Cerpen Dody Widianto (Waspada, 28 Mei 2023)
HUJAN turun lagi. Di bawah payung hitam kita berlindung. Berusaha berteduh dari kenangan lalu yang membuatmu menangis. Dari diorama samping kanan terminal yang pernah membuat hatimu sedikit teriris.
Dalam jarak sepuluh langkah di kanan, seorang ibu memunguti bika ambon yang tercecer di tanah. Di sebelahnya, gerobak-gerobak pedagang terguling porak-poranda. Beberapa lojor bambu dan terpal berserak di sepanjang jalan pintu keluar terminal. Beberapa petugas sedang berusaha membereskan benda-benda yang berantakan.
Mereka seharusnya sudah tahu, bahu jalan dan tepi trotoar tidak diperuntukkan untuk berdagang. Tetap saja, mereka berkilah, mereka hanya ingin mengais rezeki sejak kelonggaran dari pemerintah telah dibuka. Pandemi seolah ingin berlalu. Ada dendam dua tahun lalu yang mereka pendam saat benar-benar terkunci dan tak tahu harus melakukan apa untuk mencari sesuap nasi.
Kita masih saja berdiri di samping halte yang atapnya sedikit bocor, menunggu angkot datang ketika manusia berseliweran di depan, berjalan dengan keinginan pribadi. Jalanan selalu dipenuhi hasrat manusia yang penuh ambisi di pagi hari. Beberapa memaksa tubuhnya ditelan angkot antarkota jurusan Binjai dan Tebing Tinggi. Mengantre rapi seolah hari ini Tuhan akan banyak memberikan kelimpahan rezeki. Dan di bawah payung hitam, kita masih melihat beberapa petugas Satuan Polisi Pamong Praja ikut mengamankan keadaan. Beruntung situasi saat ini tidak seburuk yang sudah-sudah. Walau dari awal penertiban memang sedikit ada ketegangan. Namun, para pedagang itu akhirnya yang mengalah.
“Boleh aku bantu, Bu?”
Perempuan itu menatapnya sejenak. Menggeleng. Seolah tak ingin apa-apa.
“Maaf. Kami hanya menjalankan tugas. Kami tahu membangun kota terbesar di pulau ini tidaklah mudah. Terlebih kami dan berbagai pihak dari kepemerintahan selalu menggaungkan slogan kota ini paling manusiawi. Tetapi tentu saja langkah kami bukan tanpa alasan. Makanan itu sudah kotor, Bu. Bukankah lebih baik nanti dibuat lagi. Sekali lagi kami mohon maaf, tempat ini diperuntukkan untuk pejalan kaki. Bukan berdagang.”
“Modal dagang ini dari utang. Rasanya saya rugi jika membiarkan begitu saja terinjak-injak. Nanti biar buat pakan ayam.”
Kita masih saja bediri tanpa melakukan apa-apa. Menelan ludah. Itu hal paling gampang yang harus kita lakukan. Namun, melihat wajah ibu itu, aku jadi ingat kenangan belasan tahun silam. Saat itu aku baru saja bertengkar dengan ibu dan baru lulus SMA. Aku bilang ingin terus melanjutkan sekolah. Memohon pada ibu menjual sawah warisan yang tersebar di sepanjang pinggiran tol baru.
Aku kira ibu setuju dengan pendapatku. Tidak. Beliau bilang sekolah hanya menghabis-habiskan uang saja. Sawah itu sengaja dipersiapkan untuk makan sehari-hari bagi keluarga kami. Mereka tak akan menjualnya sampai kapan pun. Mau makan apa nanti. Aku memberikan penjelasan jika dengan pendidikan, martabat kita akan terangkat. Sudah pasti kelimpahan rezeki bisa mengikuti.
Mereka tetap tak mau menerima penjelasanku dan menganggap aku sedang membual. Berkata omong kosong. Betapa mereka tahu sarjana sekarang banyak yang menganggur. Terlebih ibu trauma dengan perbuatanku dulu karena sering menggelapkan uang SPP untuk membeli koin game daring dan tak pernah dibayarkan. Kukatakan pada mereka aku sudah dewasa dan mulai belajar tentang cara pandang kehidupan. Bagaimana seharusnya manusia harus memikirkan masa depan. Ibu tetap saja tak percaya.
Aku segera pergi ke rumah kakek dan meminta sarannya. Ia malah mengatakan tak punya apa-apa demi mewujudkan apa yang ada dalam kepalaku. Ia malah menawariku untuk menjual dua sarung baru pemberian pamanku untuk ongkos di perjalanan. Aku malah makin kasihan.
