Cerpen Edwin (Kaltim Post, 16 April 2023)
PERNIKAHAN itu bisa terjadi dengan satu syarat; peran juru masak di dapur mesti dipegang oleh Yudhis seorang, tanpa campur tangan orang lain di dalamnya. Istrinya, Raila, tak keberatan, juga tak pernah mengajukan tanya mengenai syarat itu.
Malam itu, Raila dan anaknya sedang bermain di ruang tamu, menanti masakan favorit suaminya terhidang di meja makan. Dari luar rumah, kehidupan keluarga kecil ini tampak harmonis sebagaimana adanya sebuah keluarga. Sedang di dapur, asap mengepul. Yudhis mencincang bawang merah, bawang putih, cabai, juga tomat. Di sisi lain meja, telur ikan yang sudah dibersihkan berbalur garam dan lada.
Yudhis mencoba mereplika resep Mamak, namun tak pernah mampu ia menandingi atau sampai memasak replika sempurna masakan mamaknya.
Minyak yang dangkal di dalam wajan itu mulai meletup, seperti memanggil Yudhis untuk menimbang mana yang lebih dahulu harus dibenamkan; ikan atau bumbunya. Ingatannya samar-samar mengambang di langit dapur.
Tangannya kemudian bergerak cepat menumpahkan bumbu dari wadah blender ke dalam wajan. Aroma harum bumbu yang telah dihaluskan itu menguar, barangkali, ke seluruh penjuru rumah, berusaha memanggil dengan tenang kenangan masa lalu lewat indra penciuman. Ia segera teringat ketika Mamak memasak setelah mereka sekeluarga menunaikan salat Magrib, sedang Yudhis mendaras Quran dengan Abah.
***
“Mak, aku mau belajar masak ini,” ucap Yudhis yang berumur 10 tahun saat itu sambil menunjuk-nunjuk masakan yang ada di tengah meja makan.
Abah yang mendengar celetukan itu segera memandang Mamak. Kemudian ia tersenyum, sedang Mamak menelan suapannya lalu menjawab, “Boleh. Memang kenapa Yudhis hendak belajar memasak?”
“Aku berpikir, setiap aku ke dapur, aku selalu melihat Mamak memasak. Senang rasanya melihat itu. Aku senang pas tahu di dapur Mamak lagi mempersiapkan santapan untukku sama Abah.”
Yudhis kembali berdiri dan melanjutkan, “Makanya aku mau belajar masak, Mak. Supaya bisa menemani Mamak memasak di dapur!”
Keesokan hari, Yudhis segera berlari ke dapur setelah pulang sekolah. Ia membiarkan sepedanya terbengkalai di pekarangan rumah, melepas sepatu dengan acak, dan bergegas lengkap dengan atribut sekolah yang masih rapi. Tetapi, Mamak tak ada di sana. Yudhis kecil terdiam, dan melihat seisi dapur tertata rapi, seolah tak pernah disentuh siapa pun juga, seolah kegiatan memasak tak pernah terjadi di sana. Ruangan yang hangat itu terasa dingin membeku.
Yudhis tentu tidak menyadari malam itu adalah kali terakhir ia menatap mata mamak yang tenang serupa telaga. Dua hari setelahnya, Mamak pergi untuk selama-lamanya. Dokter mengatakan pembuluh darah Mamak pecah secara mendadak.
Setelahnya dapur menjadi ruang bermain yang menenangkan untuk Yudhis. Ia tumbuh dengan mencintai kegiatan memasak. Baginya tiada yang lebih berarti dari memasak karena dengan demikian ia selalu bisa menunaikan janji yang tak sempat dituntaskan Mamak pada masa kanaknya.
***
Yudhis segera memasukkan telur ikan itu ke dalam wajan, dan asap yang lebih besar melesat ke udara. Dengan lihai Yudhis segera menyiram sedikit air ke dalam wajan, untuk memastikan hidangannya tidak kering. Ia tersenyum, kemudian menuangkan sesendok garam, setengah sendok gula pasir, serta menuangkan kaldu bubuk ke dalam wajan dengan takaran yang sama.
Mustahil ia meminta Mamak mengajarinya dalam semalam sebab ia bukan Roro Jonggrang yang meminta Bandung Bondowoso mengajarinya seribu resep dan teknik masakan dalam semalam. Tetapi, ketika Mamak masih hidup, Yudhis selalu suka memantau gerak-geriknya di dapur. Betapa ia mencintai dapur, seperti mencintai mamaknya sendiri.
Dalam situasi ini, Yudhis memikirkan dapur sebagai ruang kerja, meski sesekali teman-teman istrinya membercandai perihal lelaki yang sibuk di dapur. Baginya, memasak adalah suatu kemampuan untuk bertahan hidup, memasak tidak berkaitan dengan jenis kelamin atau bahkan gender tertentu.
Raila selalu membiarkan Yudhis di dapur. Sebab, bagaimanapun Yudhis adalah seorang juru masak yang andal. Untuk ukuran seorang lelaki, ia terlampau lihai memegang alat masak dan paham benar bagaimana mengolah rempah, bumbu, dan segala bahan di dapur. Di lain sisi, Raila sadar kemampuan memasak Yudhis lebih tinggi ketimbang dirinya, sehingga memercayakan urusan perut kepada Yudhis lebih tepat.
