Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Koran Tempo, 30 April 2023)
KAMU mengerti bahwa saat ini suasana dalam keadaan genting. Waktu telah menciptakan jurang-jurang kematian, di mana sewaktu-waktu orang bisa terjerumus ke dalamnya. Suara tangisan semakin sering terdengar, bersahut-sahutan. Genangan air mata ada di mana-mana. Setiap saat kamu terus membayangkan hari-hari depan yang mencekam. Mencekam. Sungguh mencekam.
“Tokoh-tokoh mereka mulai pada kembali ke Indonesia, ini tentu akan menambah kekuatan bagi mereka. Mereka akan semakin dimudahkan dalam mewujudkan ambisinya, mendirikan negara yang mereka kehendaki, Republik Soviet Indonesia,” ucap Hamzah, rekanmu yang juga menjadi pengajar di pondok pesantren yang kamu pimpin saat ini.
“Aku juga mendengar, ada pemimpin mereka yang mengadakan ceramah akbar dengan membawa-bawa gelar nabi. Memberi pemahaman bahwa pemimpin mereka adalah seorang nabi. Banyak masyarakat yang percaya begitu saja karena keadaan, sikap percaya mereka karena kebodohannya. Memang kita juga tidak bisa menyalahkan kebodohan mereka, ada peran penjajah mereka bisa menjadi demikian,” responmu.
Kamu mengambil segelas teh yang ada di hadapanmu, di atas sebuah meja kayu jati berukuran tidak terlalu besar. Kamu meminumnya, teh manis, tapi terasa pahit rasanya untuk kali ini. Kamu membayangkan, jika ideologi merah terus disisipkan lewat masyarakat yang kurang pendidikan, tentu ini akan sangat membahayakan. Kamu sudah analisa sejak lama, orang-orang dari partai merah itu mengerti kelemahan yang ada untuk menyebarkan pahamnya. Maka dalam hal ini kelemahannya adalah terletak pada masyarakat di kalangan bawah. Mereka mempengaruhi masyarakat kalangan bawah. Dengan begitu, paham mereka bisa cepat menyebar, sebab kebodohan yang merajalela.
Rasa-rasanya seperti sudah tidak ada harapan lagi, kamu menatap hampa ke penjuru bangunan pondok pesantren. Kamu sering membayangkan, bahwa santri-santri tinggal menunggu waktu saja untuk mereka lenyap. Akhir-akhir ini kamu semakin sering mendengar kabar buruk. Banyak orang yang mencari sanak-saudaranya karena hilang. Banyak orang yang menemukan jejak kekejaman. Sumur-sumur terus digali, digunakan untuk memendam korban. Kamu semakin ngeri.
Kamu masih mengobrol dengan Hamzah. Sebelum mengakhiri obrolan, kamu menegaskan dirinya yang berniat pergi bersama rekannya yang bernama Nurun ke Burikan untuk mengabdikan dirinya di sana, sebab terjadi krisis pengasuh karena keadaan. Pengasuh di sana ada yang memilih keluar dari pondok pesantren, ada yang hilang, sampai ada yang ditemukan tidak bernyawa.
“Insya Allah saya akan berusaha untuk menjaga semuanya dengan segenap kemampuan saya. Saya bisa memahami situasi ini. Mereka tidak lebih daripada binatang yang kelaparan, tidak pilih-pilih. Semuanya diterabas, dihantam! Tapi santri-santri itu, ya meski sudah banyak berkurang, yang tersisa, tentu perlu memerlukan kehadiran, mohon maaf, orang seperti saya.”
Hamzah tidak henti-hentinya meyakinkanmu.
Sebelum ucapan itu keluar dari mulut Hamzah, kamu memang terus menghalang-halangi niat Hamzah untuk pergi ke Burikan, sebab kamu memperoleh firasat yang tidak baik. Hamzah tampaknya tidak goyah.
Akhirnya kamu merestuinya. Hamzah dan Nurun ke Burikan. Pada saat melepaskan kepergian keduanya, ada perasaan berat hati. Bayangan-bayangan yang tidak kamu inginkan kembali muncul. Kamu tentu berupaya menghilangkannya dan tetap berusaha tersenyum di hadapan mereka berdua. Kamu terus berbisik kepada hatimu, bahwa Burikan membutuhkan mereka berdua. Sosok yang begitu berkharisma, sehingga bisa memberikan pengaruh yang baik kepada santri di Burikan.
Bayangan-bayangan yang tidak kamu inginkan itu—apalagi bila itu terjadi—tidak kamu ceritakan kepada siapa-siapa. Kamu tidak ingin menambah was-was orang yang ada di sekitarmu. Kamu pendam dalam-dalam, kamu biarkan hatimu disiksa olehnya. Meski begitu, doa dan ucapan yang baik terus kamu pupuk dalam tempurung kepalamu.
