Cerpen Kedung Darma Romasha (Jawa Pos, 03 Juni 2023)
IA menggoyang-goyangkan badan motor bebeknya, memiringkannya, lalu mendekatkan telinganya ke tangki, memastikan bensinnya masih cukup untuk berangkat ke mesin ATM pecahan dua puluh ribu di pusat kota. Indikator bensinnya sudah rusak sejak kali pertama ia membelinya dengan harga empat juta.
Ia mengengkol motornya beberapa kali, menarik cuknya, tapi gagal. Ia menduga bensinnya habis. Namun dugaannya ini bukanlah pilihan yang tepat, pilihan yang tepat tentu mesti dibarengi dengan solusi, dan solusinya adalah pergi ke pom bensin dan pergi ke pom bensin membutuhkan uang dan ia tidak punya uang. Akhirnya dugaan pertama ia tepis, dan kemudian ia beralih pada dugaan yang lain, bahwa ada kemungkinan motornya yang hampir setahun tidak diservis itu bermasalah pada businya yang kotor. Ia membongkarnya, membersihkan businya, kemudian memasangkannya kembali dan mengengkolnya kemudian. Brummm… brumm… brumm… motor itu terbatuk-batuk sesaat, kemudian mengerang panjang di tengah cuaca panas yang menyengat.
Ia tersenyum melihat motornya kembali menyala. Ia tersenyum karena terbayang pecahan uang dua puluh ribu keluar dari mesin ATM. Setelahnya ia akan makan di warung Mbok Badar: tempe garit, telur dadar, sambal bawang, lalapan bayam rebus, es teh manis, disantap pukul satu siang di tengah panas terik yang menguras kerongkongannya. Setelahnya sebatang kretek akan melengkapi kenikmatannya siang itu. Dan ia pun kembali tersenyum.
Tiga minggu yang lalu lima puisinya dimuat di media online. Honor sekali pemuatan seratus lima puluh ribu rupiah. Hitungan ekonomisnya, untuk membikin satu puisi mungkin ia membutuhkan beberapa bungkus rokok—ambil pahitnya misal tiga bungkus rokok, beberapa kali makan, dan beberapa cangkir kopi manis. Satu bungkus rokok murah dibanderol seharga tujuh ribu lima ratus. Tujuh ribu lima ratus dikali tiga sama dengan dua puluh dua ribu lima ratus. Dua puluh dua ribu lima ratus dikali lima sama dengan seratus dua belas ribu lima ratus. Untuk rokok tiga bungkus yang supermurah saja sudah tombok produksi, belum makan, kopi, dan tetek bengek lainnya. Artinya untuk hitungan dagang ia sudah mengalami kebangkrutan produksi. Tapi ia terus mengulanginya.
Ia tahan dengan ocehan pacarnya yang mengatakan padanya bahwa ia telah gagal memilih jalan hidup. Padahal ia fresh graduate pascasarjana fakultas ilmu budaya di kota ini. Beberapa kali ia ikut mendaftar tes CPNS dosen, tapi gagal. Ia sudah mempunyai tiga buku karya sastra. Dua kumpulan cerpen dan satu buku kumpulan puisi yang baru saja terbit tahun ini. Di tahun pertama perkenalan, pacarnya kerap membanggakannya, bahwa ia mempunyai calon suami yang mempunyai prospek yang cerah pada kariernya. Pacarnya sudah mengikuti perjalanan kariernya sejak S-1. Ia kerap memenangkan lomba cipta puisi dan cerpen. Bahkan ia mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi dari kampusnya. Karena itu pacarnya meyakini bahwa prestasi calon suaminya akan turut mengantarkannya pada keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Namun di tahun kelima, hubungan mereka oleng dan tersungkur di akhir tahun 2022.
Sebagai penyair muda yang menjunjung tinggi harkat cinta—termasuk puisi-puisi untuk pacarnya, kini ia nyaris tak percaya cinta setelah pacarnya meninggalkannya. Ia dan pacarnya pernah memimpikan punya rumah ketika kelak sudah menikah. Rumah minimalis dengan banyak pohon di sekelilingnya; bercinta di alam terbuka, bersepeda, menikmati sore berdua, dan menulis tentu saja. Tapi impian itu justru melukai mereka. Ia pernah berjanji pada pacarnya akan menikahinya tahun 2019, tapi karena kondisi keuangan yang kosong, ia mengatakan pada pacarnya akan menikahinya tahun depan. Namun tahun berikutnya pandemi menjegalnya dan ia terjungkal pada kondisi yang paling menyedihkan. Sampai puncaknya di akhir tahun 2022 lalu, pacarnya meninggalkannya dalam kondisi paling terpuruk dalam hidupnya. Jangankan uang untuk menikah, bahkan honor bukunya tak mampu untuk memberinya makan sebulan. Ijazah S-2-nya hanya teronggok di kamar kosnya yang berukuran empat kali tiga. Bahkan yang lebih miris adalah penghasilannya berbanding terbalik dari temannya yang hanya tamatan sekolah dasar, yang berjualan gorengan di kota ini. Lebih dari itu temannya sudah mempunyai rumah sendiri, hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya. Lantas ia berpikir, untuk hidup bahagia orang tidak memerlukan gelar dan popularitas. Apalagi sebuah puisi.
