Cerpen, Koran Tempo, Risda Nur Widia

Malam Arwah

Malam Arwah - Cerpen Risda Nur Widia

Malam Arwah ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

4.8
(5)

Cerpen Risda Nur Widia (Koran Tempo, 11 Juni 2023)

PENSIUN sebagai kyouyu shougaku [1] di Tokyo, Takara Kairi memutuskan tinggal di kota kecil Kamikatsu. Kota itu merupakan wilayah tenang yang berada di Prefektur Tokushima, dan tempat yang ingin ditinggali oleh almarhum suaminya dahulu. Usia Takara Kairi saat mengambil keputusan itu adalah enam puluh tahun. Genap usia yang tepat untuk memastikan bahwa dirinya ingin menghabiskan sisa umurnya pada rumah kecil yang dibelinya dari uang warisan suaminya yang tak seberapa, karena suaminya hanya seorang futsu-yoshi [2].

Takara Kairi pun pindah delapan hari setelah membeli rumah itu. Ia datang dengan membawa kosutsubun [3] mendiang suaminya. Takara Kairi memasukkan sisa kremasi tubuh suaminya dalam kotsutsubo [4] dan dipendamnya di bawah pohon elm—sebuah pohon tua yang telah ada sebelum ia membeli rumah tersebut. Lalu, pada batang pohon elm yang tua itu, Takara Kairi mengikatkan sebuah shimenawa [5] sebagai tanda bahwa roh suaminya telah menyatu sebagai bagian dari tanah serta rumahnya.

Takara Kairi sadar apa yang dilakukannya itu tidak tepat menurut agamanya. Apalagi suaminya meninggal baru tiga puluh lima hari yang lalu karena serangan jantung. Seharusnya kosutsubun suaminya ditaruh pada altar khusus dan diletakan di dalam rumah dengan dupa yang terus menyala selama dua puluh empat jam. Takara Kairi juga tidak membubuhkan sebuah sotoba [6] layaknya adat agama yang dipercayainya dalam memperlakukan orang yang telah meninggal.

Kedua anak perempuannya—mengetahui tabiat Takara Kairi tersebut—tentu tidak setuju. Mereka menganggap Takara Kairi sebagai wanita egois dan kejam.

“Apa susahnya hanya membelikan sotoba untuk ayah, Ibu?” pungkas anak perempuan pertamanya. “Apakah kau tidak memiliki hati hingga hanya menguburnya seperti itu di belakang rumah?”

“Benar!” timpal anak keduanya. “Lakukanlah sebuah perayaan kematian yang layak menurut agama kita.”

Ketika mendengar keluhan-keluhan dua anak perempuannya, Takara Kairi hanya menyeringai pahit. Ia tahu bahwa kedua anak perempuannya itu pun hanya bisa mengeluh tanpa dapat membantunya. Kehidupan kedua anak perempuannya itu dapat dikatakan lebih buruk daripada dirinya. Mereka menikahi pria pengangguran yang tidak dapat menghasilkan uang satu yen pun. Suami-suami mereka hanya bermalas-malasan di rumah dengan mengibas-ibaskan sebuah sensu [7] layaknya seorang geisha [8] di Yoshiwara.

“Ibu jahat,” lanjut anak keduanya menimpali. “Ibu tidak memiliki hati!”

“Kau tidak punya rasa terima kasih sedikit pun pada ayah,” tambah anak pertamanya.

Takara Kairi hanya membiarkan kedua anaknya itu memaki dan menghujatnya. Takara Kairi tak pernah menganggap kalau kedua anak perempuannya itu durhaka padanya. Mereka melakukan semua itu karena merasa bahwa mendiang ayahnya tidak mendapatkan soushiki [9] dengan benar dan layak. Akan tetapi, Takara Kairi juga melakukan semua hal itu atas dasar wasiat suaminya. Karena, tanpa diketahui oleh kedua putrinya, suaminya dahulu pernah meminta untuk dikuburkan di bawah pohon elm tersebut.

“Aku sebenarnya ingin menjadi pohon, istriku,” jelas suaminya waktu mendatangi calon rumah baru mereka dan melihat adanya sebuah pohon elm tua tersebut. “Jika mati, kuburkanlah aku di sana ya.”

“Sepertinya kau suka dengan rumah kecil ini,” jawab Takara Kairi.

“Mungkin karena pohon elm tua itu,” suami Takara Kairi menerawang ke ranting-ranting pohon.

