Cerpen Kiki Sulistyo (Kompas, 07 Mei 2023)
PEMERINTAH kota mengeluarkan aturan: pohon-pohon di sepanjang jalan protokol harus ditebang. Pertama, karena musim hujan sudah datang. Kedua, karena pohon-pohon itu sudah berusia tua; rapuh dan mudah tumbang. Musim hujan dalam beberapa tahun belakangan selalu diiringi angin badai. Sejumlah pohon sudah tumbang dan sebagian menimpa kendaraan yang sedang melintas. Tahun lalu, seorang perempuan pekerja turut menjadi korban. Sekarang perempuan itu lumpuh dan harus menghabiskan hidupnya di atas kursi roda.
Sewaktu petugas penebang pohon mulai bekerja, Maryam baru mengetahui ada aturan itu. Sebelumnya, setiap hari Maryam berjalan melintasi jalan protokol. Ia senang berjalan di bawah kanopi pepohonan. “Rasanya syahdu, seperti membawa nostalgia,” ucap Maryam kepadaku saat kutanya soal kebiasaannya itu. Maryam lahir di daerah administratif yang masih termasuk ibu kota provinsi tempat jalan protokol itu berada. Meski tinggal di daerah pinggir, bukan di pusat kota, semenjak kecil ia sudah senang berjalan melintasi jalan protokol, di bawah kanopi pepohonan. Sekarang Maryam bekerja di sebuah kantor asuransi dan setiap hari ia berjalan kaki menuju kantornya, sekitar 3 kilometer dari tempat tinggalnya.
Ia memilih berjalan kaki bukan karena tak ada angkutan kota, atau dalam rangka mengirit pengeluaran. Ia berjalan kaki karena selalu hendak merasakan syahdu yang seperti membawa nostalgia itu. Aku bilang ke Maryam, seraya mengutip Milan Kundera, perihal nostalgia; suatu perasaan ingin pulang ke rumah yang sudah tak ada lagi. Maryam tak setuju dengan pendapatku. Ia berkata, “Itu berlaku untuk situasi besar. Situasi yang melibatkan negara dan politik. Tidak dalam situasi yang kualami. Aku tak ingin pulang. Bagaimana bisa aku ingin pulang sedang aku tak pernah ke mana-mana? Nostalgia yang kurasakan adalah hal berbeda; ia tak memulangkan, ia mengasingkan.”
Mungkin Maryam benar.
Karena perasaan itu, saat para petugas mulai menebang pohon, Maryam tiada dapat menyembunyikan kecemasan di parasnya. Ia akan kehilangan saat-saat keterasingannya.
“Mungkin kita bisa menulis surat pembaca untuk mempertanyakan kebijakan wali kota,” ujarnya kepadaku pada malam kami bertemu setelah ia untuk pertama kali melihat petugas penebang pohon bekerja. Aku bilang kepadanya bahwa itu tak ada gunanya apabila ia mengharapkan surat yang ditulisnya bisa membuat aturan dibatalkan. Tanpa surat pembaca pun pasti akan ada pihak-pihak yang menentang aturan itu; mahasiswa, LSM, bahkan dari pihak pemerintah sendiri. Namun, seperti biasa, aturan itu akan tetap dijalankan. Pohon-pohon di jalan protokol akan ditebang.
“Lagi pula, kupikir aturan itu tepat. Pohon-pohon itu sudah terlalu tua. Sangat berbahaya apabila datang musim hujan. Nyawa manusia tetap tak setimpal dengan pohon-pohon,” ujarku menambahkan.
Maryam tak menyukai pendapatku. Tiada sedikit pun ia percaya bahwa nyawa manusia tak setimpal dengan nyawa pohon-pohon. Padahal, aku tak mengenal Maryam sebagai seorang pemerhati masalah lingkungan. Ia tak pernah ikut organisasi pencinta maupun pelestari alam. Ia juga jarang sekali berbicara soal sampah, pemanasan global, atau perubahan iklim. Akan tetapi menyangkut pohon-pohon di jalan protokol, tampaknya ia merasa sangat berkepentingan.
Dengan nyaris bersungut-sungut ia berkata, “Itu pikiran yang bodoh. Mana bisa manusia hidup tanpa pohon-pohon? Kau lihat saja nanti, kalau pohon-pohon itu habis ditebang, kecelakaan akan lebih banyak terjadi. Panas matahari sekarang bisa bikin orang senewen. Karena senewen mereka akan ugal-ugalan di jalanan, apalagi jalanan kota ini kian ramai, kian sesak, terutama di jam-jam kerja. Macam jalan di ibukota negara saja!”
“Tapi coba kau posisikan diri sebagai korban yang terkena pohon tumbang. Bagaimana kalau kau, atau keluargamu, terpaksa harus menghabiskan sisa usia di atas kursi roda. Apa pikiranmu masih akan sama?”