Keadaan telah merawat rasa khawatir, membuat seisi pondok pesantren menambah waktu untuk beribadah. Terkadang timbul pemikiran di benakmu, bahwa apa yang telah kamu perintahkan membuat pihak-pihak di luar sana menjadi semakin tidak suka. Tentu segala tindakan di dalam pondok pesantren bisa menyebar keluar dengan begitu mudahnya.
“Namun apa boleh buat, manusia tidak punya daya apa-apa. Hanya Allah yang dapat memberikan pertolongan,” katamu kepada dirimu sendiri.
***
Pagi ini, 18 September 1948 seorang santri menghadap kepadamu, bahwa di luar ada beberapa orang dan salah seorang mengatakan ingin bertemu denganmu. Dari santri tersebut, kamu memperoleh keterangan bahwa sebagian orang menggunakan penutup kepala berwarna hitam. Jantungmu berdegup kencang. Orang-orang menggunakan penutup kepala berwarna hitam, kata-kata itu mengendap dalam pikiran dan kamu langsung membayangkan sekelompok orang merah.
Hendak apa mereka kemari?
“Mereka mengancam apa?” tanyamu.
“Tidak mengancam apa-apa, mereka hanya mengatakan ingin bertemu Kyai,” ucapnya.
Kamu segera melangkah dan menjumpai orang-orang yang mencarimu. Ada sedikit yang membuatmu aneh. Apa yang membuat mereka datang baik-baik? Bukankah selama ini mereka tidak seperti itu, menjarah dan membabi buta? Ada tujuan apa, hingga mereka demikian? Kamu terus bertanya-tanya, hingga kamu berada di hadapan beberapa orang. Santrimu benar, beberapa orang mengenakan penutup kepala berwarna hitam.
“Kyai Mursyid?” kata salah seorang yang berdiri tepat di hadapanmu. Kamu menduga orang itu adalah pentolan dari kelompok itu.
Kamu langsung menanyakan apa maksud dan tujuan daripada kedatangannya bersama beberapa orang itu, sembari menatap satu per satu dari mereka, seakan menaruh curiga kalau mereka seperti singa yang akan menerkammu. Sementara itu, beberapa santri menjaga jarak, mereka menyaksikanmu seperti menyaksikan penghakiman, sama sekali tidak ada yang berani menemanimu. Ia merangkulmu dan mengajakmu duduk. Kamu merasa aneh dengan perlakuan seperti itu. Ya, aneh. Orang itu seakan-akan sedang berada di rumahnya sendiri.
Dengan perlahan orang itu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Kamu sama sekali sudah tidak ada pikiran khusnuzon. Kedatangan mereka pasti mempunyai maksud tertentu.
“Bagaimana? Semuanya akan aman, asalkan Kyai ikut kami. Kami tidak melakukan apa-apa. Ini demi kemaslahatan bersama. Kami hanya mengundang Kyai berunding. Kami sadar, membutuhkan masukan-masukan dari berbagai pihak. Kami tidak asal-asalan dalam mewujudkan tujuan kami,” kata orang itu. Kamu diam, seperti memikirkan sesuatu.
Sekilas kamu menyaksikan mata-mata orang-orang dari kelompok itu. Kamu tidak bisa menumbuhkan rasa percaya kepada mereka, kalau mereka mengajak berunding untuk kedamaian. Bagaimana mungkin kamu bisa percaya dengan mereka setelah melihat apa yang telah terjadi?
Kamu bisa memahami apa yang mereka maksudkan sebagai “berunding”. Apalagi kalau bukan untuk mendukung apa yang menjadi cita-cita mereka, mendirikan negara dengan ideologi mereka. Mereka memang memberi janji tidak akan mengapa-apakan pesantren, tapi itu belum terjadi saja—andaikan cita-cita mereka terwujud, mereka tetap akan menghilangkan pondok pesantren. Sekarang kamu harus mengambil keputusan yang tepat!
Menolak ajakan mereka, berarti harus siap-siap menanggung hal buruk saat itu juga—walaupun mereka tidak terang-terangan mengancam jika kamu menolak ajakan mereka. Jumlah orang-orang yang datang ke pondok tidaklah sedikit. Mereka bisa langsung menghancurkan pondok pesantren. Merampas apa-apa yang bisa dijarah. Sementara santrimu juga tidak siap dan berkutat pada rasa takut.
Menerima, kamu sudah berprasangka kalau bakal berakhir buruk juga. Kamu tidak yakin dengan ucapan mereka “berunding”. Pondok pesantren tetap saja menjadi suatu tempat yang tidak dikehendaki keberadaannya oleh mereka. Kamu yakin mereka telah menyiapkan permainan yang begitu matang. Bagaimanapun kamu dengan keras berupaya menanamkan pikiran yang positif, tetap saja tidak bisa. Doa terus kamu panjatkan.
