasan, lalu kakinya dan wajahnya. Tapi, Basiyo tak menyadari perubahan dalam dirinya itu. Ia sibuk bertingkah seperti seekor hewan. Anak gadis Sanilah yang pertama melihatnya, dan segera berlari memanggil bapaknya yang berada di sungai belakang rumah.

“Ada apa?” tanya Sani melihat wajah panik anaknya.

Anak itu hanya menunjukkan jari tangannya ke arah rumah dengan muka panik. Sani berpikir pasti ada sesuatu yang membuat anaknya menjadi gugup. Dengan cepat ia meninggalkan pekerjaannya dan masuk ke dalam rumah. Tapi ia tak melihat ada sesuatu yang ganjil. “Tak ada apa-apa,” katanya sambil melihat Basiyo yang terbaring diam. Anak Sani mencoba mengatakan apa yang dilihatnya tadi, tapi urung begitu melihat memang tak ada perubahan apa-apa dalam tubuh Basiyo seperti yang dilihatnya. Wajahnya bingung. Tetapi ketika bapaknya hendak berjalan keluar, matanya yang tengah menatap tubuh Basiyo melihat sesuatu yang bersinar keemasan di bawah kursi. Anak gadis itu segera mencegah bapaknya keluar, dan menunjuk ke arah bulu-bulu halus itu. Sani melihatnya, dan segera mengumpulkan bulu-bulu itu. Sesaat kemudian, ia menyadari ada sesuatu yang luar biasa di tangannya. Semua bulu itu adalah emas. Takjub dengan apa yang ditemukannya, Sani berteriak memanggil istrinya.

“Ini ajaib, luar biasa,” katanya pada istrinya yang tak kalah kagetnya.

“Ini benar emas?” tanya istrinya tak percaya.

“Emas,” Sani seolah berguman, “kita kaya, Mak,” lanjutnya bergetar.

Menyadari keajaiban yang terjadi, Sani segera memindahkan Basiyo ke dalam kamar pribadinya. Ia sendiri tidur di ruang tamu, sedangkan istrinya tidur bersama anak gadisnya. Mulai saat itu, ia dan istrinya merawat Basiyo dengan lebih baik. Ia juga tidak peduli apakah tamunya ini bisa bicara atau tidak, mengerti dirinya atau tidak. Sani juga berpikir untuk tidak mengembalikan Basiyo pada keluarganya bila ada. Ia mulai menyadari bahwa orang asing ini adalah rahmat yang diberikan Tuhan kepadanya.

Baca juga  Cupu Kiai Panjala

Sejak itu, hampir setiap pekan, tubuh Basiyo tumbuh bulu yang gugur sebagai emas. Hanya dalam beberapa bulan, Sani telah menjadi begitu makmur. Sani bahkan mampu memanggil tukang untuk memperluas rumahnya, dan membuat kamar khusus untuk orang yang memberinya keuntungan itu. Basiyo sendiri, tak pernah menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Di ruangannya yang baru dan bersih, dia hanya duduk, berbaring, makan, dan menjatuhkan bulu-bulu emasnya. Hanya sesekali dia keluar duduk di pinggir sungai di halaman belakang, menatap gigir bukit, seolah ada sesuatu yang begitu dekat.

Setelah menikmati rezekinya, Sani mengumpulkan warga di rumahnya untuk membuat selamatan dan sekaligus mengumumkan bahwa mulai saat itu, pria asing yang ditemukannya adalah menjadi bagian keluarganya. Ia menjelaskan bahwa kondisi pria yang dirawat nya baik-baik saja, meskipun masih belum mampu berkomunikasi dengan orang-orang, dan oleh sebab itu dia tak memiliki keluarga, Sani menjelaskan bahwa dirinya dengan ikhlas akan merawatnya selamanya. Semua itu ia lakukan hanya untuk ibadah, katanya dengan tekanan tertentu sebelum menutup pidatonya. Kepala dukuh yang hadir dengan kemeja batik menyambut baik pengumuman itu dengan pujian setinggi langit, karena dengan demikian, tanggung jawabnya untuk mendapatkan informasi dianggap sudah selesai.