***
“Musa, Raila, makan!” panggil Yudhis.
Musa berlari kencang menuju dapur, sedang Raila bergerak mengikuti langkah kaki Musa. Keduanya duduk di kursi menghadap meja makan. Yudhis menaruh potongan telur ikan ke piring masing-masing, kemudian duduk khidmat di antara mereka.
“Warung makan yang nantinya akan kubuka namanya sudah ditentukan,” ujar Yudhis memecahkan keheningan dengan tegas.
Wajah Raila semringah, dan menjawab, “Oh, ya? Lalu apa namanya, Mas?”
“Lidah Masakan Ibu.”
Raila tak memiliki wewenang menyanggah gagasan itu, karena segala macam yang bersinggungan dengan memasak berada di bawah kuasa Yudhis seorang. Meski begitu, Raila tentu kebingungan mengapa suaminya memberi nama sebuah warung makan atas sesuatu yang tidak mereka kenali—lidah ibu?
“Aku perlu memberi tahu satu hal penting lain, Raila, Musa. Hal ini penting untuk kalian tahu. Setidaknya, sehabis ini, kita bisa sama-sama memasak di dapur.”
Apa maksud dari sama-sama memasak di dapur? Selama ini, ia telah menunaikan janjinya untuk tidak merecoki kegiatan Yudhis di dapur. Lantas apa yang tiba-tiba membuat Yudhis mesti melibatkan orang lain dalam kegiatan sucinya itu?
“Oseng intalu iwak haruan ini, sebenarnya adalah resep pertama dan terakhir yang ditinggalkan Mamak di keluarga. Abahku atau Kai, tak pernah punya catatan resep dari Mamak.”
Yudhis melanjutkan, “Tapi malam itu, malam ketika kami makan bersama seperti ini, Mamak menuliskan satu resep masakan sebelum ia tidur, resep itu adalah oseng intalu iwak haruan yang sejak dulu selalu jadi makanan favoritku. Ia menitipkannya ke Abah.”
Mamak meninggalkan Yudhis sendiri di dapur itu, belajar memegang pisau dengan tegas dan tanpa ragu memotong sayur, menumbuki rempah, atau mencincang daging yang kemudian dihidangkan kepada Abah, lalu Raila, dan Musa.
“Aku cuma bisa memasak oseng intalu iwak haruan. Belakangan aku tahu, Mamak ternyata meninggalkan satu buku catatan penuh berisi resep masakan yang sudah disesuaikannya dengan lidahku. Lidah yang tumbuh mengecap rasa dari piring makannya.”
Pengakuan Yudhis dipenuhi haru. Raila membayangkan dirinya mengenali sang mertua, ia pula membayangkan anaknya bertemu dengan neneknya melalui sepiring makanan yang dihidangkan suaminya itu.
“Pada halaman depan buku itu, kemudian kutulis “Lidah Masakan Ibu”. Selama ini, aku hanya menyajikan apa yang disajikan Mamak kepadaku dan Abah. Resep makanan itu kemudian kubawa ke seorang teman, konsultan makanan. Ia bilang, resep Mamak matang dan ideal untuk dijajakan, masakan yang besar di dapur-dapur rumahan. Maka tak usah heran, aku sebenarnya hanya mengulang-ulang resep yang sama dari Mamak. Termasuk makanan favorit kalian berdua; gangan waluh, sambal hampalam muda.”
Raila dan Musa hanya terdiam.
Musa berbisik kecil, “Di dapur ini, aku cuma lihat seseorang yang mirip ayah dengan badan yang lebih kecil. Dia anak-anak, berumur 10 tahun dengan wajah sedih, sedang memasak dengan seorang perempuan. Kupikir itu ibunya.”
Yudhis hanya tersenyum.
Raila menyadari bahwa selama ini ia tak sedang membiarkan Yudhis memasak. Melainkan, membiarkan Yudhis kecil di masa lalu memasak bersama mamaknya, menghidangkan masakan penuh cinta di atas piring makan keluarganya. Yudhis yang sama, yang mengakui bahwa sejatinya ia tak bisa memasak, yang selama ini tak membiarkan orang-orang menjamah dapur.
Kini ia paham, di dapur hanya ada ia yang masih kanak dengan Mamak yang telah tiada. Mereka berdua abadi bersama, menghidangkan oseng intalu iwak haruan di atas meja makan Yudhis dewasa yang tumbuh berkeluarga.
“Itu Ayah?” tanya Musa.
Yudhis geming menatap Mamak tersenyum di seberangnya. ***
.
.
Edwin. Lahir di Samarinda pada 1998. Menempuh studi di Universitas Mulawarman. Menghabiskan waktu untuk bermusik dan menulis fiksi atau lirik lagu. Berperan sebagai additional player Keleham.
.
Lidah Masakan Ibu. Lidah Masakan Ibu.
Leave a Reply