“Ah, tak perlu kau sodorkan kepadaku pertanyaan dari moral Kantian semacam itu. Bagaimana mungkin segelintir orang yang celaka membuat orang lain membasmi sesuatu yang sebetulnya tak ada hubungannya dengan kecelakaan itu. Barangkali, jika orang-orang mampu, mereka juga akan meratakan gunung-gunung supaya tak ada lagi yang meletus. Membuat atap seluas semesta untuk menangkal hujan supaya tak ada banjir, juga menjaring angin supaya tak ada topan dan badai. Padahal semua kecelakaan yang menimpa orang-orang adalah karena kebodohan mereka sendiri.”
“Termasuk aku?” tanyaku. Tentu pertanyaanku bermaksud menggodanya, juga bermaksud mencairkan ketegangan.
“Iya. Termasuk kau!” serunya.
Maryam kemudian melaksanakan niatnya menulis surat pembaca. Ia kirim ke koran lokal, juga ke koran nasional. Akan tetapi surat itu tak dimuat. Tampaknya koran lokal tak mau memuat surat tersebut karena perusahaan yang menerbitkan koran tersebut sudah punya kerja sama dengan dinas terkait. Sementara koran nasional tak tertarik dengan surat tersebut lantaran isunya terlalu lokal.
Sementara itu, musim hujan pun datang. Nyaris setiap hari langit gelap, angin basah menggiring bubuk air agar tertebar merata seakan-akan bubuk air itu adalah bibit-bibit tanaman. Pertengahan Desember cuaca memburuk. Badan Meteorologi memperingatkan kemungkinan datangnya badai. Aku tak bertemu lagi dengan Maryam semenjak terakhir ia bilang kepadaku bahwa ia sudah mengirim surat pembaca. Sebagai wartawan aku disibukkan oleh tugas liputan, dan tentu saja hari-hari itu liputanku tak jauh dari soal cuaca.
Sebetulnya aku agak malu mengaku sebagai wartawan, sebab pekerjaanku, di perusahaan media dalam-jaringan itu, tak lebih dari menulis ulang rilis acara-acara pemerintah, atau mengunggah konten-konten remeh semacam chord gitar lagu yang sedang terkenal, sinopsis sinetron yang juga sedang terkenal, bahkan pernah: tips mengaduk semen. Kadang aku juga diminta membuat daftar-daftar tertentu, dengan janji nomor sekian bakal mencengangkan pembaca. Tentu saja tak ada yang mencengangkan dari daftar-daftar itu, kecuali judulnya. Apa boleh buat, sebagaimana aku, perusahaan juga membutuhkan pemasukan.
Namun, beberapa waktu lalu seorang kawan wartawan keluar dari perusahaan. Kabarnya ia mau membangun perusahaan sendiri. Jadi, aku mendapat kesempatan untuk menggantikannya meliput peristiwa.
Aku ditugaskan menemui Fatimah Gotama, perempuan yang lumpuh karena tertimpa pohon tahun lalu, untuk keperluan wawancara. Di luar dugaanku, mungkin juga dugaan banyak orang, Fatimah justru memimpin suatu gerakan protes terhadap aturan penebangan pohon sepanjang jalan protokol. Bersama sejumlah aktivis ia turut berdemo, baik di depan kantor wali kota, maupun di depan Gedung DPRD, juga di depan dinas pertamanan dan tata kota. Memang tak banyak yang ikut. Isu penebangan pohon kiranya tak cukup hangat dibanding isu kenaikan harga bahan bakar atau isu perubahan undang-undang yang berskala nasional itu.
Tiada kusangka, di rumah Fatimah, aku malah bertemu dengan Maryam.
“Kau salah lagi. Lihat, aturan penebangan pohon itu ditunda. Setidaknya belum seluruh pohon habis ditebang. Kami berhasil,” ucap Maryam saat aku sudah di ruang tamu rumah Fatimah. Fatimah sendiri belum keluar, ia sedang menerima telepon di kamar dalam.
Sementara itu hujan turun dengan ganas; angin kencang menyapu apa saja. Bunyi atap seng yang nyaris terbang membuat suasana jadi terasa mengancam. Akan tetapi, Maryam tampak tenang-tenang saja.
“Kami?” tanyaku. “Jadi sekarang kau ikut menjadi aktivis?”
“Kenapa harus menjadi aktivis untuk bisa bersuara? Jika ada orang-orang yang satu pemikiran, meskipun mereka tak saling kenal, itu bisa disebut sebagai “kami”. Aku menyebut “kami” karena aku satu pemikiran dengan Fatimah, tapi kami tak satu pikiran denganmu. Ya, kan?”
