Cerpen Beri Hanna (Koran Tempo, 04 Juni 2023)
PULANG dari diskusi asal-usul orang Tanjung Pauh, Kerinci, yang berlangsung di rumah panggung Tuan Suluh (Tuan sama dengan paman), saya langsung pusing dan masuk angin. Bukan karena cuaca dingin yang selalu mendominasi daerah pegunungan seperti Kerinci dan desa sekitarnya, tetapi pembahasan berat yang sama sekali—awalnya—tidak masuk akal, cukup menguras energi saya.
Rumah panggung Tuan Suluh terletak di Desa Tanjung Pauh, kurang-lebih 3 kilometer dari Danau Kerinci. Melewati jalan lurus ke arah barat yang mana di sebelah kiri adalah pemandangan sawah dan di sebelah kanan jalan, lanskap Danau, terus hingga mencapai gapura Mushollah Darussalam. Dari sana, tinggal belok ke kanan, lalu lurus di jalan berbatu. Kira-kira lima ratus meter melewati deretan rumah papan lain yang berdempet. Biasanya, tiap pagi di hari Sabtu dan Rabu, sulit bagi saya, apalagi orang lain yang baru tiba di Tanjung Pauh, dapat menemukan titik rumah Tuan Suluh karena di sepanjang jalan berbatu gang rumahnya dijadikan pasar atau lebih akrab disebut balai.
Pernah satu kali saya kesasar karena balai di pagi Sabtu sangat ramai. Dari tenda-tenda kecil yang dibangun alakadar dengan payung serupa pasar tradisional, saya berbelok-belok, menyempil, menyusuri jalan hingga ke dalam gang-gang yang justru membawa saya ke desa sebelah. Ini tidak hanya pernah terjadi satu kali, tetapi kerap, karena bangunan tenda cenderung sama antara satu dan lainnya. Satu lagi yang membuat bingung, setiap balai berlangsung, posisi tenda penjual 1 dan 2 hingga seterusnya, berpindah-pindah atau bisa dibilang siapa yang datang lebih dulu, boleh menentukan tempat untuk mendirikan tenda.
Kembali lagi pada pembahasan asal-usul orang Tanjung Pauh. Terus terang saya belum mengerti, mengapa Tuan Suluh bersikeras menganjurkan untuk mempelajari teori Darwin tentang asal-usul manusia yang telah lama menjadi pengkajian akademik, terutama di sekolah. Menurut saya ini tidak perlu. Terlalu jauh menarik pembahasan ke masa yang bukti fisiknya sulit ditemukan. Hari ketika diskusi berlangsung, saya tak sendirian, tetapi ada beberapa warga lain, termasuk Datuk Dahlan yang dituakan, menentang anjuran Tuan Suluh hanya karena menurutnya Darwin dan teorinya merupakan ajaran sesat. Debat panas semacam ini menjadi seru dan menyulut api keributan yang tak menemukan titik terang.
Supaya agak sedikit jelas, saya juga baru mengetahuinya, diskusi semacam ini berlangsung tanpa moderator ataupun pemateri seperti pada umumnya. Selain itu, ada diskusi tata hutan, pengolahan pangan, dan sebagainya. Saya sebetulnya bertanya-tanya, untuk apa diskusi asal-usul ini diadakan, terlebih di desa kecil ini, bahkan terjadwal setiap Jumat sore? Mereka yang ribut-ribut, bahkan hendak saling memukul antara satu dan satu lainnya karena berbeda pendapat, masih sepakat melanjutkan debat di minggu berikutnya.
Lepas berjalan mengikuti dan selalu menjadi pendengar yang baik, saya sedikit-sedikit paham. Orang Tanjung Pauh—setidaknya dari pembacaan pribadi—ingin melihat bagaimana desa ini terbentuk sejak membuka hutan hingga menyepakati kegiatan budaya yang menjadi tradisi dan eksistensinya menjadi konsumsi publik secara luas.