Baca juga  BERJALAN DI JAKARTA SAMBIL MENAFSIRKAN BOB DYLAN

Takara Kairi pun segera tahu apa yang sedang dipikirkan oleh suaminya waktu itu. Pria yang telah dinikahinya selama lebih dari 30 tahun tersebut pasti memikirkan masa kecilnya sebagai seorang futsu-yoshi yang ditelantarkan ayah tirinya. Ia tidak pernah benar-benar mendapatkan kasih sayang layaknya seorang anak setelah ibunya menikah lagi. Pria itu bahkan dicampakkan ke rumah neneknya di Osaka bersama pot-pot berisi bunga Ibunya. Hal itu terpaksa Ibunya lakukan karena suaminya sering merasa jengkel tanpa sebab pada pria tersebut.

Setelah pindah dan hidup dengan neneknya, pria itu tidak pernah lagi berkomunikasi dengan ibunya. Bahkan setiap tahun baru tiba, atau upacara obon dirayakan, Ibunya tak pernah datang. Ia akhirnya hanya tumbuh dengan pot-pot berisi bunga-bunga milik ibunya. Ia sering bercerita tentang kesedihan-kesedihannya dan kesepian-kesepiannya selama hidup dengan neneknya pada pot-pot berisi bunga itu. Ia bahkan meyakini bahwa tumbuhan jauh lebih bisa menerima keadaan seseorang tanpa melihat masa lalu setiap orang yang ada di sekitarnya. Tumbuh akan tetap hidup dengan seorang penjahat atau malaikat. Maka dari itu ia merasa lebih nyaman bercerita dengan tumbuhan.

Kebiasaan berbicara dengan tumbuhan itu terus terbawa hingga dewasa, dan menikahi Takara Kairi. Takara Kairi sendiri mulanya bingung dengan kebiasaan suaminya yang suka berbicara dengan tumbuhan. Akan tetapi, ketika tahu sejarah masa lalu suaminya yang tidak menyenangkan sebagai seorang anak kecil, Takara Kairi membiarkan kebiasaan aneh tersebut.

“Orang-orang mungkin menganggapku gila karena bicara dengan tumbuhan,” jelas suaminya. “Tapi hanya tumbuhanlah yang aku percaya menyimpan kesedihanku.”

“Tapi mereka tidak pernah dapat merespons semua keluhanmu,” jawab Takara Kairi.

“Kau benar,” dengan lugu suaminya menjawab. “Tapi mereka tak pernah mengeluh mendengarkan semua kesedihanku.”

“Karena alasan ini kau ingin jadi tumbuhan?”

“Tidak!” suaminya tersenyum manis. “Aku punya firasat akan mati lebih dahulu daripada kau. Jadi aku ingin menjadi tumbuhan agar kau memiliki kawan bercerita setelah aku meninggal.”

“Kenapa begitu?”

“Karena aku tahu kita orang yang tak suka sendiri.”

Air muka Takara Kairi bersemu merah. Ia senang mendengarkan rayuan suaminya tersebut. Namun empat puluh hari setelah mendatangi rumah tua tersebut, suami Takara Kairi terkena serangan jantung. Suaminya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Takara Kairi tak menyangka bahwa suaminya akan benar-benar pergi lebih dahulu daripada dirinya. Apalagi suaminya itu meninggal enam jam sebelum usianya menginjak umur enam puluh tahun.

***

Tahun ini, pada 15 Agustus dalam kalender Gregorian Jepang, Takara Kairi tidak lagi menyelenggarakan upacara sosen no sairei atau obon [10] dengan mengikuti ritual kuyo [11] di kuil, atau mengundang pendeta ke rumah untuk membacakan tanagayo [12] bagi para arwah leluhur. Ia tidak juga melakukan seremonial bon odori [13] seperti yang banyak dilakukan masyarakat Jepang. Selama obon berlangsung, Takara Kairi hanya bersantai di ima [14] miliknya dengan kedua anak perempuan dan menantunya.

Satu-satunya kesibukan yang dilakukan Takara Kairi selama perayaan obon berlangsung, adalah memasak sebuah hidangan kesukaan suaminya, yaitu adzuki batto. Takara Kairi percaya bahwa suaminya pada perayaan obon tahun ini akan datang dalam bentuk shourou [15] untuk mengunjunginya dari reikai [16]. Suaminya itu akan berubah menjadi kunang-kunang atau kupu-kupu yang singgah ke dalam rumahnya. Karena suaminya dahulu pernah berkata akan tetap mengunjunginya walaupun dirinya telah mati.

