Cerpen, Radar Banyuwangi, Zahro Syaquilla AR

Surga Pertama

Surga Pertama - Cerpen Zahro Syaquilla AR

Surga Pertama ilustrasi Reza Fairuz/Radar Banyuwangi

3.5
(6)

Cerpen Zahro Syaquilla AR (Radar Banyuwangi, 20 Mei 2023)

SABAN hari, Bu Marta sesekali menengok keluar jendela. Bu Marta merasa agak tenang ketika bisa melihat luar rumah melalui jendela ruang tamu rumahnya. Hal itu telah ia lakukan dalam kurun waktu seribu hari terakhir semenjak kepergian suaminya.

Hari-harinya pun diliputi kesendirian semenjak suaminya berpulang untuk selama-lamanya. Bagaimana tidak, Bu Marta memang sudah lama tinggal berdua dengan sang suami. Jangan tanya ke mana anak-anaknya. Mereka sudah sukses hidup mandiri—menurut kacamata orang-orang.

Bagaimana dengan Bu Marta? Apakah ia protes saat ia tinggal seorang diri? Tentu tidak. Bu Marta termasuk orang yang cukup berbesar hati. Ia tak ingin menjadi lansia yang merepotkan anak-anaknya. Ia cukup percaya diri bahwa ia mampu melakukan apa saja tanpa bantuan yang lain. Meski di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sebenarnya berharap bisa bersama dengan anak-anak yang dicintainya.

Sempat terlintas dalam pikiran Bu Marta untuk tinggal di sebuah panti jompo. Mungkin menyenangkan menurutnya. Ia bisa bersua dengan teman baru yang usianya tak terpaut jauh dengannya. Pasti cocok kalau diajak ngobrol. Namun, pikiran itu kemudian dihapus perlahan olehnya.

“Aku tetap di rumah ini saja sampai akhir hayatku. Rasa-rasanya aku tidak akan tega kalau meninggalkan rumah ini kosong tak berpenghuni. Anak-anakku juga pasti enggan untuk tinggal di sini. Biarlah mereka hidup bahagia dan tinggal layak di rumah mereka sendiri.” Itulah yang Bu Marta ucapkan pada dirinya sendiri setiap kali terlintas pikiran untuk tinggal di panti jompo dan meninggalkan rumahnya.

Bu Marta pun akhirnya berupaya selalu menyibukkan diri di rumahnya yang dari luar tampak sangat asri. Bu Marta selalu rajin membersihkan rumahnya sebelum terbit dan tenggelamnya matahari. Tak lupa pula menyirami bunga-bunga yang ia tanam sedari dulu bersama sang suami.

Baca juga  Perjalanan Bapak

Terkadang Bu Marta juga menyempatkan untuk menyulam aneka hiasan cantik. Namun, bedanya Bu Marta dengan orang lain, hasil sulamannya yang cantik itu tak pernah ia jual. Bu Marta hanya memberikan pada cucu-cucunya atau orang-orang yang berkenan dengan pemberiannya.

“Sepertinya barang-barang di rumah ini harus dikurangi. Mulai banyak tikus yang menghampiri rumah ini,” gumam Bu Marta kala melihat ada tikus berlarian dalam rumahnya.

Bu Marta adalah sosok yang selalu berupaya menjaga kebersihan. Belum lagi, ia meyakini bahwa suaminya tetap tinggal bersamanya. Maka dari itu, ia tidak ingin rumah yang telah menjadi saksi hidup selama bersama dengan suaminya tampak kotor dan tak terawat.

“Kok banyak, Bu, yang diloakkan?” ucap tukang loak pada Bu Marta pagi itu.

“Iya, saya mulai mengurangi barang-barang di rumah. Tikus-tikus mulai kerasan dalam rumah. Makanya saya kurangi barang-barang yang tidak terpakai lagi,” jawab Bu Marta.

“Ini juga, Bu? Memang sudah ada gantinya?” tanya tukang loak lagi.

Sejurus kemudian Bu Marta terdiam. Ia sedang melempar kenangan saat awal-awal tinggal di rumah tersebut bersama sang suami. Betapa bahagianya saat itu ia bisa membeli kursi dan meja untuk ruang tamunya. Ya, ia akhirnya bisa membeli sepaket kursi rotan lengkap dengan meja, berkat mengumpulkan honor menulis cerita pendek di surat kabar kala itu. Bu Marta memang serba bisa. Ia pandai mengarang cerita dengan apik dan bahasa yang enak dibaca. Tak terasa pipinya yang keriput terasa hangat oleh tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.