Apa yang dikatakan Tuan Suluh, manusia tak semuanya memiliki kekuatan gaib. Justru kadang, kekuatan gaib yang dimaksud merupakan senjata imajinasi yang terbentuk atas cerita-cerita. Inilah yang menjadi menarik, bagaimana sebuah desa dapat tumbuh, membentuk lingkungan serta hal-hal lain. Mereka, kata Tuan Suluh, menciptakan ledakan setiap tindakan yang tidak lain dimaksudkan untuk membentuk kebudayaan dan identitas.
Berjuta-juta tahun lalu, Tanjung Pauh, hanyalah hutan yang dikuasai para kera. Kera-kera ini datang dari Afrika, melintas berbagai macam hutan hingga menetap di beberapa tempat untuk beranak pinak dan kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di Tanjung Pauh. Lambat laun dalam perjalanannya, kera-kera berevolusi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apa dan bagaimana kera-kera ini menjalani hidup ketika masih merangkak atau bergelantungan di pohon—jika itu benar, saya, baik juga Tuan Suluh, tidak akan pernah tahu yang sesungguhnya.
Belakangan ini, yang cukup membantu untuk mendapat gambaran kehidupan masa lampau bermula dari temuan dan penelitian tengkorak kepala, tulang kaki, gigi: Homo erectus atau genus Homo (manusia) yang diduga sudah berdiri tegak. Dari temuan tulang, tengkorak kepala, dan gigi bermacam genus Homo yang tersebar di Afrika, Eropa, dan Asia, para peneliti—khususnya pengkajian ilmu paleoantropologi—mendebat perbedaan yang melesat jauh ketika menghubungkannya ke mata rantai kehidupan yang hilang atas kemunculan—Homo sapiens; yakni kita (jenis manusia modern) dengan Homo erectus—atau jauh ke belakang: ordo primate—yang lebih jauh dari primitif karena tidak mengenal konsep bertempat tinggal dan hanya berkemampuan berdiri, mengolah batu menjadi alat bantu, serta memakan hewan dan tumbuhan purba.
Masalahnya, tidak ada tanda-tanda fosil ataupun sisa-sisa peradaban jenis Homo terdahulu di sepanjang tanah Kerinci. Lalu bagaimana bisa perdebatan narasi semacam ini terus bergulir hingga Homo neanderthal menjadi polemik lain yang mendilemakan asal-usul orang Tanjung Pauh. Homo neanderthal dikatakan tidak memiliki kesamaan dengan Homo erectus. Sedangkan Homo neanderthal dengan sapiens serta cikal bakal orang Tanjung Pauh dikatakan memiliki sedikit kesamaan dan diduga sebagai asal-usul awal mulanya.
Pada satu kesempatan, saya memberanikan diri bertanya. Lantas, akan menjadi seperti apa jika kita sepakat tentang hal-hal semacam itu? Tuan Suluh menjawabnya, ini semua akan membentangkan pembacaan budaya hingga pengkajian pariwisata atas identitas yang dibentuk secara terang dan konkret. Orang-orang dari luar akan melihat ini secara keutuhan yang besar. Ini juga dapat menjadi pijakan awal untuk mengembangkan pariwisata dengan mendirikan museum serta mendatangkan para peneliti dari berbagai dunia. Kita tidak akan lagi mengandalkan pariwisata alam, yang ujung-ujungnya merusak alam itu sendiri. Mitos-mitos, sebagaimana yang terus dinarasikan, pelan-pelan mulai tak bekerja. Manusia mampu menelaah secara mendalam, apa yang benar-benar dan tidak, dan apa yang dapat merugikan diri mereka dan tidak. Itulah sebabnya, kebanyakan orang dari luar tetap merusak lingkungan daerah, karena mereka merasa tidak memiliki hubungan yang dapat mencelakakan sebagaimana mitos-mitos yang diberlakukan.
