Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 11 Juni 2023)
MALAM, sehari sebelum pembagian rapor kenaikan kelas, Mira menatap cermin dalam kamarnya, dia mendengar suara-suara dari dalam dirinya.
Ya Tuhan, mengapa anak ini bodoh sekali. Mengapa dia tidak bisa memahami angka-angka, penjumlahan, pengurangan, bilangan pecahan, soal cerita. Ah, apa itu semua? Mengapa teman-temannya pintar dan dia tidak pintar? Padahal hampir setiap malam Mama menyuruhnya belajar. Tapi dasar, dia memang tidak suka belajar. Apa itu belajar? Memelototi buku-buku penuh tulisan, penuh angka, penuh tanda-tanda aneh. Bikin kepala pusing saja. Lebih asyik menggambar, mewarna, bikin komik. Tapi sayang, komik tidak diujikan di sekolah. Aduh, berarti dia tetap saja bodoh. Dan besok pasti dia tidak naik kelas.
Mira memelototi sosok dalam cermin. Tidak tersenyum. Rasanya dia tidak mengenal baik sosok dalam cermin itu. Dia hanya tahu, gadis dalam cermin itu adalah gadis paling tolol di kelas. Tak pernah dapat nilai bagus. Tidak banyak disukai teman-teman. Dan selalu menjadi bulan-bulanan omelan para guru. Bocah goblok! Bocah tolol! Bocah malas!
Mira menjulurkan lidahnya pada sosok yang ada dalam cermin. Sosok itu turut menjulurkan lidah.
Bagimana Tuhan menciptakan anak sebodoh itu? Tapi kata Pak Huda, guru agama di kelasnya, ciptaan Tuhan itu semuanya sempurna. Tidak ada yang cacat. Tapi mengapa dia bodoh? Apakah bodoh itu tidak sempurna? Apakah bodoh itu sama artinya dengan cacat? Dia masih mengawasi sosok dalam cermin. Hingga pekikan mama dari luar kamar membuatnya terenyak.
“Miraaa! Matikan lampunya dan cepat tidur! Besok pagi kita ambil rapormu. Kita lihat apa kamu bakal naik kelas atau mendekam di kelas empat!”
Mira tak ingin pagi datang terlalu cepat, tidur terlalu cepat membuat pagi datang lebih cepat. Tapi. Bagaimanapun, Mira tak mungkin membantah mama. Maka dia lekas berangkat tidur. Dan Mira tak menyangka, pagi datang jauh lebih cepat dari dugaannya.
Suara mama menggema dalam kamar, menyuruhnya bangun dan bersegera. Mira bergegas, dia benar-benar merasa seperti mesin yang harus lekas sibuk, harus lekas bekerja. Perjalanan dari rumah ke sekolah terasa begitu menjemukan. Sepanjang perjalanan, di belakang mama, di atas jok motor yang berderit-derit, Mira memejamkan mata rapat-rapat. Ketika motor mama berhenti, dia membuka mata dan tiba-tiba dia sudah berada di sekolah. Segala sesuatu yang dia takutkan selalu datang tepat waktu. Begitu sampai di depan kelas, dia hanya duduk diam di bangku panjang yang berjajar di sana. Terkembang layar kecemasan di wajahnya. Kejadian itu selalu terulang, hampir tiap semester, tiap tahun. Entah kenapa, setelah menerima rapor, mama selalu berubah menjadi naga yang ganas. Benar-benar persis.
Dia teringat semester lewat. Selepas pembagian rapor, begitu mama keluar dari ruang kelas, mama langsung menyeretnya pulang. Dalam perjalanan pulang, wajah mama masam dan kaku seperti arca raksasa. Mira menyembunyikan ketakutannya dalam diam. Sampai di rumah, mama langsung mendudukkannya di kursi tamu. Sangat kasar.