Karena keadaan semakin terdesak dan kamu menyadari kalau pondok pesantren sedang dalam ancaman, akhirnya kamu menuruti mereka. Dengan menuruti mereka paling tidak ada harapan pondok pesantren terbebas dari ancaman—sekalipun untuk sementara waktu. Tidak dihantam oleh mereka pada saat ini juga.
***
Beberapa santri tampak berlinang air mata, melepas kepergianmu. Kamu katakan pada mereka, kalau kepergianmu hanyalah sebentar, dan kamu berjanji akan segera kembali. Kamu lontarkan ujar, kalau apa yang kamu lakukan, demi pondok pesantren. Dengan langkah berat kamu meninggalkan mereka. Dalam anganmu, kamu membayangkan orang-orang di pondok pesantren. Mungkin ada yang heran denganmu, mengapa kamu begitu mudahnya mengambil keputusan, menuruti orang-orang itu?
Tiba-tiba kamu ingat dengan Hamzah dan Nurun. Perasaan mendadak tidak enak, seperti ada yang berbisik, telah terjadi sesuatu pada mereka. Apakah Burikan juga didatangi oleh orang-orang merah? Atau malah jangan-jangan sudah diluluh-lantakkan? Apa Hamzah dan Nurun juga seperti aku, diajak untuk berunding? Berbagai pertanyaan tentang Burikan, Hamzah, dan Nurun terus mengganggumu.
Secara tiba-tiba kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri. Gambaran-gambaran buruk terlukis dalam angan-anganmu. Gambaran buruk, jika ternyata ajakan berunding itu tidak benar-benar berunding. Melainkan sebenarnya kamu diculik. Sementara pondok pesantren sudah dijarah.
“Bila begitu, bukankah hanya sebuah kesia-siaan aku pergi?” Kamu membatin.
Pikiran-pikiran buruk tidak bisa kamu hindarkan. Pikiran-pikiran itu justru malah semakin berkembang menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Dari sekian pikiran-pikiran yang ada, ada satu pikiran yang paling kelam. Kamu mengandaikan kalau dirimu tidak akan pernah kembali ke pondok pesantren. Dengan kata lain, perjalanan yang sedang kamu alami merupakan perjalanan menemui ajal. Orang-orang merah itu sesungguhnya sedang menculikmu dengan cara yang halus. Kemudian kamu dibawa ke suatu tempat dan dihabisi.
Di tengah sesaknya berbagai pikiran yang berjubel di kepala, kamu terus berdoa. Kamu pasrahkan dirimu dan mendoakan keselamatan orang-orang yang ada di sekitarmu. Kamu tidak lupa juga berdoa untuk keselamatan Hamzah dan Nurun. Keduanya adalah cahaya bagi anak-anak santri, menjaga mereka untuk tetap di jalan yang seharusnya.
Tadi kamu dijemput menggunakan mobil berwarna hitam. Setelah melewati area persawahan dan perkampungan, mobil yang membawamu berhenti di sebuah rumah yang besar terlihat tampak tua. Beberapa mobil yang mengikuti mobilmu juga berhenti tidak jauh dari keberadaanmu. Kamu pun turun. Orang yang menemuimu di pondok pesantren mengatakan di rumah itulah tempat yang akan digunakan untuk berunding.
Halaman rumah itu lumayan luas, dengan mobil-mobil yang sudah terparkir saja, masih tampak begitu lengang. Kamu memutar pandang ke sekeliling. Pikiran-pikiran burukmu masih menggantung di angan, tapi tidak selebat saat di dalam mobil. Ketika kamu hendak melangkah, kamu mengurungkan niat, setelah beberapa orang bergerombol tidak jauh dari tempatmu berdiri membicarakan sesuatu.
“Burikan sudah hilang, sudah habis!”
“Bagus!”
Seketika jantungmu berdegup kencang. Orang yang menemuimu di pondok pesantren, menegurmu dan mempersilakan untuk lanjut. Kamu langsung naik darah.
“Ini yang dimaksudkan berunding?” katamu kepada orang yang menemuimu di pondok pesantren.
“Maksud Kyai, apa?”
“Baru saja aku mendengar dari mereka Burikan sudah dihabisi!” katamu sembari menunjuk ke arah gerombolan orang itu.
“Setelah ini Takeran kalian habisi! Hah!”
“Saya sungguh tidak paham! Saya ke sini hanya mau mengajak berunding, mengapa Kyai malah….”
“Sudahlah!”
Seketika kamu ingin memukul wajah orang yang mengajakmu berunding itu, keinginan itu muncul hampir bersamaan dengan rasa sakit yang bersumber dari tengkukmu setelah sebuah benda menghantam. Kemudian perlahan pandanganmu mengabur dan menjadi gelap. ***
.
.
Gang Beo, 2022-2023
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.
.
Takeran. Takeran. Takeran. Takeran. Takeran. Takeran. Takeran. Takeran.
Leave a Reply