Cerpen Raudal Tanjung Banua (Kompas, 16 April 2023)
TAK sekali pun ia menoleh ke belakang. Ia ingin segera berdayung, seakan melarung beban hidup yang tersandang.
Tapi saat mendorong perahu, ia dengar napas memburu. Memaksanya menoleh. Ternyata si sulung, dalam seragam putih-biru, mengejar.
“Kenapa balik, he? Ayah ’kan su bilang tak punya uang?”
Anak kelas dua SMP itu tenang sekali bilang, “Beta bosan janji terus, Yah. Lebih baik beta ikut melaut, cari uang. Besok biar lega ketemu Ibu Maria.”
“Beraninya kau! Su berapa lama tak ada ikan, he?”
“Hari ini akan dapat, Yah….”
Si Ayah mau lanjut marah, tetapi karena dibuat punya harapan, seketika ia merasa punya teman, “Naik sudah!” Cepat anak itu melompat naik, sesaat sebelum perahu berayun di punggung ombak. Meluncurlah ayah dan anak itu ke laut lepas.
Sambil berdayung, si Ayah bersiul. Si Anak ingat pantangan: bersiul di laut bisa panggil badai. Tapi ayahnya acuh tak acuh saja.
Ah, tak ada lagi takut mendera! Lebih dua tahun badai pandemi melanda, semua habis terjual atau tergadai. Hingga kini tak ada kepastian pendapatan. Gubuknya berdinding gaba-gaba mulai miring. Dihuni lima anak-beranak, dan istri yang lumpuh.
Si Ayah bersiul lebih keras mengusir bayangan celaka itu. Ajaib, si Anak melihat awan menyisih. Pertanda baik, bisiknya di ujung lunas perahu. Bagaimana pun, Patrik, namanya, terlanjur janji (berkali-kali) mau beli buku paket Pancasila dari Ibu Maria. Ia juga yakinkan ayahnya, Ahmad Muchsin, bahwa hari ini mereka akan dapat ikan.
***
“Kau yakin kita dapat ikan?” nada Muchsin menagih.
“Ya, Ayah!”
“Bagaimana kau bisa yakin?”
Patrik mengubah posisi duduknya. Persis ia duduk di perpustakaan sekolah—dan mulai bercerita. Sudah lebih seminggu ini, katanya, tiap jam istirahat tiba, ia ambil buku yang sama. Bercover biru laut, berisi gambar aneka ikan. Bila jam istirahat berakhir, ia simpan lagi di rak terbawah. Ia cicil membacanya.
Buku itu mengisahkan tentang lelaki seberang lautan mencintai ikan-ikan laut Maluku. Begitu tabah dan setia.
“Sebentar,” si Ayah teringat sesuatu. “Do bukan pelaut seperti kita toh?”
“Bukan, Yah,” si Anak senang dapat tanggapan, “Semula ia tentara. Tapi beralih jadi pengumpul ikan. Mungkin do tak suka perang. Setiap ikan ia catat dalam buku besar. Nama, ukuran, ciri, semua. Ia dibantu istri dan anak lelakinya yang rajin.”
Muchsin teringat istrinya yang lumpuh dan duduk sepanjang hari merangkai kerang dan lokan. Hasilnya berupa tasbih dan rosario dititipkan di art-shop Jalan Ampera. Ah, Patrik juga anak rajin, ia bergumam. Hari ini, tanpa diajak pun si Anak turut melaut.
“Sayang matanya diserang katarak, Yah. Seperti karang ditumbuhi terumbu. Ia buta akhirnya. Tak bisa lagi lihat laut biru dan ikan-ikan yang dicintainya,” nadanya sedih. “Lebih kasihan lagi, Ibu Suzana, istrinya, meninggal karena gempa.”
“Ah, ayah ingat sekarang! Rumphius kau maksud?”
“Benar, Yah!” si Anak girang. “Georg Eberhard Rumphius! Ayah tahu?”
“Sudah lama sekali….” suara Ayah bergetar. “Dulu waktu ayah kecil, tetua masih sesekali menceritakannya. Laki-laki buta itu pernah tinggal di soa kita. Buyut dari buyut kita ikut membantunya kumpulkan ikan.”
Muchsin tatap cakrawala, dan kini balik bercerita. Katanya, lama setelah laki-laki itu meninggal, kampung dilanda paceklik. Nelayan pulang melaut dengan tangan hampa. Mereka panjatkan doa. Sebut nama-nama. Roh Kudus. Maria. Sulaiman. Khidir. Yunus. Tapi tak kunjung terkabul. Sampai Bapak Kepala Soa ingat nama yang terlupa: Rumphius. Itu layak disebut karena ketabahannya. Maka disebutlah namanya dalam doa. Tiga hari kemudian, ikan-ikan terdampar di pantai. Seluruh kampung berpesta.
“Konon, ikan-ikan itu buta. Orang percaya itu hadiah Semesta untuk Rumphius. Ia pun mempersembahkannya kepada leluhur kita sebagai terima kasih yang tulus.”
Hening. Hanya kecipak air laut disibak lembut dinding perahu. “Maaf, ayah belum ceritakan ini padamu. Tapi Bapak Kepala Soa yang sekarang agaknya masih ingat cerita itu. Carilah dia nanti, lengkapi bacaanmu.”
Si Anak tergugu. “Beta percaya, Ayah juga tak akan menyerah toh?”
Si Ayah menggeleng. Matanya lamur oleh sesudut air asin menggenang.
***
Saat begitu tenang, tiba-tiba perahu bergoyang diayun sesuatu dari kedalaman. Ayah-anak itu bersiaga. “Hiu!” si Ayah berseru.
Benar saja, sepasang hiu muncul melenggok di sisi perahu. Ukurannya lumayan, sekitar dua meteran. “Lemparkan semua pancing!”
Si Anak melemparkan semua pancing. Ditambah pancing-pancing semula yang masih tertanam di air. Lama menunggu, tak satu jua disentuh moncong hiu. Dilirik pun tidak. Itu tampak menggemaskan di air jernih.
“Sayang tak ada jala,” sesal si Ayah. Ia mulai gusar dan memikirkan cara untuk tidak menyerah. Ah, kepalang basah, ia pinta, “Pisau!”
Si Anak ambilkan pisau di balik bilah lantai perahu. Dan, cresss, ternyata si Ayah melukai telapak tangannya sendiri! Darah menetes ke laut.
“Ayah!”
“Seperti kau minta, ayah tak menyerah.”
“Tapi, Yah….”
“Nah, kaulihat, hiu mabuk bau darah,” Si Ayah tersenyum puas. Sambil menahan perih tangan, ia bongkar pengait besi, semacam tempuling, yang terikat di bagian dalam dinding perahu. Kini ia siap menundukkan.
Sial! Mereka melongos pergi, bagai kawanan anjing jinak di pantai mengibas-ngibaskan ekornya menjauh. Si Ayah ingin melolong.
“Sayang sekali,” dan ia mulai membebat lukanya.
“Pasti mahal, ya, Yah?” Patrik menyela polos.
“Cukup buat ongkos ibumu tiga kali ke dokter,” Muchsin hilang minat, dan dengan tangan terbebat, ia lanjut berdayung. Si anak menimba dengan perasaan kosong. Bukan rezeki kita, bisik Muchsin, seperti hari-hari kemarin. Bagaimana pun ia ingin bersikap selayaknya ayah menghibur anak yang kecewa.
Dan sikap mulia itu cepat berbalas: sepasang hiu itu muncul lagi sekarang. Muchsin jadi berang. “Jika kalian pamer, enyahlah!” ia sodokkan dayungnya ke hiu penggoda itu.
Di luar dugaan, seekor di antara hiu kelabu itu membuat manuver cantik: tiba-tiba ia melompat ke atas perahu! Benda terapung itu nyaris terbalik. Ayah dan anak terkejut, tapi segera sadar rezeki tak ke mana. Keduanya bergulat bagaimana pun, menundukkan makhluk laut yang menggelapar membahayakan.
“Pisau!” lagi-lagi si Ayah minta benda berkilau itu.
Patrik menunjuk pisau dengan ragu. Garang laki-laki itu menyambarnya.
“Dia buta, Yah!” Patrik cegah pisau menghunjam lambung hiu.
Kaget oleh teriakan ganjil itu, Muchsin terhenti. Ketika hiu dapat dikuasai, ia ikut periksa matanya. Putih. Putih seluruhnya.
“Ah, kita pulang, seekor cukup!” mendadak ia putuskan putar haluan. Bayangan Rumphius menggelisahkannya.
“Ayah, mungkinkah roh Rumphius menggiring ikan buta ini kepada kita? Beta curiga kedua hiu tadi buta, buktinya tak seekor pun menyentuh kail kita….”
“Mestinya ada hidung, Buyung! Tapi entahlah. Semua serba mungkin. Lagi pula, kau benar, seekor telah melompat kepada kita.”
Dada Patrik melimpah. Ya, seekor telah menolong si Ayah yang hampir dibutakan oleh penderitaan. Roh Rumphius mungkin berperan.
Apa pun, kali ini ia senang mendengar ayahnya kembali bersiul.
***
Mereka berlabuh di muara tempat menara suar tua tegak dengan karatnya. Di situ ada los-los memanjang bagi segala jenis ikan. Dengan telapak tangan terbebat sobekan kaos parpol, ayah dan anak menurunkan seekor besar tangkapan mereka.
Para toke berdesak menyambut. “Ale kena giginya?” seorang bertanya simpati.
“Kamong diserangkah?” yang lain ingin tahu.
“Tidak. Tangan beta kena pisau sendiri,” jawab Muchsin, berberes.
“Ai, ale tangkap pakai pisaukah?”
“Tidak. Beta umpan dengan darah.”
Orang-orang berdecak. “Mesti ditempuh itu segala cara. Lama kita tak ada ikan.”
“Tapi kenapa bisa?” seorang lain memikirkan cara aneh tersebut.
“Hiu punya lobang hidung toh?” kata Muchsin sambil menancap dayung ke pasir.
“Lagi pula,” si Anak ikut menyela, “Ikannya buta….”
Dua orang petugas pelabuhan tertarik mendengarnya. Mereka kira mata hiu itu pecah sehingga disebut buta. Setelah dicermati, si petugas tahu mata itu putih bukan karena pecah atau meler. Seorang petugas berkata, “Betul, kedua matanya buta. Tak mungkin kebetulan. Jadi, batalkan jual-beli.”
“Kenapa bisa begitu, Bapak?” Muchsin rasa itu candaan garing musim paceklik.
Si petugas berbadan tambun mendongakkan kepala. “Ini berbahaya. Kita baru saja reda dari bahaya Covid-19, sekarang mau coba bahaya daging beracun?”
“Maksud, Bapak?” nada Mucshin mulai naik.
“Kamorang dapat dari Teluk K, toh? Semua su tahu, ikannya seng boleh ditangkap! Tailing tambang emas di hulu sungai su cemari teluk!”
“Lagi pula,” petugas satu lagi menyela, “Apakah ini bukan hiu terlarang?”
Orang-orang berbisik, “O, pantas ia pulang paling akhir… ia diam-diam ke sana….”
“Untung kita tahu mata ikannya buta, jika tidak…, mati kita!”
“Jangan-jangan hiu langka, kita bisa dituduh penadah….”
Muchsin murka atas desas-desus keparat itu. Ia hunus pisau. Ia iris setangkup daging hiu dan siap ia telan mentah-mentah. “Beta buktikan ini bukan ikan beracun, he?!”
“Stop, Bapak!” si Tambun panik. “Kami bahkan lihat racunnya menetes!”
“Omong kosong!” Sekejap, daging sekepal tangan angslup ke kerongkongan Muchsin. Dan benar, terhuyunglah ia. Lalu bagai dipukul limbubu, ia rubuh. Orang-orang mengangkatnya ke bawah ketapang. Si anak menolak ayahnya dibawa ke klinik.
Patrik cabut dayung dan ia ayun-ayunkan. Ia yakin ayahnya hanya lelah dan sangat marah. “Tinggalkan kami sudah. Ayah hanya mabuk!”
Orang-orang pergi, menggerutu, “Ya, mungkin benar ia mabuk, seperti biasa….”
Kedua petugas pun pergi menyeret hiu buta itu. Mereka akan simpan di peti pengawet khusus bagi ikan-ikan berkasus.
Si Anak pangling. Sedari tadi ia berpikir hiu itu hadiah Rumphius untuk seorang ayah yang tak mau menyerah. Apakah akan ia biarkan dirampas, sekalipun oleh negara?
“Ikan buta Rumphius, ikan-ikan buta Rumphius,” Patrik berbisik lirih persis tetua soa mengucap mantra. Ia kejar kedua penyeret hiu keramat-suci itu. Seorang masuk ke kantor, mungkin melapor. Dan seorang lagi ia ikuti ke gudang.
Setenang mungkin ia bertanya, “Apakah Bapak tahu ikan-ikan Rumphius?”
Orang itu terbahak. “Itu di dunia ilmiah, Nak! Di sini, semua orang nelayan dan pedagang. Kecuali kau rajin belajar, dan kelak kuliah. Kau akan pelajari di sana. Bukan sekarang.” Ia meludah. “Tapi lihat, baju sekolah ade pun telah jadi layar.”
Patrik raba seragam kumalnya. Di baliknya, pisau serba guna Ayah terbaring seperti dayung. ***
.
.
/Ambon-Yogya, 2023
Raudal Tanjung Banua, peraih Cerpen Terbaik Kompas 2018. Tinggal di Yogyakarta. Buku terbarunya, Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan.
Joko “Gundul” Sulistiono, lahir 10 April 1970 dan menempuh pendidikan Strata 1 di ISI Yogyakarta. Meraih penghargaan kompetisi seni rupa Philip Morris Indonesia Art Award tahun 2000. Telah berpameran tunggal di Koong Gallery Jakarta (2003) dan Couple Art Exhibition di G-Print Art Studio Yogyakarta (2023). Kini menetap di Kota Yogyakarta.
.
Ikan-ikan Buta Rumphius. Ikan-ikan Buta Rumphius. Ikan-ikan Buta Rumphius. Ikan-ikan Buta Rumphius.
David John Rawson
Cerita ini memuat pesan tentang betapa parah kerusakan lingkungan di sebuah kampung nelayan sekaligus sikap masa bodoh yang berwewenang tentang kerusakan lingkungan dan dampaknya. Si narator di cerpen ini menggambarkan dampak dashyat tailings (air limbah) dari sebuah pertambangan emas di hulu yang meracuni baik mahkluk laut maupun manusia. Suatu ekosistem yang dulu berimbang sekarang rusak mutlak, bahkan sudah kolaps. Pada suatu hari ada banyak ikan yang terkapar di pantai dekat kampung nelayan dalam keadaan buta. Para nelayan lama mengalami kelangkaan ikan dan menanggapinya sebagai hal ajaib sesuai dengan kepercayaan lokal tentang si Rumphius, ilmuwan dari zaman dulu. Meskipun begitu para nelayang tidak diberitahu oleh para pejabat asal usul masalahnya yaitu tambang emas dan air limbah beracun yang dibuangnya. Malah tangkapan ikann dari nelayan diambil saja untuk dites, habis perkara. Tambang emas justru dibiarkan terus beroperasi dan racunnya tambah banyak di teluk itu. Para nelayan masih percaya ada roh Rumphius yang mengakibatkan ikan menjadi buta seperti si Rumphius dulu. Kebenaran ditutupi oleh para pejabat dan keadaan ekonomi para nelayan semakin parah. Semoga penulisnya, Pak Raudul, seorang penulis yang sangat moncor dan produktif, akan terus menulis tentang masalah lingkungan yang kita hadapi sekarang.