Kadang ia tertawa sendiri. Mungkin ia sedang menertawakan dirinya sendiri. Pernah pula ia menulis puisi untuk temannya yang dikirimnya lewat WA, lalu ia mendapat balasan dari temannya bahwa ia diminta menjelaskan puisinya. Tapi ia malah menjelaskan bahwa puisi itu telah memenangkan juara satu lomba cipta puisi tingkat nasional dengan hadiah senilai lima ratus ribu rupiah. Tiga ratus ribu untuk membayar utang temannya, dua ratus ribu ia pegang dan lenyap di mulut pada hari keempat. Kemudian setelah menjelaskan prestasi puisi yang dikirimnya, temannya membalasnya dengan tanda jempol. Karena takut mengecewakan, temannya pura-pura mengerti puisinya. Dan ia pun senang dengan tanda jempol temannya.
Di tengah situasi hidupnya yang ambruk, ia justru mendapat kabar buruk. Ketika suatu waktu ia ngadem di serambi masjid almamaternya. Lalu seseorang datang menghampirinya dan mengajaknya bicara. Delapan puluh persen kalimat pertama tentu saja basa-basi. Pertanyaan-pertanyaan umum yang kerap kita temui ketika berkenalan dengan orang baru.
“Kuliah di sini, Mas?”
“Alumni, Pak.”
“O, sudah alumni. Jurusan apa?”
“Sastra, Pak.”
“Wah, pinter nulis puisi, dong?”
Ia hanya tersenyum.
“Kamu tahu nggak, kalau di Alquran itu ada surah Para Penyair?”
Ia mengangguk dan kembali tersenyum.
“Coba kamu buka surah Asy-Syu’ara ayat 224–227.”
Ia menggeser tempat duduknya dan ia sudah mulai tidak nyaman.
“Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat, dungu. Pengikutnya saja sesat, kamu malah milih jadi pemimpinnya. Hidup di dunia ini nggak lama, bertobatlah.”
“Neraka tidak menerima orang yang perutnya kosong, Pak.”
“Mas, lagi puasa?”
Tanpa menjawab, ia meninggalkan masjid di tengah cuaca yang terik dan tenggorokan yang kering. Memang akhir-akhir ini matahari lebih menyengat dari biasanya. Sebelum ke tempat parkir, ia membuka keran depan masjid, membasuh wajah dan kepalanya yang pening oleh panas dan dakwaan orang yang baru dikenalnya. Di masjid ia berharap mendapat kedamaian, termasuk para pengunjungnya yang saleh-salihah, namun ia justru mendapat kabar buruk. Ia pergi dengan perut kosong menuju parkiran masjid. Ia melihat puntung rokok sisa setengah tergeletak di depan pintu gerbang masjid. Ia menghentikan motornya sejenak, menepikannya, lalu mengambil puntung rokok itu dan membakarnya. Kemudian ia membuka ponselnya, lalu mengetik sebuah puisi berjudul “Puntung Rokok”.
Yang mati
Mesti dinyalakan lagi
Meski kotor dan seperti tak punya arti.
Ketika selesai mengetik puisi, bara rokok di jarinya nyaris membakar pembatas filter. Lalu ia mengisapnya sekali dan melemparnya ke jalan. “Karena untuk satu bungkus rokok membutuhkan satu puisi,” gerutunya kemudian. Ia kembali mengengkol motornya dan pergi dari tempat itu.
Puisi “Puntung Rokok” adalah satu dari tiga puisi yang dimuat media online yang honornya baru saja ia nikmati empat hari sebelumnya. Honor puisi seratus lima puluh ribu itu—dengan dikurangi potongan bulanan dari bank, hanya bisa diambil seratus ribu saja dan sekarang di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh tujuh ribu rupiah. Kini, untuk mengisi perutnya dan membakar sebatang rokok ia harus pergi ke ATM pecahan dua puluh ribu di pusat kota.