Sepertinya tak ada alasan yang kuat untuk Bu Marta meloakkan sebuah kursi rotan dari sepaket kursi yang ada di ruang tamu. Kursi itu yang biasa ia duduki sehari-hari dengan tambahan bantalan kapuk yang membuat nyaman.

Baca juga  Pencari Cahaya

Setelah seribu hari kepergian suaminya, hari-hari Bu Marta semakin kelabu dan merasa sudah tak ada gunanya lagi ia hidup. Hari-harinya hanya disibukkan dengan bersih-bersih rumah, menata tanaman, dan membunuh sepi dengan menyulam. Sesekali Bu Marta merasa putus semangat. Ia merasa percuma masih hidup dan panjang umur. Toh anak-anaknya tak pernah menjenguknya. Anak-anaknya hanya pandai mengucapkan semoga panjang umur melalui telepon setiap kali ia berulang tahun. Selebihnya, anak-anaknya tak pernah membersamai Bu Marta.

Sekian lama Bu Marta tidak pernah menelepon anaknya terlebih dahulu. Hari itu Bu Marta mencoba menelepon salah satu anaknya. Bu Marta ingin menelepon Rahmi, anak ketiganya. Namun ia teringat terakhir kali menelepon Rahmi, suami Rahmi marah-marah dan menyuruh segera mematikan telepon darinya.

Dengan melihat buku catatan, Bu Marta memijit satu demi satu angka yang ada di telepon rumahnya.

“Ah… kenapa mataku sangat buram sekarang. Bukannya sudah ganti kacamata bulan lalu. Minum jus wortel pun tak pernah absen kulakukan,” ucap Bu Marta menggerutu saat ia kesusahan melihat nomor telepon anaknya yang ia catat di buku catatan miliknya.

Tak berapa lama, Endah, anak Bu Marta yang kedua mengangkat telepon dari Bu Marta.

“Ka… kamu tidak ingin menjenguk Ibumu bulan ini?” tanya Bu Marta terbata-bata. Rasanya sudah lama Bu Marta tidak pernah berbicara dengan anak-anaknya.

Dengan tersenyum getir, Bu Marta menutup teleponnya. Padahal sepertinya Endah belum selesai bicara.

Ting tong… ting tong…

Bunyi suara bel rumah mengagetkan Bu Marta. Dengan hati-hati Bu Marta beranjak dan menuju pintu rumahnya. Ternyata Bu Marta kedatangan anaknya yang ketiga, Rahmi.

“Nak… tumben kamu datang ke sini?” tanya Bu Marta sembari tersenyum. Ia tampak senang akhirnya ada anaknya yang datang menjenguknya.

Baca juga  Kriiiingngng!!!

“Ah, iya. Aku rindu Ibu,” jawab Rahmi singkat.

Bu Marta yang melihat wajah Rahmi kemudian tertegun. Sepertinya Rahmi sedang tidak baik-baik saja. Hati seorang ibu memang tidak bisa dibohongi. Bu Marta pun langsung memeluk putrinya itu. Rahmi sesenggukan menangis pada ibunya.

“Bu, izinkan aku tinggal di sini barang beberapa hari, ya!” pinta Rahmi memelas.

“Tentu. Pintu ini terbuka lebar untuk anak-anak Ibu dan Bapak. Namun, mengapa suamimu tidak mengantarkanmu kemari?”

Rahmi tak berani menunjukkan wajahnya yang lebam. Akhirnya Rahmi bersimpuh di kaki Bu Marta. Ia menangis sesenggukan meminta maaf pada ibunya. Kedatangan Rahmi bukan tanpa sebab. Rahmi terpaksa kabur dari rumahnya karena tak sanggup menahan tabiat suaminya yang kasar. Belum lagi Rahmi terus disudutkan karena belum punya keturunan.

Tak ada yang bisa dilakukan Rahmi selain meminta maaf pada Bu Marta. Selama ini ia telah lalai pada orang tua satu-satunya yang tersisa itu. Memang sejak awal menikah, Rahmilah yang sangat jarang berkabar pada Bu Marta. Ia merasa surganya sudah berpindah pada suaminya. Alhasil, ibunya sudah jarang ia hiraukan, apalagi sekadar bertanya kabar. Apa-apa suaminya yang terlebih dahulu ia utamakan. Namun, ia lupa, bagaimanapun ibunya adalah surga pertamanya. Rahmi pun memutuskan untuk kembali pulang ke rumah ibunya. ***

.

.

Zahro Syaquilla AR, lahir di Pasuruan, 5 Juli 1994. Bukunya yang telah terbit berjudul Siwi Cinta Bahasa Daerah dan Sega Karak Piramid. Cerpen-cerpennya telah dimuat di sejumlah media.

.
Surga Pertama. Surga Pertama . Surga Pertama . Surga Pertama .

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!