Baca juga  Kakek Tidak Akan Mati

“Bagaimana bila kunang-kunang atau kupu-kupu itu hanya hewan biasa?” ucap Takara Kairi menyela suaminya saat itu. “Kan aku tidak tahu kalau itu benar-benar kau atau bukan.”

“Kau bisa membedakannya lewat harum yang ditinggalkan hewan itu bila datang,” jelas suami Takara Kairi. “Bila ia beraroma seperti diriku sewaktu hidup, maka itu adalah rohku.”

Kedua putrinya tentu hadir tidak hanya untuk merayakan upacara obon dengan Takara Kairi. Kedatangan mereka selain untuk membantu Takara Kairi menyiapkan upacara obon di rumah tua tersebut, adalah meminta sisa uang pensiunan sebagai kyouyu shougaku atau warisan dari ayah mereka. Cuma Takara Kairi tidak memberikan keinginan mereka. Takara Kairi bahkan cenderung mengabaikannya. Ujungnya, dapat Takara Kairi tebak, mereka menyebut Takara Kairi sebagai istri jahat—karena tidak memberikan pemakaman yang layak bagi ayah mereka.

“Kau benar-benar tega menghabiskan uangmu hanya untuk rumah tua ini,” pekik anak pertama perempuannya. “Seharusnya kau bisa menyisakannya untuk pemakaman ayah.”

“Apa jadinya bila aku mengatakan ini kepada keluarga besar ayah,” anak keduanya ikut menyahut. “Kau akan terkena masalah.”

Takara Kairi seakan-akan tidak mendengar seluruh ucapan kedua anak perempuannya. Ia tenang membersihkan kacang adzuki [17] untuk membuat hidangan adzuki batto kesukaan suaminya. Ia bahkan tersenyum kecil ketika mengingat terakhir kali membuat hidangan adzuki batto bersama suaminya di apartemen lamanya. Ia masih bisa merasakan sentuhan tangan suaminya yang lembut saat mengulen terigu di dalam loyang. Selain itu Takara Kairi masih terkenang keluhan suaminya ketika gagal menggulung menggunakan roll pin adonan tersebut.

“Seharusnya aku menggulungnya lebih tipis dari ini,” desah suami Takara Kairi.

“Kau membuatnya jauh lebih baik daripada sebelumnya,” jawab Takara Kairi.

“Mungkin sebaiknya aku tidak terlalu baik membuat adzuki batto.”

“Memang kenapa?”

“Dengan begitu aku bisa merasakan kenikmatan adzuki batto hingga aku mati.”

“Ah, kau selalu sembarangan bila bicara.”

“Berjanjilah buatkan aku adzuki batto hingga aku mati nanti,” suami Takara Kairi menatap lembut. “Setiap obon aku akan datang memakannya.

Seluruh adegan itu masih benar-benar membekas. Peristiwa manis dalam ingatannya itu adalah adegan terakhir yang dapat dilakukan Takara Kairi dengan suaminya. Karena sehari kemudian suaminya meninggal dunia. Cuma, karena begitu mendadak suaminya meninggal, Taka Kairi selalu merasa bahwa pria itu tidak benar-benar mati. Bahkan ketika tubuh mendiang suaminya dimasukkan ke dalam krematorium untuk dikremasi, Takara Kairi masih menganggap kalau suaminya masih hidup.

“Jiwanya akan tetap hidup dalam diriku,” gumam Takara Kairi seraya telaten membuat adonan adzuki batto.

Selesai membuat adzuki batto, Takara Kairi menghidangkannya untuk dimakan bersama dengan kedua anak serta menantunya. Mereka makan dengan hikmat. Tidak ada umpatan atau kalimat-kalimat yang menyudutkan siapa pun di atas meja. Takara Kairi seakan-akan masih melihat putri-putrinya yang baik pada masa kecil dahulu. Sayangnya, pemandangan damai itu hanya berjalan sebentar. Takara Kairi mulai mendengarkan keluhan kedua anak perempuannya setelah santap malam selesai.

“Ibu sebenarnya masih menyimpan uang warisan ayah atau tidak?” kata anak pertamanya memulai. “Bila ibu masih menyimpannya biarkan aku dan adik saja yang mengurus prosesi pemakaman ayah.”

Baca juga  Taman Sriwedari dan Seraut Wajah Masa Lalu

“Kakak benar,” adiknya menyahut. “Bila ibu tidak mau mengurusnya, kau bisa serahkan pada kami.”

Takara Kairi tersenyum. Ia tidak menjawab apa pun. Takara Kairi tahu bahwa uang itu tidak akan pernah digunakan untuk menguburkan secara layak suaminya. Uang itu pasti akan digunakan untuk kebutuhan hidup mereka yang tidak mendapatkan nafkah sama sekali dari suami masing-masing.

“Kenapa Ibu hanya diam saja?” ujar anak pertamanya.

“Tolonglah hargai ayah kami,” lanjut anak keduanya.

“Ibumu itu sepertinya sudah gila,” tambah suami anak pertamanya.

“Kenapa tidak kalian ambil saja langsung darinya,” tegas suami anak kedua mengusulkan.

Karena tidak ada respons apa pun, kedua anaknya itu akhirnya bergegas menuju kamar Takara Kairi. Mereka berusaha untuk mencari sisa uang warisan tinggal ayah mereka. Hanya sekeras apa pun mereka berusaha mencari, kedua anak dan menantu Takara Kairi tidak dapat menemukan uang itu. Hingga akhirnya mereka bosan dan pergi meninggalkan Takara Kairi seorang diri.

***

Pada ima Takara Kairi masih duduk santai. Ia menatap sebuah piring, mangkuk, sumpit, serta sop adzuki batto yang sudah dingin untuk suaminya. Ia menatap kosong dengan barang-barang berserakan karena ulah kedua anak perempuan dan menantunya. Ia menarik napas pelan dan membereskan semua sisa hidangan di atas meja itu.

“Apalah arti sebuah perayaan kematian?” ungkap Takara Kairi sedikit sedih. “Semua orang akan melupakan kita perlahan-lahan sejurus waktu berjalan.”

Takara Kairi beranjak menuju luar ruangan. Ia duduk di teras bagian samping rumahnya dengan menerawang pohon elm tersebut.

“Kematianmu sudah kurayakan dengan layak suamiku,” lanjut Takara Kairi. “Kau damai sekarang di sepanjang ingatanku.”

Takara Kairi pun mulai melihat puluhan kunang-kunang yang terbang di antara pohon elm itu. Takara Kairi juga mencium aroma wangi suaminya semasa hidup. Hingga salah satu kunang-kunang itu terbang masuk, dan hinggap di atas sop adzuki batto yang sudah dingin tersebut. ***

.

.

Keterangan:

[1] Kyouyu shougaku, sebutan bagi pensiunan guru SMA di Jepang.

[2] Futsu-yoshi, anak angkat laki-laki/anak tiri.

[3] Kosutsubun, sisa abu jenazah

[4] Kotsutsubo, guci yang digunakan untuk menyimpan sisa abu kremasi.

[5] Shimenawa, tali yang dipasang sebagai batas sebagai batas suci.

[6] Sotoba, sebutan bagi nisan.

[7[Sensu, kipas lipat tradisional Jepang.

[8] Geisha, artis wanita Jepang yang disewa untuk menemani minum teh atau acara sosial lainnya.

[9] Sousihik sebutan bagi upacara kematian.

[10] Obon, upacara perayaan menyambut kembalinya para roh ke dunia.

[11] Kuy, ritual menyambut para arwah dengan dibantu oleh pendeta.

[12] Tanagayo, ritual pembacaan sutra untuk menyambut para arwah.

[13] Bon odoritarian tradisional, tarian tradisional Jepang saat merayakan malam upacara obon

[14) Ima, ruang keluarga/tamu.

[15] Shourau, arwah atau roh.

[16] Reik, alam arwah.

[17] Kacang adzuki, kacang merah bila di Indonesia.

.

.

Risda Nur Widia. Mahasiswa program doktor PBSI Universitas Negeri Yogyakarta. Cerpennya tersiar di media. Buku cerpen tunggalnya, Berburu Buaya di Hindia Timur (2020).

.

Malam Arwah. Malam Arwah. Malam Arwah. Malam Arwah. Malam Arwah. Malam Arwah. Malam Arwah.

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Ntong

    Catatan kakinya kurang banyak bang.

Leave a Reply

error: Content is protected !!