Di sepanjang jalan ia selalu membayangkan buku puisi perdananya dapat meraih penghargaan. Ia berkeinginan menabung untuk hari pernikahannya kelak. Entah kapan. Ia masih mengalami trauma setelah ditinggal pacarnya. Bahkan ia mempunyai ketakutan untuk mencintai seseorang. Ia mempuyai ketakutan pada sesuatu yang bahkan belum terjadi. Ia menyadari bahwa ia telah kalah oleh kata-katanya sendiri. Bahkan ia merasa telah banyak menabung kemurungan di dalam puisi-puisinya. Padahal semasa kuliah S-1 ia mempunyai rasa percaya diri yang besar, bahwa ia akan menjadi penulis besar, seperti cita-cita teman penulisnya yang lain. Kini beberapa temannya sudah menjadi dosen dan kawin, sudah mempunyai momongan dan rumah. Sebagian lagi menjadi pengusaha penerbitan buku. Sementara ia masih jomblo, yang untuk memenuhi kebutuhan perutnya saja masih ngos-ngosan.
Ia memarkir motornya, lalu menuju mesin ATM pecahan dua puluh ribu. Ketika uang dua puluh ribu keluar dari mesin ATM, ada pancaran kebahagiaan di wajahnya. Di kepalanya langsung terbayang tempe garit dan sambal bawang Mbok Badar. Ia mengambilnya, lantas bergegas menuju parkiran. Tapi sebelum ia mengengkol motornya, tukang parkir datang mendekati motornya.
“Maaf, Mas. Nggak ada receh.”
“Tenang, Mas, ada kembalian.”
Dengan ragu ia mengambil uang dua puluh ribu di sakunya dan memberikannya pada tukang parkir. Lantas tukang parkir mengambil tumpukan uang dari dalam sakunya, menghitung kembalian, lalu diberikan kepadanya. Ia melihat tumpukan uang itu bahkan lebih banyak dari miliknya. Kini uang di tangannya tersisa delapan belas ribu rupiah. Tapi kemurungan itu cepat diambil alih rasa lapar yang menyerang lambungnya. Setelah mengengkolnya, ia mengegas motornya meninggalkan mesin ATM.
Dengan wajah semringah, ia memarkir motornya di depan warung Mbok Badar. Dari tempat parkiran ia melihat kebul nasi dan sayur lodeh yang baru saja matang. Ia bergegas mengambil piring, menyendok nasi, sayur lodeh, telur dadar, tempe garit, sambal bawang, kerupuk, dan memesan segelas es teh. Ia menyantap dengan lahap, membayar rasa lapar yang sejak pagi merongrongnya. Kebahagiaan terpancar di wajahnya yang berkeringat setelah tegukan es teh manis melewati tenggorokannya. Kemudian ia mengambil sebatang kretek eceran, membakarnya dan mengisapnya dalam-dalam. Asap kepuasan keluar dari mulut dan hidungnya. Kini ia bersandar pada kursi sambil menikmati sebatang kretek dan es teh manis. Ia kembali membayangkan buku puisi perdananya mendapat penghargaan. Uangnya akan ia tabung untuk pernikahannya kelak, membeli tanah dan membangun rumah, menempuh keluarga sakinah, mawadah, warahmah.
Setelah membayar, ia kembali menuju motornya, mengengkolnya dan berangkat menuju kosnya. Namun baru lima ratus meter, laju motor itu tersendat-sendat dan mati. Kali ini ia menduga pasti bensinnya habis. Ia menuntunnya, menepikannya di bawah sebuah pohon rindang di tepi jalan. Kemudian ia mengambil ponsel dari saku celananya dan mulai mengetik.
Hari ini
Mas bro, pinjam uang 100rbu dong. Spt biasa
Klo honorku cair aku ganti. 14.12
Sante bro. Sdh kutransfer di rek biasa bro. 14.15
Wah…thx bro. 14.15 ***
.
.
Jogja, 2023
Kedung Darma Romansha. Kelahiran Indramayu. Ia bersama kawan-kawan muda Indramayu mendirikan komunitas Jamaah Telembukiyah yang bergerak di bidang sastra dan sosial. Buku puisi terbarunya berjudul Tarling Dangdut Diva Pantura (JBS, 2022).
.
Tarik Tunai. Tarik Tunai. Tarik Tunai. Tarik Tunai. Tarik Tunai. Tarik Tunai.
Leave a Reply