Azka Riyadin Barka, Cerpen, Media Indonesia

Keburu Emak Mati

Keburu Emak Mati - Cerpen Azka Riyadin Barka

Keburu Emak Mati ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

3.7
(3)

Cerpen Azka Riyadin Barka (Media Indonesia, 28 Mei 2023)

EMAK terbaring di dipan berkasur busa yang diletakkan di ruang tamu. Dipan ditempatkan di ruang tamu supaya anak-anak, cucu-cucu, keluarga, kerabat, dan tetangga leluasa menjenguk emak. Terlihat orang-orang bersama-sama atau bergantian menengok dan mendoakan emak.

Tubuh kurus emak kaku nyaris tak bergerak. Napasnya belaka yang menunjukkan emak masih hidup. Napasnya itu pun terdengar berat serupa orang mendengkur. Namun, suaranya kini teredam kegaduhan perdebatan anakanaknya.

“Emak enggak perlu dibawa ke rumah sakit,” kata si sulung.

“Kenapa? Kalian khawatir biayanya? Bukankah emak punya BPJS?” kata si tengah.

“Kalau pakai BPJS, emak kalian diperlama pelayanannya, bahkan ditelantarkan,” sela si bibi, adik emak. “Tetangga bibi, karena pakai BPJS, dibiarkan berlama-lama di IGD. Setelah pakai duit pribadi langsung dipindah dari IGD ke ICU,” si bibi melanjutkan.

Si bibi sebelumnya terlihat berulang kali membisikkan syahadat ke telinga emak. Bisikan itu semacam tuntunan supaya orang yang sedang sekarat turut mengucapkan syahadat. Kaum muslim meyakini orang yang melafalkan syahadat menjelang mati bakal masuk surga. Beberapa kerabat bergantian membisikkan syahadat ke telinga emak.

Si tengah kesal dengan tingkah orang-orang yang membisikkan syahadat ke telinga emak. Dia ingin sekali melarang orang-orang itu membisikkan syahadat ke kuping emak. “Kayak emak sudah mau mati saja,” katanya dalam hati, tapi si tengah tak kuasa mengekspresikan kekesalannya. Dia khawatir kualat melarang orang bersyahadat.

“Jangan langsung percaya omongan tetangga bibi itu. Pelayanan BPJS bagus kok! Banyak yang terbantu BPJS!” sergah si tengah. “Kalau pun tak bisa pakai BPJS, biar aku menangggung semua biayanya,” lanjutnya. Si tengah memang punya posisi bagus di tempat kerjanya dengan penghasilan lebih dari cukup.

Seperti tak menghiraukan omongan si tengah, si bibi kembali menghampiri emak. Bibirnya tampak komat-kamit, mungkin sedang kembali mendoakan emak.

Si bungsu nimbrung. “Lagi pula, nanti kalau emak dirawat di rumah sakit, siapa yang menjaganya?”

Mereka tercenung. Si tengah ingat betul sewaktu emak sempat dirawat di rumah sakit lima tahun silam, ia dan saudara-saudaranya kerap berselisih paham ihwal pergiliran menjaga emak. Dia saat itu sedang merintis karier puncak di kantornya. Dirinya khawatir bila meninggalkan pekerjaan satu hari saja untuk menjaga emak, ikhtiarnya mencapai posisi puncak bisa bubar jalan.

Baca juga  Tak Ada Jalan Balik ke Buru

Si bungsu berdalih bila dia tidak berjualan satu hari, hilang sudah pendapatan keluarganya di hari itu. Sementara itu, si sulung beralasan, dia trauma dengan rumah sakit tempat emak dirawat. Soalnya, di situlah anak bungsunya yang masih bayi meninggal.

Ujung-ujungnya, mereka pun berpatungan untuk membayar orang yang bisa menjaga dan menunggui emak selama di rumah sakit.

Mereka bukannya tidak sadar ada ironi di situ. Emak acap merelakan diri menjaga anak, cucu, atau menantunya, yang dirawat di rumah sakit. Ingat betul ia, sewaktu anak bungsu si sulung yang baru lahir dirawat di NICU satu rumah sakit selama tiga pekan karena prematur dan menderita radang paru akut bawaan, selama itu pula emak menungguinya. Tidur di ruang tunggu dengan kasur lipat lawasnya.

Emak tahu si sulung harus bekerja. Emak paham istri si sulung harus mengurus rumah serta merawat dua balita lainnya. Ketika sang cucu akhirnya meninggal dunia, menantunya, istri si sulung, terpukul hingga jatuh sakit dan harus dirawat pula di rumah sakit. Emak pula yang ikut repot. Ia bolak-balik antara rumah sakit dan rumah si sulung. Di rumah sakit, emak menjaga sang menantu. Di rumah si sulung, emak membantu menyiapkan keperluan sekolah dan makan dua cucunya yang lain.

Si bungsu pernah juga dirawat sepekan di rumah sakit karena kecelakaan. Emak tentu ikut menjaganya. Bergantian dengan istri si Bungsu yang mesti menggantikan suaminya berjualan.

Emak juga rajin menjaga, atau minimal menengok, kerabat atau tetangga yang dirawat di rumah sakit. Sampai-sampai si bibi melontarkan keheranannya kepada emak tentang perkara tersebut. “Waktu luangku banyak,” jawab emak. Memang, semenjak ditinggal mati suaminya, praktis tidak ada yang diurus emak. Sejurus kemudian, emak berkata lirih, “Ya mudah-mudahan bila aku sakit dan sampai dirawat di rumah sakit kelak, ada yang mau menungguiku, terutama anak-anak.”