Ah, Maryam. Ia selalu ingin mempertentangkan dirinya denganku. Aku tahu, kegemarannya berjalan kaki sepanjang jalan protokol untuk merasakan suasana syahdu dan seperti nostalgia itu tak lain karena silsilahnya. Maryam punya darah Belanda. Nenek buyutnya berasal dari negara Eropa itu. Para kolonialis itulah yang punya kebijakan menanam pohon di sepanjang jalan yang kelak menjadi jalan protokol kota ini. Maryam tiada pernah mengunjungi tanah lahir nenek buyutnya. Akan tetapi sesuatu dalam dirinya jelas terhubung dengan masa lalu. Berjalan kaki di sepanjang jalan protokol, di bawah kanopi pepohonan, dapat membawanya ke tanah lahir nenek buyutnya. Itu pastinya yang ia maksudkan sebagai nostalgia. Jadi aku tak salah, Milan Kundera juga tak salah. Aku bisa meyakini semua itu, karena aku dan Maryam berkawan dekat sejak kecil.
“Kau memang pintar, Maryam. Menyenangkan berbicara denganmu. Meski cuma kadang-kadang. Tapi ingat, sekarang ini aku sedang dalam tugas liputan. Aku mau mewawancara Fatimah. Kalau kau tak keberatan, bisakah kau membiarkan kami berbicara berdua saja?” ucapku.
“Kenapa begitu? Kupikir tak ada masalah aku tetap di sini. Kau tak perlu mengutip namaku di beritamu. Aku cuma mau mendengar pertanyaan-pertanyaanmu….”
Suara gemuruh terdengar dari luar. Suara yang seperti merobek deru hujan, disusul seruan-seruan. Aku segera bergegas ke pintu depan. Dari sana dapat kulihat sebatang pohon tumbang tak jauh dari rumah Fatimah. Pohon itu mengenai kabel jaringan listrik dan menimbulkan api yang memercik ke sebuah rumah. Meskipun hujan demikian deras, tapi angin rupanya turut membesarkan nyala api. Rumah itu terbakar, dan dalam tempo singkat api pun mulai menjalar ke rumah di sebelahnya; rumah yang lebih dekat dengan rumah Fatimah.
Sesaat kemudian kami mendengar suara jeritan dari kamar dalam. ***
.
.
Mataram, 2022-2023
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Kumpulan cerpennya, Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), masuk nomine Penghargaan Sastra Kemendikbudristek 2022. Sementara kumpulan cerpennya, Bedil Penebusan (2021), masuk nomine Buku Prosa Terbaik Tempo 2021.
I Made Wahyu Friandana, lahir di Denpasar. Dia merupakan perupa, musisi (Virtual Doom & Akubandkamu), dan seniman tato. Pernah menggelar beberapa pameran, salah satunya Pameran Bali Megarupa tahun 2021.
.
Pohon-pohon Jalan Protokol. Pohon-pohon Jalan Protokol.
David John Rawson
Narator-aktor (NA) ada tujuan untuk meyakini pembaca tentang motif sesungguhnya temannya untuk melawan penebangan pohon di jalan protokol di sebuah kota. Ada NA yang mendukung penebangan pohon-pohon itu karena dia merasa pohonnya sudah rapuh dan tua sehingga rentan roboh pada musim hujan. Ada temannya yang tidak setuju semua pohon itu harus ditebang apabila ada cabang yang kejatuhan mobil ataupun orang. Kemudian ada dialog filosofis antara NA dengan temannnya tentang pertanyaan filsafat tentang hubungan manusia dan alam. Si NA merasa nilai nyawa manusia tak sebanding dengan nilai pohon sehingga kalau ada korban kejatuhan pohon, pohon harus dibasmi. Pandangan temannya tidak memposisikan masalah di sini tapi mengambil perspektif filosofis lain. Jika ada yang mengalami kecelakaan tidak berarti alam (semua pohon) perlu dibasmi karena ada kekuatan alamiah yang tak bisa dikontrol manusia. Sepertinya posisi ini didukung oleh korban pohon yang roboh yang kemudian menjadi aktivis lingkungan untuk menyelamatkan pohon itu. Si NA ingin menggambarkan temannya justru dipengaruhi oleh sikap neo-kolonialisme semacam nostalgia (pohonnya dari zaman Belanda dan temannya ada nenek moyang Belanda) lagipula temannya ada motif yang menguntungkan diri sendiri yaitu hanya ingin menikmati rindang pohon-pohon itu waktu jalan kaki ke kantornya. Di akhir cerita tampaknya ada pohon lagi yang roboh akibat badai kemudian ada kebakaran. Meskipin begitu si pembaca masih bertanya-tanya, apakah semua pohon harus dibasmi?
Haruna Sulhaji
Pohon-pohon dalam komplek, pepohonan di taman lindung, pohon hijau pada tata kota. Pohon itu bersahabat sekarang dan ada di departemen kota gubernur. Untuk ketenangan lingkungan.