Rapor dibanting di atas meja dalam keadaan terbuka. “Lihat nilaimu. Lihat! Merah semua! Kamu selalu bikin malu Mama. Tak pernah bisa bikin Mama bangga!”
Mama mendorong-dorong jidat Mira dengan jari telunjuknya. Seperti hendak mencocok matanya. Dari dalam lembar rapor itu, tiba-tiba Mira melihat angka-angka merah perlahan bergerak dan terbang menjadi naga-naga mungil yang menyemburkan api. Ekornya dikibas-kibaskan serupa tamparan. Naga-naga itu terbang perlahan mengitari kepala mama, lalu menyusup satu per satu ke dalam kepala mama melewati ceruk telinga. Dia melihat Mama menghela napas berat, sebelum menyemburkan api dari mulutnya disertai tamparan dan cubitan di paha. Bertubi-tubi. Dan itu kerap terjadi.
***
Mira berdiri dari duduknya. Masih menunggu. Harap-harap cemas. Beberapa kali, dari kaca jendela, dia mengintip ke dalam kelas yang pintunya tertutup. Tampak Bu Guru Karti berdiri di depan kelas, mulutnya komat-kamit menjelaskan sesuatu, sesekali tangannya memperagakan ucapannya yang entah apa. Dia melirik mama yang duduk di bangku nomor tiga dari belakang. Kembali terkilas dalam kepalanya, jika sampai dia tidak naik kelas, pasti mama akan berubah menjadi naga yang lebih ganas. Berapa tamparan yang musti dia dapat hari ini? Berapa cubitan?
Mira kembali duduk. Masih dalam gelisah. Dia menilik teman-temannya yang tengah asyik bermain congklak, beberapa ada yang bermain lompat tali sambil cekikikan. Anak laki-laki juga tampak begitu ceria, menendang bola, menyundul bola, dan berteriak ‘goool’ ketika bola masuk ke dalam gawang. Sekilas Mira menyunggingkan senyum. Betapa cerianya mereka. Mira jadi bertanya-tanya, apakah mereka tidak khawatir jika nilai rapor mereka berwarna merah? Ataukah mama mereka tidak pernah marah ketika nilai rapor mereka berwarna merah? Mira sungguh ingin jadi seperti mereka. Ingin punya mama seperti mama mereka.
Mira mengabaikan semua itu. Dia menyesal. Hampir saja dia membenci mama. Untungnya dia teringat pelajaran agama tentang berbakti pada orang tua. Dia teringat pesan Pak Huda, betapa beruntungnya anak-anak yang masih memiliki orang tua. Dia juga teringat cerita Malin Kundang yang pernah dia baca di perpustakaan sekolah, kisah si anak durhaka. Mira membayangkan, jika dia membantah kata-kata mama, bisa-bisa dia dikutuk menjadi batu, seperti Malin Kundang. Duh, bagaimana rasanya dikutuk menjadi batu?
***
Mira tersentak dan hampir terjungkal dari bangku ketika mendengar suara entakan pintu kelasnya terbuka. Dia memperhatikan para orangtua berbondong-bondong keluar dari ruang kelas. Beberapa ada yang tersenyum, namun ada juga yang mukanya ditekuk ke bawah. Mereka berbisik satu sama lain, hingga suara itu tampak seperti dengungan lebah. Namun, kebanyakan dari mereka tampak sangat bahagia. Orangtua yang memeluk dan mencium kening anaknya. Dua hal yang tak pernah dilakukan mama Mira terhadap Mira.
Mira hanya terbengong-bengong melihat pemandangan di hadapannya. Dia cemas sekali. Satu per satu orangtua keluar dari ruang kelas. Tapi mamanya belum. Dia kembali mengintip ke dalam ruangan. Tak ada seorang pun kecuali mamanya dan Bu Guru Karti yang tengah duduk berhadap-hadapan, dengan wajah serius. Mira mencium firasat kurang enak. Mengapa mama dipanggil terakhir dan sendirian? Apakah Mira tidak naik kelas? Yang dia amati, jika ada orangtua dipanggil sendirian, lalu mengobrol agak lama dengan wali kelas, artinya anaknya tidak naik kelas. Mira semakin takut dan mengkerut. Keringat dingin mulai mengembun di dahinya.