Jadi, si sulung, si tengah, dan si bungsu, tahu emak kecewa dan sedih karena bukan anak-anaknya sendiri yang menjaganya ketika dia dirawat di rumah sakit. Namun, mereka merasa ada urusan lebih penting ketimbang urusan menunggui emak di rumah sakit.

“Sudahlah, kita bisa bayar orang untuk jaga emak selama di rumah sakit. Saya yang bayar,” ujar si tengah memecah keheningan. “Yang penting, kita cepat bawa emak ke rumah sakit. Keburu emak mati!”

Baca juga  Persatuan Duda Indonesia

Si tengah terkenang sekali dengan kata-kata ‘keburu emak mati.’ Tujuh tahun silam, si tengah, istrinya, dan emak mendaftar naik haji lewat biro perjalanan haji. Meski terbilang haji plus atau khusus, bukan haji reguler, mereka harus menunggu enam tahun untuk berangkat haji.

Dua tahun setelah mereka mendaftar, emak menghubunginya, menanyakan kapan mereka berangkat haji. Si tengah menjawab mereka berangkat haji empat tahun lagi. Lalu, keluarlah dari mulut emak kata-kata ‘keburu emak mati.’ Usia emak waktu itu 78 tahun.

Si tengah esoknya mendatangi biro perjalanan haji, memohon emak, dia, dan istrinya bisa segera berangkat haji. Kalau tidak, keburu emak mati, kata si tengah kepada manajer biro perjalanan haji tersebut. Serupa mantra, ungkapan ‘keburu emak mati’ rupanya mujarab, membuat manajer biro perjalanan haji terharu dan memasukkan mereka dalam daftar calon jemaah haji yang berangkat musim haji tahun itu juga.

Akan tetapi, si tengah kelabakan. Dia harus mencari uang untuk melunasi biaya haji mereka. Atas saran rekannya di kantor, si tengah menghadap bos besar. Dia memohon mendapat pinjaman uang Rp100 juta untuk melunasi biaya haji diri, istri, dan emaknya. Kepada bos besar, si tengah berujar, kalau tidak mendapat pinjaman sehingga mereka batal berhaji tahun ini, keburu matilah emak sebelum sempat ke Tanah Suci.

“Aku ingin bila aku mati nanti, ada tulisan hajjah di depan namaku di batu nisan,” kata emak kepada anak-anaknya suatu kali.

Bos besar serupa manajer biro perjalanan haji, juga terharu. Pinjaman si tengah langsung diasese olehnya. Lagi-lagi terbukti betapa bertuahnya ungkapan ‘keburu emak mati’.

Si tengah ketika itu juga sedang menempuh pendidikan doktoral. Namun, sudah lebih dari lima tahun, studinya belum rampung juga. Emak dua tahun setelah naik haji bertanya kepada si tengah kapan jadi doktor. Ucapan ‘keburu emak mati’ dari mulut emak mampir lagi ke telinga si tengah. Emak ingin menyaksikan anaknya mendapat gelar doktor sebelum dirinya masuk ke liang kubur.

Si tengah tancap gas merampungkan kuliah doktoralnya. Si tengah ingin emak menghadiri sidang doktoralnya, sebagaimana emak menghadiri wisuda sarjana lalu masternya. Emak akhirnya bisa menghadiri sidang doktoral si tengah. Lengkaplah kehadiran emak di semua jenjang studi anaknya nomor dua itu. Kata-kata ‘keburu emak mati’ kembali menunjukkan kesaktiannya.

Baca juga  Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih

Si tengah tersadar dari kenangannya tentang tuah ‘keburu emak mati.’

“Ayolah, kalau kita tidak segera membawa emak ke rumah sakit, kita seperti membiarkan emak mati,” kata si tengah. Dia masih berupaya memengaruhi saudara-saudaranya.

“Membawa emak ke rumah sakit, cuma mengulur waktu kematian emak. Toh emak sudah mendapat bonus umur panjang, sampai 85 tahun,” jawab si sulung.

“Lagi pula, tidak ada jaminan juga emak sembuh kalau dirawat. Tetangga kita mati juga akhirnya sehabis dirawat di rumah sakit dua pekan,” timpal si bungsu.

“Apakah kita akan membiarkan emak mati di rumah? Apa kata para tetangga?” tanya si tengah.

Ya, tetangga pasti mencibir, anaknya punya kedudukan bagus di kantor, tetapi membiarkan emaknya mati di rumah, pikir si tengah. “Kita harus berikhtiar. Bawa emak ke rumah sakit! Kalau enggak, keburu emak mati,” desak si tengah lagi.

Si tengah yakin ungkapan ‘keburu emak mati’ bakal mengulang tuahnya serupa dalam perkara naik haji dan ujian doktoralnya. Si tengah yakin ungkapan ‘keburu emak mati’ bukan cuma bakal meluluhkan saudara-saudaranya untuk bersepaham membawa emak ke rumah sakit, melainkan juga menaklukkan Tuhan untuk tak buru-buru mencabut kehidupan emak.

Benar saja, kali ini luluh juga hati si sulung dan si bungsu demi mendengar ujaran ‘keburu emak mati.’ Ketiganya bersepakat membawa segera emak ke rumah sakit petang itu juga.

Tiba-tiba, si bibi menyeruak dari kumpulan orang yang mengerumuni emak. “Innalillahi wa innailaihi rojiun,” ucap si bibi sesenggukan berurai air mata.

Kali ini emak betul-betul keburu mati! ***

.

.

Depok, Maret 2023

.

Catatan:

BPJS: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

– ICU: Intensive Care Unit, ruang perawatan intensif

– NICU: Neonatal Intensive Care Unit, ruang perawatan intensif untuk bayi baru lahir

– IGD: Instalasi Gawat Darurat

.

.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!