Saya semakin bingung. Rasa-rasanya, terlalu jauh menarik diri untuk membaca sebermula pada zaman ordo primata yang berpindah-pindah itu. Sepengetahuan saya, ordo primata tak memiliki budaya seperti halnya bercocok tanam atau berumah tangga. Lagi pula, banyak pendapat para ahli yang mengatakan genus Homo ini semuanya berbeda. Salah satunya, Yuval Noah Harari. Dalam bukunya berjudul “Sapiens”, dia tegas mengatakan: Salah kaprah kita membayangkan spesies-spesies tersusun dalam garis keturunan yang lurus, dengan egaster menjadi erectus, erectus menjadi neanderthal, neanderthal menjadi kita. Model linear ini memberikan kesan salah bahwa setiap saat hanya ada satu genus Homo tertentu yang menghuni bumi, dan bahwa semua spesies terdahulu hanyalah model diri kita versi lama. Yang benar, menurut Yuval, sekitar dua juta tahun lalu sampai sekitar 10.000 tahun, planet ini adalah rumah bagi beberapa spesies manusia sekaligus.
Kendati demikian, tetap saja saya tak mendapat apa-apa selain pusing tujuh keliling memikirkannya. Bukankah kebenaran—sekaligus ilmiah—bersifat sementara? Sejauh apa dapat diuji dan suatu saat tidak menutup adanya kemungkinan akan dapat dikalahkan oleh kebenaran lain. Lagi pula, kebenaran dan spekulasi terkadang tidak berbeda antara satu dan satu lainnya. Dengan kata lain, ini, kira-kira dapat dikatakan semacam usaha menjahit mata rantai kehidupan antara ordo primata dan manusia (termasuk orang Tanjung Pauh), tidak lain sebagai sikap eksistensi sapiens dengan kemampuan berimajinasi atas obsesi yang janggal.
Mengapa perdebatan tidak meneruskan cerita-cerita rakyat, sebagaimana yang telah dipercaya untuk menjadi pijakan penelitian? Saya membayangkan para peneliti ini nantinya tertarik mengulik manusia pendek berkaki terbalik yang berkeliaran di sekitar Gunung Kerinci. Tetapi, menurut Tuan Suluh, itu hanya mitos. Sebagaimana kebanyakan mitos bekerja dalam bayang-bayang dan tidak pernah dapat ditemukan. Tetapi bagaimana dengan fosil genus Homo yang juga tidak pernah ada di tanah Kerinci? Bukankah ini kekeliruan lain yang tak akan ada pangkal serta ujungnya?
Saya yang awalnya berniat liburan ke rumah nenek, menikmati alam dan memancing di danau seperti tahun-tahun sebelumnya, kini merasa terjebak dalam pertemuan yang aneh semacam ini. Tetapi rupa-rupanya perdebatan ini cukup menggelisahkan sehingga saya tergerak membaca artikel dan buku-buku teori evolusi dan sedikit terobsesi dalam pengkajian asal-usul atau mata rantai kehidupan.
Tiap kali mencoba berhenti memikirkan apa yang telah saya baca, bayangan dan imajinasi muncul seperti mendesak untuk mencari jalan terang dari kebuntuan menemukan jawaban. Sering juga ketika tertidur, belakangan ini, saya bermimpi aneh, seperti bertemu manusia purba dan bercakap-cakap seolah-olah saya adalah bagian dari mereka. Kadang-kadang mimpi itu terbawa ke kenyataan dan tidak heran ketika melamun di tengah keramaian, saya merasa sedang melihat sekumpulan orang berjalan tidak lain adalah kera tanpa bulu yang tengah beraktivitas tanpa memedulikan satu sama lainnya.