Rasa takut itu membuat tubuh Mira gemetar hebat, dadanya sesak dan mendadak air mengembang di pelupuk matanya. Kepalanya juga mulai terasa pening. Seperti berputar-putar. Mira memejamkan mata, mengepalkan telapak tangannya erat-erat, mencengkeramkan jari-jari kakinya dalam sepatu, mengadukan gigi-giginya, sambil terus mengeram. Dengan begitu, dia berharap tubuhnya tidak berguncang karena tangisan. Mira melakukannya hingga detik dan menit mulai berlalu. Hingga dia merasa seluruh tubuh dan sendi-sendinya terasa pegal dan kaku. Seperti mau jadi batu.
Berkelebat beberapa nasihat dalam kepala Mira. Anak yang mengecewakan orangtua dan tak pernah membuat bangga orangtua termasuk anak durhaka. Seperti Malin Kundang. Bakal jadi batu. Mendadak Mira berpikir, barangkali begitulah rasanya, ketika Malin Kundang hendak menjadi batu. Tubuhnya mulai terasa pegal dan kaku.
Mungkin aku mau jadi batu. Tapi, kalau dipikir-pikir jadi batu sepertinya tidak terlalu buruk. Aku tak perlu lagi menangis bila dipukul mama. Tak perlu gemetar bila diteriaki mama. Dan yang paling penting, tak perlu lagi berhadapan dengan rapor beserta angka-angka merah yang ada di dalamnya. Aku mau jadi batu saja. Aku mau jadi batu saja.
Mira terus memejamkan mata. Bahkan, ketika mama keluar dari dalam kelas dan dengan wajah bersungut-sungut menyeru Mira untuk ikut pulang, Mira masih saja berdiri dengan mata terpejam.
“Miraaa!” Mira mendengar suara pekikan Mama, tapi dia tak mau pergi dari tempatnya, sebab tak lama lagi dia bakal jadi batu. Mama memekik lagi. Mira masih bergeming. Sampai Mama menyeret tangan Mira, dan membuat tubuh Mira yang kaku roboh ke tanah.
Mengapa terjatuh membuat lutut dan tanganku sakit? Apakah menjadi batu tetap bisa membuatnya merasakan sakit?
Mama terus memekik-mekik, sambil berusaha menyeret Mira. Mira tak bersuara. Matanya terus terpejam. Guru-guru berdatangan. Teman-teman Mira berkerumun. Mira tak perlu tahu kalau dia dan mamanya sudah jadi tontonan orang satu sekolahan.
Aku mau jadi batu! Aku mau jadi batu! ***
.
.
Ngijo, 2022
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, penyuka puisi dan prosa. Tulisannya tersiar di beberapa media cetak dan daring. Telah menerbitkan beberapa novel dan buku kumpulan cerpen. Salah satu novelnya, Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon, Penerbit Basabasi, 2020. Kini bermukim di Malang.
Buana Artian, lahir di Bandung, 19 Mei 1995. Menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPSD UPI Bandung, lulus tahun 2018. Tahun 2019 mendirikan unit kebudayaan di koperasi LKN Manggala Giri, Lembang, Bandung. Meraih Himasra Art Award GSPI Bandung (2016). Turut dalam pameran Paradox, Lawangwangi, Bandung dan Melancholy by Parahyangan Fair Bumi Sangkuriang Bandung.
.
Mira Ingin Jadi Batu. Mira Ingin Jadi Batu. Mira Ingin Jadi Batu. Mira Ingin Jadi Batu.
Anonymous
Baguussss
Anonymous
niceee