ADA sebuah sofa besar di rumah kakekku yang begitu tua dan antik hingga dapat disebut keramat. Kursi itu terletak di ruang tamu sehingga siapa pun yang berkunjung ke rumah kakek, otomatis akan melirik ke kursi itu terlebih dahulu. Lucunya, meskipun tidak ada yang melarang siapa pun untuk duduk di kursi itu, para tamu yang datang enggan menenggelamkan diri ke dalamnya.
Mungkin mereka menyadari kehadiran arwah-arwah yang bersemayam di kursi itu. Atau mungkin pula mereka takut ganti rugi jika kursi itu tiba-tiba rusak.
Nenek amat sayang pada kursi itu. Sewaktu aku kecil, ia sering bercerita kalau ibunya sering membacakan dongeng di kursi itu sambil memangku dirinya. Konon, aku juga pernah mendengar desas-desus bahwa nenek hampir batal kawin lari dengan kakek karena hatinya tidak rela meninggalkan kursi kesayangannya.
Syukurlah, setelah beberapa tahun berpisah, orang tua nenek akhirnya merestui hubungan kakek dan nenek, dan mengundang mereka tinggal di rumahnya. Itulah pertama kalinya ayah yang baru berumur satu tahun menginjakkan kakinya di rumah ini.
“Ayahmu, dulu itu bandel sekali! Tapi ia selalu menjadi tenang jika duduk di kursi itu bersama dengan mainannya” kata nenek entah untuk ke berapa ribu kalinya.
Kemudian, ia pun membakar dupa dan menyembahyangi almarhum orang tuanya dan juga almarhum ayah dan ibuku. Setelah selesai, ia menyerahkan tiga batang dupa padaku. Hatiku terusik perasaan bersalah. Sudah tiga tahun baru Imlek aku tidak menginjakkan kaki di rumah ini.
Alasan ekonomi dan kesibukan bekerja membuatku malas pulang ke Indonesia. Aku juga tak pulang pada saat ayah meninggal atau pada saat kakek dirawat di rumah sakit dan menjadi pikun.
Aku mengambil dupa dari nenek dan mendoakan arwah ayah dan ibuku agar kelak terlahir di alam yang lebih baik. Kubuka mata dan kulihat nenek menangis. Entah tangis haru karena kepulanganku atau ratap sedih karena ditinggal terlebih dahulu oleh anaknya.
Aku memeluk nenek dan menghapus air matanya.
“Tidak apa-apa. Cepat sana temui kakekmu!” katanya menyuruhku.
Aku pun pergi ke teras belakang rumah dan menemukan kakek persis berada seperti yang diingat memori otakku saat terakhir kali aku melihatnya. Kakek sedang berayun-ayun di kursi goyang sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus di kebun belakang. Hanya saja kini ia sudah pikun.
“Kek, aku pulang!” kataku setelah tiba di sampingnya. Aku menggenggam tangannya yang sudah keriput dan merenungkan kefanaan hidup ini. Kakek menengok sejenak tapi ia tampak tidak mengenaliku, dan kembali menyendiri dalam kesepiannya. Aku sedih memikirkan betapa terasingnya kakek dengan dunia ini.
Apakah jiwa kakek telah menyerah setelah kematian ayah? Padahal kakek yang kukenal adalah orang yang mengajarkanku agar jangan terikat pada hal apapun juga. Kakek rela meninggalkan keluarganya demi menikahi nenek. Dan ia pun berhasil meyakinkan nenek untuk meninggalkan kursi kesayangannya itu demi dirinya.
“Tentu saja kau bisa kembali lagi pada keluargamu kapan saja jika tak suka lagi hidup denganku” cerita nenek padaku sewaktu aku masih kecil. Kenangan itu amat mempengaruhiku sehingga aku masih tetap lajang di penghujung umur dua puluhan.
Aku masih memimpikan akan bertemu lelaki seperti kakek yang rela melepasku pergi melihat dunia tanpa perlu khawatir ataupun cemburu.
Kupikir setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda keramat yang menjadi pusaka dan diwariskan turun-temurun. Teman kerjaku di Inggris mempunyai cermin rias yang sudah diwariskan dari beberapa generasi yang lampau. Ia menjaga cermin itu dengan hati-hati dan selalu membawanya ke mana-mana. Pada saat kehilangan tasnya pun, hal pertama yang ia cari setelah tasnya kembali adalah cermin pusakanya itu. Ia tidak mengkhawatirkan dompet, handphone, perhiasan, maupun kartu ATM. Maka aku tidak heran ia menjadi stress lantaran cerminnya pecah karena terjatuh.
Ia merasa nasib sial akan menimpanya karena tidak mampu menjaga warisan yang telah berumur ratusan tahun. Sejak saat itu hidupnya berubah dan ia menjadi lebih pemurung. Seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang ikut retak bersama pecahnya cermin tersebut.
Karena itu, aku merasa alasanku yang ganjil tentang kepulanganku dapat dibenarkan. Oh ya, aku memang merindukan kakek–nenekku dan ingin bertemu lagi dengan mereka sebelum mereka meninggal, tapi sejujurnya aku lebih merindukan kursi tua itu.
Malam ini aku lebih memilih bergelung di sofa besar itu daripada tidur di kamar yang dulu kutinggali. Aku mendapatkan perasaan aneh seakan-akan ini kali terakhirnya aku duduk di kursi ini.
Dan aku bermimpi indah sekali.
Aku dapat melihat nenek sewaktu masih kecil duduk di kursi itu sambil berusaha mengeja kata-kata yang terdapat di dalam buku dongeng kesukaannya.
Aku juga melihat ayah bersama mainan mobil-mobilan dan robotannya, sedang mengkhayalkan perang galaksi yang sedang terjadi.
Dan aku juga memimpikan ibuku. Ibu yang tidak kukenal karena meninggal pada saat aku lahir. Ia sedang duduk di kursi ini, menyusuiku dan bertanya-tanya seperti apa masa depanku kelak. ***
Untuk Edogawa Rampo
Leave a Reply