Menelusuri jejak kehidupan masa lampau tanpa bekal ilmu yang cukup, atau memulainya dengan perdebatan panjang yang selalu panas dan seolah-olah mengundang emosi, sama seperti omong kosong dan membuat saya sekali-kali berhenti di titik ketidaktahuan. Tetapi sejauh ini, usaha kecil atas rasa penasaran tetap mendorong saya untuk mencari jawaban. Pelan-pelan dan secara diam-diam, saya bergerak dari bawah tanah untuk mulai mewawancarai orang-orang tua. Seperti nenek yang bercerita bahwa manusia Tanjung Pauh berasal dari batu garam. Satu-satunya batu yang memiliki rasa di zaman itu. Dari mata air yang luas di bawah kaki gunung, terdapat satu batu berukuran tak terkira—menurut nenek, waktu itu laut dipercaya masih tawar dan belum berombak (ini mengacu pada Danau Kerinci saat ini, lalu terpecah menjadi aliran hingga menjadi lautan yang meluas di Bengkulu)—, mendadak bernapas ketika sepasang lele diturunkan dari langit sambil mengumandangkan adzan yang merdu.
Inilah keanehan lain yang berasal dari cerita rakyat orang-orang kampung. Tanpa pengkajian dari kerangka teori yang kuat, fiksi lebih hidup dan mudah melekat di kepala orang-orang. Hingga kini, semua orang tua di Kampung Tanjung Pauh, tahu bagaimana cerita itu, bahkan memiliki beberapa versi. Ada juga yang mengatakan lele memang pernah hidup di laut dan satu-satunya jenis ikan yang memiliki sayap dan dapat terbang. Atau sepasang lele yang diutus untuk mengislamkan segala hal yang ada di dunia, termasuk batu garam yang susah ditundukkan.
Saat itu, batu garam mengamuk dan menantang ikan lele dengan memecahkan diri ke seluruh penjuru. Bumi ini meledak dan laut meluas dalam sekejap. Sementara itu, sepasang lele membagi tugas untuk mengarungi setiap wilayah laut. Meskipun mereka sengsara karena kekuatan garam dapat membuat mereka terbakar dalam air, lele terus berupaya hingga berhasil, selama berjuta-juta tahun kemudian. Apa pun ceritanya, semua tentang lele dan batu garam.
Pada suatu waktu, lele terbang ke langit, meninggalkan laut dan batu garam yang dipercaya adalah anak yang dilahirkan ikan lele. Batu-batu garam kemudian terdampar di tepi laut dan berevolusi menjadi manusia.
Meskipun dari cerita di atas terdengar aneh dan tidak ada kerangka yang dapat disangkal bila dikarang ke dalam bentuk-bentuk lainnya, orang-orang kampung tak membutuhkan kelogikaan atas penelitian yang pasti. Mereka mempercayai apa yang logis dengan kepercayaan sebagai tonggak utama dari cerita.
Apa yang saya dapatkan setelah ini adalah kebingungan-kebingungan. Saya sampai lupa, seharusnya menikmati liburan dengan tenang. Lagi pula saat ini wisata Kerinci semakin tumbuh dan dikenal luas. Dari alam sampai taman buatan, semuanya dikunjungi orang dari berbagai kota. Saya pikir-pikir ketika berkesempatan kembali liburan di Kerinci dan melihat beberapa kerusakan serta kekotoran yang tak pernah tuntas, ada benarnya juga Tuan Suluh. Mitos, sebagaimana menjadi titik awal wisatawan berkunjung tidak bekerja dengan tepat dan malah membuat mereka melakukan tindakan-tindakan merusak. ***
.
.
Beri Hanna, penulis yang lahir di Bangko, Jambi. Sejumlah cerpennya telah dimuat di media massa.
.
Cerita-cerita Manusia Tanjung Pauh. Cerita-cerita Manusia Tanjung Pauh. Cerita-cerita Manusia Tanjung Pauh. Cerita-cerita Manusia Tanjung Pauh. Cerita-cerita Manusia Tanjung Pauh.
Leave a Reply