Setelah perseteruan itu, aku nekat minggat dari rumah dan tak tentu arah ingin ke mana. Berbekal berkas kelulusan yang aku tak tahu apakah berguna serta baju seadanya di dalam tas di pundakku, aku terus saja berjalan menyusur jalan. Melihat alamat yang tertera telah keluar dari batas kota. Tak sadar aku sudah berjalan sejauh ini.
Sebenarnya lelah sudah mulai merasuk ke tulang-tulang. Punya pikiran ingin berhenti sejenak. Tetapi, melihat alamat di dalam kertas brosur dari salah satu perguruan tinggi di kota ini, aku tak bisa berdiam diri. Tak masalah jika aku harus terus berjalan kaki.
Tepat saat aku melewati kedai kopi samping jalan, ponselku berdering. Melihat nama ibuku di layar. Aku mematikan ponsel. Entah kenapa seolah ada dendam yang membuatku membenci beliau. Kami memang tujuh bersaudara. Sudah tentu butuh biaya banyak untuk makan. Tetapi kenapa harus perhitungan untuk biaya pendidikan. Aku yakin bisa. Bekerja sambil kuliah.
Tiba-tiba sebuah angkot lewat di depanku. Sopir itu bilang apa aku mau ke terminal? Aku mengangguk saja. Pikiranku malah entah ke mana. Sampai di sana, setelah membayar ongkos dan keluar dari pintu angkot, gerombolan debu menyapa. Kota yang begitu panas. Asap dan kabut terasa ganas. Aku menutupi wajahku dengan sedikit telapak tanganku. Melihat hiruk-pikuk dan teriakan orang-orang mengarahkan alamat dan tujuan.
Seorang perempuan renta di trotoar pintu keluar terminal menarik pandanganku. Melihat beliau menjual makanan kesukaanku. Bika ambon. Melihatnya sedang melayani pembeli. Aku melirik dompet. Lembaran pemberian kakek di dalamnya masih aku perhitungkan apakah cukup sampai aku mendapat pekerjaan. Tetapi suara perutku tak bisa diajak berkawan.
“Bu, aku beli lima iris berapa?”
“Untukmu gratis saja. Kutengok pucat kali wajah kau. Cari kerja, Nak?” Ibu itu kelihatan sok akrab. Kubalas dengan mengembangkan senyum tipis di bibir dan anggukan kepala pelan.
Aku diam saja. Kaget karena melihat ibu itu malah memasukkan dua bungkusan besar ke dalam tasku. Sambil melayani pembeli yang lain, ibu itu berucap, “Tak ada yang bisa mengingkari buah dari kerja keras. Semangat, Nak.”
Aku tak menjawab apa-apa. Toh, aku tidak begitu kenal beliau. Tetapi, ia menambahkan lagi.
“Setiap kali kau ingin meraih cita-cita, hanya doa ibu yang bisa menembus langit. Sudah kau bilang sama ibumu? Kalau punya salah pada ibumu, minta maaf dulu. Tak usah keras kepala.”
Dan di bawah payung hitam, perempuan itu sangat mirip dengan yang pernah kutemui belasan tahun lalu. Ia menghentikan gerakan tangannya saat memunguti dagangan yang berserak. Memerhatikan kami dengan saksama dari ujung rambut hingga ujung kaki. Melihatku telah memakai baju khaki cokelat muda dengan badge logo pemerintah provinsi di lengan kiri. Dengan sepatu pantofel mengilat dan rambut klimis belah kiri.
Ia masih ragu menjawab salamku hingga melihat sudut mata beliau tiba-tiba menggenang. Ia melihat name–tag keramik bertulis namaku. Ia menyalamiku. Kubalas jabat tangannya sambil menundukkan kepala. Aku segera berjongkok di depannya. Berterima kasih karena saat itu telah berhasil menyulut apa yang ada dalam dada. Betapa ucapannya saat itu membuatku terus bersemangat hingga aku bisa seperti sekarang ini.
“Guido? Anak muda yang pucat kali waktu itu. Sudah sukses sekarang kau, Nak. Selamat ya. Ini istrimu? Cantik kali. Hebat kau memilih, Nak. Eh, pesanku lagi, jadi pegawai yang jujur ya, tak usah kau tiru-tiru itu yang ada di televisi. Banyak kali akhir-akhir ini. Rezeki sedikit asal kita cari dari keringat sendiri rasa nyaman dan aman. Ingat itu, Nak.”
Kami hampir bersamaan mengangguk. Dan di bawah payung hitam, kita masih berlindung dari gerimis Paris van Sumatra. ***
.
.
Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll.
.
Di Bawah Payung Hitam Kita Berlindung.
Leave a Reply