Dalam beberapa waktu, semua warga sudah melupakan Basiyo. Mereka lebih suka membicarakan kekayaan keluarga Sani yang terus meningkat. Pada bulan kelima, seiring dengan meningkatnya kekayaan keluarga Sani, ada perubahan yang tak disadari oleh siapa saja di dukuh itu. Setiap kali Sani mengambil bulu-bulu emas dari ranjang Basiyo, selalu saja diikuti oleh peristiwa yang mengerikan, yaitu datangnya kera-kera menyerang warga yang sedang bekerja di tegal. Awalnya satu orang terluka pada hari pertama, tapi pada hari berikutnya seorang anak mati diterkam, lalu disusul kematian yang lain.

Dalam beberapa pekan sudah sembilan orang yang menjadi korban. Keadaan itu membuat situasi dukuh berubah mencekam pada hari-hari yang panas pada bulan Juli. Setiap warga merasa ngeri dan ketakutan. Mereka heran mengapa kera-kera itu begitu kurang ajar menyerang manusia. Salah seorang warga yang cukup terpelajar, bernama Supri, membuat asumsi bahwa kera-kera itu kehilangan ruang teritorinya. Ia menyalahkan orang-orang yang merusak lingkungan, menghabiskan tanaman di bukit-bukit untuk diganti dengan bangunan.

“Kera-kera itu butuh makan, tapi sudah tak ada lagi tanaman yang bisa menghasilkan makanan,” katanya meyakinkan, “jadi, wajar kalau mereka marah dan mencari ruang mereka yang hilang.”

Baca juga  Kisah dari Alam Kubur

Kepala dukuh hanya diam di antara kepulan asap rokok ketika mendengar warganya mengatakan dugaannya itu. Perasaannya sebenarnya tersinggung, mengingat dirinya adalah salah satu kaki tangan kepala desa untuk mencarikan tanah bagi orang-orang kaya dari luar yang ingin membangun vila atau hotel di sekitar perbukitan. Tapi karena apa yang disampaikan orang itu cukup masuk akal bagi warga, jadi, meskipun merasa tidak suka, ia tak membantah untuk menghindari persoalan. Sembari merokok, ia memperhatikan orang-orang bicara untuk mencari solusi dari ancaman kera. Warga pintar itu kemudian mengusulkan agar setiap warga diberikan tugas piket berjaga setiap hari. Sementara, dirinya akan pergi ke kota untuk melaporkannya pada balai lingkungan. “Biar mereka yang berwenang paham dan mengatasi persoalan ini,” katanya.

Saat mendengar rencana itu, kepala dukuh tiba-tiba merasa khawatir. Ia tak ingin bisnisnya bersama kepala desa terganggu bila orang dari balai lingkungan datang. Segera saja, pada pagi harinya, saat Supri pergi ke kota, dan Sani tengah mengumpulkan bulu emasnya, kepala dukuh bergegas menemui kepala desa untuk menyampaikan kabar.

“Harus dicegah,” katanya pada kepala desa.

“Ya, kamu diam saja.”

Pada malam hari, Basiyo terabaikan oleh sebab situasi dukuh yang mencekam, duduk diam di atas ranjangnya, sementara Sani sibuk oleh urusan menjaga dukuh yang terancam oleh serangan kera. Ketika Supri dalam perjalanan pulang bersama orang balai lingkungan hendak bermalam, dan beberapa preman yang dikirim kepala desa untuk menghadangnya – Basiyo tiba-tiba mendengar sesuatu yang membuatnya keluar menuju halaman belakang. Tubuhnya setengah membungkuk doyong ke depan, berdiri seperti seekor kera besar. Saat yang sama, anak gadis Sani tengah menutup jendela dapur dengan perasaan jengkel karena seekor kucing mencuri bebek goreng, ketika matanya tiba-tiba melihat Basiyo sedang menyeberang sungai, sementara di depannya ada banyak kera duduk menyeringai. Anak itu menjerit pendek, lalu pingsan.

Esok harinya, Sani merasakan tubuhnya demam, dan ia menolak datang bersama tetangga lain ketika dikabari nasib Supri yang menyedihkan. ***

.

.

Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Buku kumpulan cerpennya, “Mitoni Terakhir” (Penerbit Nyala, 2021). Tinggal di Magelang. IG: Ranang_Aji_SP

.
Bulu-Bulu Emas. Bulu-Bulu Emas. Bulu-Bulu Emas. Bulu-Bulu Emas. Bulu-Bulu Emas.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d bloggers like this: