Cerpen AM Lilik Agung (Solopos, 15-16 April 2023)
Cerita satu
TUBUH Puspa merapat ke tubuhku ketika keluar dari ballroom Hotel Fairmont Montreux Swiss. Cara terbaik melawan angin malam musim semi memang saling merapatkan tubuh.
“Kita makan malam di restoran 1820. Beef filet-nya istimewa,” ajak Puspa.
Di kedai makan, berteman anggur merah dari Bordeaux kami sengaja duduk bersebelahan. Memandang jalanan pinggir Danau Geneva yang dipenuhi orang dari lima benua.
“Di jalan itu, lima personal Deep Purple terinspirasi menciptakan lagu Smoke on the Water.” Puspa menunjuk jalan tepat di depan kami.
Lalu tangannya gantian menunjuk ke gedung yang dipenuhi aneka lampu. “Itu kasino Montreux. Terbakar ketika Frank Zappa sedang konser. Ian Gillan, vokalis Deep Purple, langsung membikin lirik Smoke on the Water.”
Sebagai anggota staf ILO, organ perburuhan milik PBB yang berkantor di Swiss dan sudah belasan tahun dilakoni, Puspa hafal dengan cerita-cerita kota ini.
Aku sendiri baru kemarin datang ke Montreux. Hari ini bersama tujuh perwakilan kamar dagang Indonesia, aku ikut konferensi tahunan perburuhan dunia. Senang sekali di konferensi aku bertemu Puspa setelah empat belas tahun tiada berjumpa.
Kami tinggalkan restoran 1820. Tidak langsung pulang ke penginapan. Empat belas tahun waktu yang amat panjang tiada bertemu. Ada rindu. Ada gejolak yang tetap tidak bisa aku tuntaskan ketika berjumpa Puspa.
Bangku menghadap danau. Satu cup kopi. Angin malam. Duduk berimpitan. Tanganku melingkar ke pinggang Puspa.
“Sudah larut, Agung. Besok konferensi hari kedua. Kita pulang dulu,” Puspa melihat jam tangannya yang angkanya menunjuk sepuluh lebih.
Kami telusuri jalanan pinggir Danau Geneva. Tiga ratus meter melangkah, tiba di depan apartemen Puspa.
Sejenak dia menatap wajahku. Jari Puspa memegang cincin kawinku.
“Sampaikan salamku untuk Yohana.” Bibir Puspa bergetar menyebut nama istriku. Aku mengangguk pelan. Kucium lembut pipi Puspa. Lalu Puspa masuk apartemennya. Aku melanjutkan berjalan. Hanya berjarak enam puluh meter hotel tempat menginapku malam ini dengan apartemen Puspa.
Cerita dua
Tape recorder compo aku nyalakan keras. Aku bernyanyi kencang, “Alright hold tight… I’m a highway star…” Tiba-tiba kamar kosku diketuk keras.
“Buka saja, enggak dikunci,” aku berteriak. Pintu terbuka. Lelaki dengan rambut awut-awutan menampakkan diri. Satya, sahabatku.
“Kau ditunggu kawan-kawan. Massa sudah berdatangan di Gedung Pusat. Antok enggak bisa hadir, lagi sakit perut!” Satya berseru, berlomba dengan lengkingan vokal Ian Gillan.
“Oke… oke. Kau duluan, segera aku susul,” ucapku. Kumatikan tape. Aku sambar kaus hitam bergambar Che Guevara. Adidas superstar membungkus kakiku.
Kupacu vespa bututku menuju Gedung Pusat UGM. Hari ini aku sebenarnya sudah pamit tidak ikut menggalang demo mahasiswa. Semalam suntuk di kampus mempersiapkan majalah kampus yang kena tenggat hari ini. Subuh baru pulang ke kos.
Massa sudah memenuhi halaman Gedung Pusat UGM. Baru menyandarkan vespa, Utami, mahasiswi berambut model Demi Moore berwajah ayu yang siang ini menjadi pembawa acara, sudah memanggil-manggil namaku. Langsung aku meloncat ke panggung demo.
“Hanya satu kata…!” teriakku. Segera disambut teriakan massa, “Lawan!”
Lalu aku berorasi. Membakar semangat mahasiswa melawan pemerintah tiran Orde Baru. Dua puluh menit berorasi. Sudah cukup. Aku tinggalkan panggung.
“Ada Puspa di belakang panggung. Urus saja Puspa. Tugasmu sudah tuntas membakar mahasiswa,” kata Utami padaku. Puspa teman satu kos Utami yang baru aku kenal enam hari lalu.
Berbalut celana panjang jins biru. Kaos putih bergambar Pulau Bali. Rambut panjang dibiarkan tergerai. Tanpa ada riasan menempel di wajahnya. Puspa nan ayu. Membonceng vespa bututku. Menelusuri jalanan. Ingin aku berteriak mengabarkan pada warga kota, “Jogya, ini gadis ayu wargamu. Menjadi milikku!”
Cerita tiga
Kertas kuarto terpasang di mesin ketik. Artikel tentang gerakan mahasiswa, baru tertulis tiga paragraf. Sejenak rehat, aku aduk kopi hitam. Jam dinding mengabarkan, sembilan malam kurang lima menit.
Kopi belum sempat aku tenggak, tiba-tiba muncul mobil jeep tepat di depan pagar rumah. Jeep dimatikan. Aku tengok dari balik jendela. Empat orang berpakaian serbahitam. Meloncat dari jeep. Membawa bedil.
Kawan-kawan aktivis sudah banyak diciduk. Yang lain tiarap bersembunyi. Aku tetap tinggal di kos. Tidak sempat membereskan, aku matikan lampu kamar. Berjingkat menuju kamar mandi di ujung deretan kamar-kamar kos.
Terdengar pintu kamar kosku dibuka. Kosong. Langkah-langkah kaki menuju ujung bangunan. Ujung senjata membuka kamar mandi nomor satu. Nihil. Nomor dua, hampa. Pada kamar mandi nomor tiga. Aku mengangkat tangan.
Kepalaku ditutup kain serbahitam. Berdesak-desakan dalam jeep. Sengaja aku diputar-putar menelusuri kota untuk menghilangkan logika ruang dan arah.
Kira-kira satu jam berputar-putar, jeep masuk ke sebuah gedung. Pagar dibuka, terdengar suara, “Siap!”
Aku disuruh melompat turun dari jeep. Kain serbahitam tetap membalut kepalaku. Berjalan memasuki lorong yang redup lampunya. Pintu dibuka.
“Target sudah ditangkap, komandan!” ucap seorang.
“Selesai!” sahut orang yang disebut komandan.
Tepat jam sepuluh malam. Aku tahu dari radio yang dinyalakan komandan. Radio lokal di Jogya menyiarkan acara yang tidak lazim. Rabu rock di tengah malam. Penyiar tanpa basa-basi langsung membuka acara dengan lagu kesukaanku, Burn.
Komandan beranjak dari kursinya. Pintu ruangan ditutup. Komandan berjalan di depan. Aku di belakangnya. Sengaja aku berjalan cepat. Mendekat ke komandan. Kuucapkan kalimat, “Deep Purple tetap grup band terbesar. Lagu-lagunya abadi.”
Cerita empat
Penguasa Orde Baru gulung tikar. Bersama aktivis mahasiswa lain aku keluar dari penjara. Sesuai dengan nazarku sesudah Orde Baru tumbang, aku menuntaskan kuliah yang sempat kocar-kacir empat semester.
Menjelang masuk abad dua puluh satu, aku lulus. Berbarengan dengan Puspa. Ada suka cita. Menjadi aktivis didapat, lulus kuliah diperoleh.
Haluan hidup aku ubah. Dari aktivis ingin menjadi profesional perusahaan. Ada tawaran beasiswa magister manajemen di Negeri Uwak Sam tahun depan. Aku ambil beasiswa itu. Menunggu terbang ke Negeri Uwak Sam, aku ikut kursus ekstention bahasa Inggis di kampus sebelah. Kecemerlangan otak Puspa menjadikan ia asisten dosen di jurusannya, Hubungan Internasional. Utami sendiri? Berjuang menyelesaikan skripsi.
Lalu cerita menyimpang. Berubah dengan ujung-pangkal yang tidak aku pahami. Tuntas sudah kuliah Utami. Sebagai sahabat dekat aku menjadi pendamping wisuda Utami. Sementara Puspa harus mengajar karena dosen utama mengambil post doktoral di Australia.
Selesai wisuda, aku antar Utami pulang ke kosnya. Kamar kos Utami lumayan lebar. Kliping-kliping media yang ada foto dirinya bersama aktivis lainnya memenuhi tembok. Lalu muncul pengakuan Utami.
“Ketika aku melihat dirimu berorasi, aku terpukau padamu.” Utami menatap tajam wajahku.
“Ketika kamu memboncengkan Puspa sewaktu demonstrasi, ada seorang gadis yang semalaman menangis. Gadis itu, aku. Mengapa Tuhan menciptakan gelora cinta padaku untuk mencintaimu, Agung? Bukan pada laki-laki lain?”
Ada butiran air dipelupuk matanya. Sebelum air mata jatuh, aku bergerak cepat. Kucium pipi Utami. Lalu berganti bibir Utami aku lumat habis. Kami bergumul.
Dan pintu dibuka. Sebuah jeritan terdengar. Kudorong Utami.
“Bangsat kau Agung!” ditatap buas wajahku.
“Biadab kamu Yohana!” gantian ia menelanjangi wajah sahabat karibnya. Dua compact disc yang ia beli dan mau dihadiahkan padaku untuk ulang tahunku tiga hari lagi, dibanting. CD Best of Deep Purple pecah berkeping-keping. Ia membanting pintu. Berlari. Puspa menghilang untuk tidak pernah bertemu lagi denganku.
Yohana Utami. Yohana, kawan-kawan satu kos memanggilnya. Utami, para aktivis menyebutnya. Menjadi istriku.
Cerita lima
Setahun lebih satu bulan setelah kami bertemu di Montreux. Aku ada kursus kepemimpinan di sekolah bisnis Insead Paris. Kebetulan Puspa bertugas di Paris.
Jumat akhir pekan. Kursus kepemimpinanku tuntas. Pekerjaan Puspa kelar. Kami berjanji bertemu di bar Le Carrillon yang setiap Jumat malam menggelar rock klasik. Kubayangkan duduk berdua bersama Puspa. Mengudap sandwich isi ham dan lelehan keju. Berteman koktail Tia Maria. Sambil mendengarkan sayatan gitar lagu, When A Blind Man Cries. Thanks God it Friday.
Kampus Insead di Fontainebleau berjarak tujuh puluh kilometer menuju Le Carrillon. Berkereta perlu satu jam sepuluh menit. Aku suruh Puspa menunggu. Paling telat jam delapan malam lebih empat puluh menit aku sampai di Le Carrillon.
Kereta tiba di Stasiun Goncourt jam delapan lebih dua puluh menit. Jalan kaki sembilan ratus meter ke Le Carrillon perlu lima belas menit. Keluar stasiun pada pengkolan jalan ada toko bunga. Aku ambil satu tangkai. Bunga untuk Puspa. Dua ratus meter jarak ke Le Carrillon. Aku mempercepat langkah.
Sayang, seketika langkahku terhenti. Lampu warna-warni yang menerangi Le Carrillon berubah menjadi pudar. Terdengar bunyi keras menggelar. Sekejap Le Carrillon berubah menjadi lautan api. Bom meledak.
Kesadaranku sebentar menguap untuk berganti dengan raungan. Aku menangis meraung-raung. Ada Puspa menunggu aku di bar Le Carrillon. Puspa yang memilih tidak menikah setelah cintanya aku telikung bersama sahabat karibnya. Puspa nan ayu. Mengapa tubuh indahnya harus luluh-lantah dihancurkan teroris? ***
.
.
AM Lilik Agung. Konsultan SDM yang banyak menulis ulasan kepemimpinan serta manajemen pada berbagai media. Menulis empat buku fiksi. Buku kumpulan cerpen terbarunya Manusia Urban (Penerbit Elexmedia Komputindo, Maret 2021).
.
Deep Purple dalam Lima Cerita. Deep Purple dalam Lima Cerita. Deep Purple dalam Lima Cerita.
Leave a Reply